Tinjauan Filosofis Tentang Zakat: Paham Individualis Dan Keakuan







Permasalah di zaman sekarang: orang-orang membagikan zakat menurut kemampuan dan kehendak dirinya, maksudnya dirinya ingin membagi sendiri karena ‘mempunyai’ kuasa untuk membagi sendiri dan melihat situasi dan kondisi keluarga dan cangkupan penghilatan ada pada dirinya sendiri. Inginnya zakat dibagi sendiri dengan orang-orang yang terpilih, dan efeknya adalah kedirian manusia, menjadikan manusia semakin ‘keterakuan’ dan lalai bahwasanya adalah lembaga yang membagikan; yakni masjid desa.

Apakah Masjid Desa tidak mampu membagikan orang-orang yang layak menerima zakat?

Atau, apa yang menjadikan Masjid melalaikan untuk dijadikan sentral sebagai pembagian zakat?

Apa yang menjadikan orang-orang tidak menyerahkan zakat di Masjid sebagai pembagi zakat?



Sebab, efek yang terjadi kalau masjid tidak menggerakan untuk menampung ke zakatan, maka yang terjadi adalah sebagian menerima dana yang besar, dan sebagian lagi menerima dana yang sedikit. Sebagian menerima uang zakat yang kecil dan sebagian bahkan jarang menerima zakat yang sedikit. Sebabnya, individu-individu membagikan zakat. Hingga kemudian, berkelanjutan pada nilai-personal bahwa si fulan membagikan zakat.

Si fulan menjadi seorang yang terkenal dengan status pemberi zakat.

Terkadang orang-orang lalai dengan klaim, bahwasanya yang diberi zakat adalah status kemanusiaan yang itu pun bahkan sampai-sampai lintas desa, tidak sekedar pada lintasan desa. Andaikata, missal, dalam satu desa, telah diindentifikasi oleh ulama (pemberi hukum) menyepekati bahwa tidak ada yang layak dibagikan zakat. Maka sudah pasti tidak harus di bagikan pada desa yang ada, melainkan desa yang lain, yang mana itu memuat status layak dibagikan zakat.

Dalam sejarah islam—maksudnya di era awal islam, atau sampai khulafaur rasyidin—mempunyai rumah tampungan zakat, sehingga yang membagikan adalah orang-orang yang telah diutus untuk membagikan zakat, dengan tanda-tanda yang telah diberikan.

Masjid adalah tempat pemersatu untuk perkumpulan orang-orang yang berstatuskan islam. masjid adalah tempat menyatukan status orang-orang beragama islam. dan zakat adalah tentang harta bagi orang yang dikenai zakat, yakni muslim.

Namun permasalahnya: mengapa individu-individu tersebut mau dan berkehendak untuk membagi zakatnya secara persolan? Tidakkah si individu percaya kepada masjid.

Jawabanku, karena si individu telah menerima pengetahuan tentang orang-orang yang layak diberi zakat. Yang kemudian, berefeek kepada si penyampai pengetahuan tersebut: sehingga, untuk zaman seperti sekarang ini, si penyampai pengetahuan tersebut, penting dipertanyakan ulang: benarkah benar-benar menyampai keislaman secara elegan dan sesuai? Maksudnya, sesuai dengan kondisi yang ada.

Sebab, zaman sekarang, zamannya ilmu-pengetahuan terbuka lebar dan luas, dan ilmu-pengetahuan mudah didapati (mulai dari kitab-kitab yang diterjemahkan, ceramah-ceramah, atau papper atau makalah atau bahkan lewat internet); maka setiap individu seakan-akan mampu melaksanakan atau memutuskan tentang pengetahuan.

Padahal tujuan awal dari keberadaan zakat adalah tentang keadilan kemanusiaan tentang keekonomian atau eksistensinya sebagai manusia. Tujuan awal dari zakat adalah membersihkan dari harta yang telah dikumpulkannya. Yang lebih realistis adalah membantu sesame manusia yang secara realitas terpayahkan dengan kehidupan.

Wal-hasil, harus ada peraturan. Dan islam menawarkan peraturan yang apik.

Namun zaman sekarang, orang-orang mulai keserang dengan zaman ‘keakuan’ dan penggulan diri, dan kepameran diri; wal-hasil setiap personal inginnya menjalankan apa-apa yang telah disaratkan tersebut. lebih-lebih lagi, dari pihak masjid yang kurang hebat atau kurang jos dalam menyampaikan kata-kata untuk pengumuman zakat.

Tentang fungsi-fungsinya zakat. Penting lagi dipertanyakan tentang fungsi-fungsi zakat. Penting dipertanyakan, mana-mana yang layak diberi zakat. Dan penting, mengabarkan informasi dengan cara yang indah atau baik, supaya umat-islam berbondong-bondong menyerahkan zakatnya ke masjid, lalu para amillah yang membagikan zakatnya.

Yang mana, para amil adalah wakil dari pemberi zakat di masjid. Sebuah contoh dengan sebuah cerita:

Saya memasukkan zakat ke masjid, dan saya meyakini bahwa si Fulan akan mendapatkan jatah zakat, karena si fulan memang layak diberikan zakat.

Saya memasukkan zakat ke masjid, dan saya meyakini bahwa dari masjid akan mengatakan bahwa ini adalah milik-milik orang yang punya dari warga kampung.



Dan saya pun akan menjawab pertanyaan: apa yang menjadikan Masjid melalaikan untuk dijadikan sentral sebagai pembagian zakat?

Jawabku, yang menjadikan masjid melalaikan untuk dijadikan sentral sebagai pembagian zakat adalah karena si individu-individu ingin zakat sendiri, sehingga masjid sebagai tempat penerima zakat tidak bisa memaksa untuk si individu zakat ke masjid. Sebabnya, lagi, orang-orang ulamaknya, kurang menyampaikan: bahwa tatkala seluruh zakat di kumpulkan di masjid, maka kelak yang layak diindentifikasi akan dibagikan zakat. Jadilah adil bagi orang-orang yang menerima zakat. Karena zaman individu-individu membagi, maka yang terjadi, sebagian mendapatkan zakat besar, sebagian yang lain mendapati zakat kecil.

Begitulah tinjauan filosofis tentang zakat di zaman seperti sekarang ini. Dan ukuran ini—atau teks-teks ini mendapatkan inspirasi dari desaku, Wargomulyo, yang ternyata, kalau diamat-amati lebih seksama maka ini menjadi kendala umum—Demikian.

Belum ada Komentar untuk " Tinjauan Filosofis Tentang Zakat: Paham Individualis Dan Keakuan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel