MENGEMBALIKAN PERAN KEISLAMAN PADA ZAMAN SEBELUM KEMERDEKAAN STUDY FILOSOFIS-HISTORIS





Bagaimana Peran keislaman di Indonesia sebelum Kemerdekaan (Sebelum menjadi nasionalisme)?


Islam berada di Indonesia telah lama, telah bermukim lama, hingga kemudian menjadi luas daerah keislaman, saat islam menjadi kerajaan, saat kerajaan-kerajaan islam mulai menguasai tanah-tanah nusantra, hingga kemudian ‘menggantikan’[1] status kegamaan dari hindu-budha menjadi ‘islam’. yang kemudian, dalam perjalanan waktu, era-dunia, menjadi era-kolonisasi.

Sebelum era-kolonisasi manusia-nusantara telah mengenal kuat tentang keagamaan yang dibalut dengan budaya setempat (contoh terang adalah apa-apa yang ditawarkan para wali: sebuah contoh, yakni sunan gunung jati, yang menjadi ‘raja’ di cerebon, lalu sunan kalijaga yang tetap menggunakan pakaian tradisional manusia-nusantara, lalu sunan giri yang memadukan tempat ibadah hindu, menara kudus), hanya saja, perkembangan keagamaan manusia-nusantara tidak semelejit atau senasional itu, melainkan secara individu atau sosial dalam lingkup kecil, maksudnya tataran daerah setempat. Karena memang, masih menggunakan ‘pola-kekuasaan’ kerajaan.

Selain itu, tawaran keagamaan yang berkembang di Indonesia adalah hindu-budha dan agama islam, yang dalam basiknya, sering dikenal ‘seakan-akan’ melalaikan kepentingan dunia, karena daerah atau wilayah, atau tanah nusantara adalah sarat dengan kealaman, yakni mampu mencukupi tentang keperekonomian atau kebutuhan hidup yang alami: yakni materi tercukupi dan jiwa mendukung untuk mempercayai.

Lebih-lebih, tawaran keduanya adalah tentang aketiesme, yakni lebih condong untuk tidak ‘memajukan’[2] kehidupan masyarakat kecuali menerima tentang realitas yang terjadi. Yang kemudian berefek pada mistisme. Sementara kepentingan mistisme sangat berperan kuat terhadap keindividuan, ataupun jika pun bersosial, maka dalam lingkungan yang kecil. Sebab tawaran dari individu adalah bahagia secara individu (personal)

Hingga kemudian, peran islam, sebagaimana para wali, yang kemudian diteruskan oleh generasi penerus, yakni menyebarkan islam layaknya model kenabian Kanjeng Nabi Muhammad, yang menitik fokuskan pada personal dan menata moral atau akhlak personal bagi khalayak ramai, yang berada di lingungannya.

Yang tanpa tidak adanya peperangan, melainkan meneruskan ‘perjuangan’ kanjeng nabi Muhammad terhadap realitas yang ‘damai’[3]; yang tentu kemudian berorientasikan pada ilmu-pengetahuan dan kehidupan realitas untuk mendukung pendapatan pengetahuan.

Maka banyaklah di nusantara pondok-pondok pesantren, yakni manusia-manusia yang belajar tentang kitab suci. Sebab berisibuk pada kepersonalitas, maka ‘kurang’ menghiraukan tentang realitas-yang-umum dan luas.

Saat era kolonisasi terjadi, dan era globalisasi terjadi: maka, disinilah titik awal tentang ‘pemersatuan’ kemanusian yang berbasis keagamaan, yang ‘personal’ tersebut, menjadi satu kesatuan. Semua agama-agama yang ada kumpul berjuang untuk menyelamatkan ‘penindasan’ atau ‘kepengeturan’ yang diluar batas sisi kemanusiaan manusia-nusantara (sebabnya lagi, ini pun masih secara global terjadi masa-masa peperangan. Terlebih lagi, di eropa, sekitara tahun 1900 masehi, telah menjadi masa yang baru, yakni masa postmodern, yang mana itu berkembang, dari masa industrialisasi ke koloniasi. Tujuannya, tentu, untuk menyelamatkan kehidupan-jasmani, atau kebutuhan manusiawi) maka orang-orang keberagamaan atau yang dari personalitas tersebut berkumpul-kumpul untuk bersatu.

Hingga kemudian, setelah kemerdekaan. Kumpul-kumpul tersebut, masih berlaku, yang karena zaman juga, mengajak untuk begitu, yakni era transportasi, era telekomunikasi, dan era media atau era hipperealitas jasmani[4]. Kesibukan kumpul-kumpul atau sibuk dalam eksistensi tersebut, yang kemudian, seakan-akan ‘generasi’ penerus ‘lalai’ dengan tugasnya keagamaan, yakni personalitas, dan aturan-aturan yang ada berguna untuk menyatukan atau mempermudah jalinan kehidupan. Sayangnya, banyak ‘generasi’ penerus terjebak dalam ‘kesibukan-kebersamaan’ dan lalai dengan esensi dari keagamaan.

Oleh karenanya, untuk mempersatukan ulang, terhadap apa yang menjadi ‘perpecahan-dalam-kebersamaan’ adalah menguatkan personalitas ulang pada daerah masing-masing, tidak terburu untuk menjustise atau menghukumi daerah-daerah yang lain; artinya, seakan-akan satu wilayah mempunyai kekuasaan tersendiri dan tiap-tiap personalitas mempunyai ‘kehukuman’ tersendiri. Terlebih lagi dalam dunia keagamaan, yakni islam.

Maka kan terlihat jelas, bagaimana keindahan atau perwujudan damai di negeri Indonesia, tentang keislamannya.

2017




[1] Menggantikan: maksudnya, secara kekuasaan menjadi agama yang dianut oleh kerajaan. Sebab stuktur atau pola kerajaan adalah kekuasaan yang mutlak, sehingga penyebaraannya meluas. Begitu juga dengan apa yang terjadi dengan agama hindu-budha di Indonesia, karena ‘penguasanya’ beragama hindu-budha maka di sana ‘ulama’ atau resi atau pendeta, menyampaikan ‘agama’ di sana, maka jadilah besar-besar penganut agama. Dan yang dimaksud dengan besar-besaran adalah keperluasan manusia yang teraku ‘berstatuskan’ agama. Sekali pun begitu, para ‘ilmuan-agama’ tentu lebih ‘mudah’ menyampaikan keagamaannya.


[2] Memajukan: diksi sekarang adalah berorientasi keselarasan hidup yang ukurannya adalah eropa, atau barat, yang telah mengenal sains atau perkembangan ilmu-pengetahuan praktis di bidang teknologi. Dan diksi memajukan, sering diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat ‘keselarasan’ hidup secara materi. Atau pun, kecukupan secara materi.


[3] Damai: suatu keadaan yang tidak menganjurkan untuk berperang, karena masa peperangan di era kemenangan ‘status’ keislaman, telah menjadikan muslim-nusantara damai: setidaknya, damai untuk kawasannya sendiri. Yakni nusantara itu sendiri. Sebab bila pun hendak meluaskan model peperangan ala kanjeng nabi atau para sahabat, maka jarak atau lintasan geografis tidak mendukung untuk berperang, sebab ‘pemasukan’ atau ‘pengaruh’ dari luar belum ada atau jarang. Sebabnya lagi, apa yang menjadikan orang-orang luar untuk menguasai (pembicaraan ini, di mulai sebelum era kolonisasi) dan ketika era kolonisasi, maka akan terjadi ‘persatuan’ manusia-nusantara untuk ‘memegang’ kembali haknya yang telah ‘didatangi’ oleh budaya asing, yang orientasinya adalah menguasai.


[4] Saya sebutkan hipperealitas jasmani sebab dalam jaringan pengetahuan islam, masih ada unsure hipperealitas antara murid dan guru, yang itu sampai kepada manusia-manusia sebelumnya (kanjeng nabi Muhammad) yang kemudian, sampai kepada Nabi Adam.

Belum ada Komentar untuk " MENGEMBALIKAN PERAN KEISLAMAN PADA ZAMAN SEBELUM KEMERDEKAAN STUDY FILOSOFIS-HISTORIS "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel