Realitas Di Masa Kanjeng Nabi Muhammad Tinjauan Filosofis-sosiologis




Bagaimana realitas di masa kanjeng nabi Muhammad?

Kita telah mengetahui bahwa kanjeng nabi Muhammad bertinggal atau bertempat pada suatu tempat yang itu sarat dengan nilai-nilai keagamaan; Mekah, sebagai tempat perkumpulannya keturanan Nabi Ibrahim, yang mana keturanan nabi Ibrahim adalah Nabi Ismail dan Nabi Ishaq, yang dari Nabi Ishaq lalu lahirlah Nabi Ya’qub yang darinya, maka lahirnya bani israil, dan diantaranya adalah Nabi Yusuf, yang kemudian Nabi Yusuf membawa saudara-saudaranya ke Mesir, dan hidup di sana. Lalu beranak-pinak. Lalu menjadi penerus-penerusnya.

Maka terjadilah kemudian menjelma agama Yahudi. Yang kemudian lagi, berselang waktu, menjelma agama Nasrani.

Dan agama-agama samawi tersebut, mengadakan acara tahunan, yakni berhaji ke Mekah. Maka mekah menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang percaya kepada apa yang Nabi Ibrahim percayai. Begitulah seting Mekah sebagai awalnya.

Yang kemudian, dalam perjalanan waktunya, orang-orang mekah, yang sibuk dengan berdagang, yang sibuk dengan ritual keagamaannya, menjadi-jadi, dan keagamaan menjadi di salah-fungsikan; maka disanalah Nabi Muhammad berperan aktif: bukankah begitu?

Namun yang hendak saya uraikan adalah meninjau relitas di masa kanjeng nabi Muhammad? Alasannya, karena zaman sekarang, bagiku, seakan-akan orang-orang terlalu mendambakaan tentang sosok kanjeng nabi Muhammad—sebenarnya memang layak didamba dan dipopulerkan—sayangnya, saya melihat banyak yang begitu mendamba dan lalai dengan realitas yang terjadi pada masa kanjeng nabi Muhammad.

Dan tujuan saya menguraikan ini, adalah begini: supaya manusia lebih arif dan bijak melihat realitas yang terjadi pada masa kanjeng nabi.

Pertama, tawaran utama kanjeng nabi Muhammad adalah tentang keimanan, dan itu disebarkan atau dikabarkan saat beliau berada di mekah. Tawaran yang diberikan kanjeng nabi adalah tentang kalimat tauhid, yakni tidak ada tuhan selain Allah. maksudnya, orang-orang beragama dianjurkan untuk mengingat bahwa semua adalah satu, yakni mahluknya Allah. Maka harus menjadi satu kesatuan yang utuh. Dan kesatuan tersebut, jangan dijadikan ‘alat’ untuk kebanggaan diri, kebanggan atas nama, dan kebanggan suku, atau golongan; karena kita sama-sama milik-Nya. Karena ternyata, sejarah telah menyatakan, bahwa waktu itu, orang-orang mekah tidak semudah apa yang dipikirkan, maka Kanjeng Nabi Muhammad pindah ke Madinah—dan saya tidak membicarakan tentang alasan-alasan keperpindahan, dan saya berpikir, banyak di antara kita yang mengetahui hal tersebut—

Kedua, tatkala kanjeng nabi Muhammad berada di madinah, yang kemudian beliau benar-benar membawa orang-orang yang percaya kepadanya, dan orang-orang memfokuskan diri kepadanya—inilah yang hendak saya urai, yakni realitas keadaan kanjeng Nabi Muhammad— yang berjalannya waktu, maka turunlah ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum atas nama kanjeng Nabi Muhammad, yang selanjutnya orang-orang sering menyebutnya dengan hukum islam[1]. atau lebih mengokohkan tentang sesuatu yang disebut dengan sunah-sunah kanjeng nabi Muhammad, atau tentang personal dari Kanjeng Nabi Muhammad.

Sebab seringkali saya mengamati, di zaman seperti sekarang ini, orang-orang lebih mengutamakan tentang personal kanjeng nabi Muhammad namun lalai dengan misi kanjeng nabi, yakni menyampaikan bahwa semua adalah milik-Nya, semua adalah kuasa-Nya, semua harusnya menyerah kepada-Nya; dan lebih menekankan tentang sunah-sunah kanjeng nabi Muhammad[2]. Bagi saya, andaikata, keimanan seorang telah semakin meningkat—apakah ini tentang subjektif? Agaknya iya—maka ia membutuhkan tentang kesunahan. Membutuhkan sesuatu yang berkaitan dengan sunah.

Namun, saya akan meniru sebagaimana orang-orang yang hidup di masa kanjeng nabi, yang itu jauh kehidupannya dari kanjeng nabi, yang itu usianya adalah bersamaan dengan kanjeng nabi—yakni sepantaran dengan kanjeng nabi Muhammad:

Apakah orang-orang tersebut meniru plek apa-apa yang kanjeng nabi kerjakan? Sementara dia orangnya agak jauh dari realitas Kanjeng Nabi Muhammad, dan realitas kanjeng nabi ada pada sekitar rumah dan masjid Nabawi; tapi orang-orang tersebut telah percaya kepada kanjeng nabi.

Pikirku, yang ditanamkan oleh orang tersebut adalah sifat-sifat kanjeng nabi yang dasar, yakni jujur, amanah, tablig, fatonah. Atau, mereka mengerjakan yang mana hukum-kemanusiaan itu selaras dengan perintah agama; bukankah sejauh kita ketahui, apa-apa yang dilarang oleh agama adalah berkaitannya erat dengan apa-apa yang dilarang oleh manusia?

Tidak boleh, mencuri.

Tidak boleh, bohong.

Tidak boleh, ingkar janji.

Tidak boleh, nesunan.

Tidak boleh, menyakiti.

Apakah orang-orang yang jauh dari jangkauan pengetahuan kanjeng nabi (maksudnya, dia tinggal yang jauh jaraknya dengan kanjeng nabi) menjalankan tentang kesunahan-kesunahan kanjeng nabi?

Pikirku, orang-orang waktu itu memang memprioritaskan kanjeng nabi, dan keputusan kanjeng nabi, serta tindakan dan kata-katanya itu ditiru, tapi sebagai orang yang percaya kepada kanjeng nabi, maka tidak semuanya mengerti tentang tindakan dan kata-kata dari kanjeng nabi Muhammad. Itulah yang sebenarnya ingin saya katakan:

Bahwa, zaman sekarang, zaman meledaknya pengetahuan, terkadang orang-orang sering melampaui di zaman kanjeng nabi, seakan-akan semuanya harus menjelma kanjeng nabi dan menuntut orang-orang untuk menjalankan apa-apa yang kanjeng nabi Muhammad lakukan, kerjakan; padahal di zaman kanjeng nabi sendiri, kanjeng nabi tatkala memerintah seseorang itu menurut kemampuannya si seseorang tersebut. Hal itu bisa kita selidiki dengan keberadaan hadist-hadist, yang mana para sahabat meminta amalan kepada kanjeng nabi.

Anehnya, kadang, di zaman seperti sekarang ini, orang-orang berusaha semampu daya mengikuti apa-apa yang kanjeng nabi katakan, kerjakan, dan putusan, melalui referensi-referensi kitab-kitab hadist. Padahal bisa jadi, sebenarnya si manusia itu belum layak menjalankan apa-apa yang dijalankan, namun ‘terburu’ menjalankan apa yang diketahuinya.

Akhir kata, lihatlah sekali lagi tentang realitas kanjeng nabi serealitas-realitasnya, jangan sekedar cuplikan-cuplikan saja, tapi secara menyeluruh tentang realitas pada masa kanjeng nabi; missal, bagaimana perilaku tukang ternak di zaman kanjeng nabi? Bagaimana perilaku tukang dagang? Tukang-tukang itu, itu dan itu yang lainnya; yang mana Kanjeng Nabi Muhammad masih hidup. Dan kalau untuk mempermudah berpikir, maka: jadilah sosok yang mana ‘seolah-olah’ kanjeng nabi Muhammad masih hidup, dan berperanlah menjadi apa. Kalau engkau tidak tahu, maka tanyakan kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau engkau malu mendatangi rumahnya, datangilah masjidnya, pasti beliau berada di sana.

Demikian.




[1] Maksud saya, sebelum benar-benar mengenal tentang hukum islam, alangkah baiknya, mengenal tentang keimanan. Karena landasan atau dasar dari islam itu adalah iman.

Kekuatan iman adalah kunci dari keislaman. Kunci dari keislaman. Sebab iman itu adalah seringkas percaya. Namun, kalau percaya sekedar percaya tanpa adanya Allah, maka percaya itu mampu buta. Artinya tetap membutuhkan ilmu untuk percaya.




[2] Memang harusnya begitu, tapi sebelum menjadi begitu, baiknya orang-orang mengetahui tentang landasan keimanan, dan harus jeli melihat realitas yang terjadi; keadaan daerah yang terjadi. Melihat secara bijak dan cermat, realitas-realitas apa yang menghampiri. Kalau kita, desa wargomulyo, yang sibuk dengan pertanian, dan berada di masa damai: apakah kita akan geger-geger menyuarakan untuk menggunakan gamis, misalnya. Atau kita dianjurkan untuk tumbuh berjambang, misalnya, sementara karakter wajah kita adalah tidak sarat dengan kejambangan. Atau tentang gaya duduk yang persis menyerupai kanjeng nabi Muhammad, misalnya, bertegap, tanpa harus loyo. Maksud saya, harus melihat realitas yang sebijak mungkin. Meniru boleh, tapi jangan memaksakan; karena yang kita tiru adalah misi kanjeng nabi Muhammad, yang dilalah, bersamaan dengan itu, akhlak kanjeng nabi Muhammad baik, tapi kita melihat kanjeng nabi Muhammad sebagai cermin; andai kata tidak terwujud, maka memang mencermin kanjeng nabi Muhammad itu tidak mudah. Karena dia tidak ada duanya. Begitu.

Belum ada Komentar untuk " Realitas Di Masa Kanjeng Nabi Muhammad Tinjauan Filosofis-sosiologis "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel