SEBAB-SEBAB TERJADINYA ‘PERPECAHAN’ KESATUAN PRINSIP


Saya mengamati bagaimana gerak-gerik sosial keagamaan (di desa), maka ketemulah yang menjadi sebab-sebab perpecahan kesatuan prinsip:

10 tanda perpecahan kesatuan prinsip:

Pertama, keadaan zaman menuntut orang mengakukan ‘keakuannnya’

Kedua, tanda keakuan menjadikan ‘iman’ laksana keakuan.

Ketiga, menghendaki pengunggulan diri ‘yang bisa’

Keempat, kebersamaan selalu mempunyai tawaran eksistensi lebih lanjut

Kelima, perkumpulan bukanlah hal yang mudah karena sedikit ‘materi’ (uang)

Keenam, keadaan zaman mengajak untuk kemata-duitan

Ketuju, lebih mengandalkan kerja yang bersih, lalai dengan ‘kealaman’ Indonesia

Kedelapan, kebutuhan zaman yang serba uang menjadikan individu harus berpikir uang

Kesembilan, nama atau status ulama orientasinya adalah pengkajian dan lalai untuk bekerja

Kesepuluh, ketidak-sadaran ‘terhadap’ status keislaman atau keulamaan.



Uraiannya:

Pertama, keadaan zaman menuntut orang mengakukan ‘keakuannnya’

Artinya, keadaan kepemilikan atau hal-hal teknologi atau permesinan, mewajibkan atau mengharuskan mengakukan keakuannya lebih. Sebuah contoh, tatkala saya sedang shalat jamaah di masjid dan menggunakan sepeda motor, maka tiba-tiba ada yang bertanya: ini motor milik siapa? Jawabnya, ini milikku.

Atau, ini televisi milik siapa? Jawabnya, ini milikku.

Ini rumah milik siapa? Jawabnya, ini milikku.

Ini buku milik siapa? Jawabnya, ini milikku.

Ini perpustakaan milik siapa? Jawabnya, ini milikku.

Memang benar hak-kepemilikan adalah hak individu, yang itu adalah milik individu yang tidak bisa disangkal, namun karena kepemilikan tersebut, menjadikan manusia sangat-sangat individu; dan lebih mengutamakan keindividuan. Harusnya memang ‘keakuan’ itu menjadikan lebih mudah, namun pada kenyataannya, adalah menjadikan hak-keakuan yang efeknya adalah kepameran. Jika pun tidak ‘pamer’ maka harus ada ‘keperakuan’. Tawaran prinsip keimanan, adalah menyeragamkan manusia yang satu dengan yang lain: milikku adalah milikmu, tapi milikku bukanlah milikmu; dan kita juga telah mengetahui hukum-hukum dan tatanan ‘akhlak’ harusnya dengan ‘engkau’ memiliki keakuanmu menjadikan hidup yang lebih baik. Menjadikan hidup yang lebih milik bersama.

Milik bersama bukanlah menjadi sepenuhnya milik-bersama, melainkan statusnya saling membantu. Namun, yang jelas, ‘keperakuan’ di zaman seperti ini, mulai sangat terang-terangan. Dan teramat terang.

Kedua, tanda keakuan menjadikan ‘iman’ laksana keakuan.

Efek lanjutannya adalah tentang keakuan-iman, seakan-akan iman itu tanpa membutuhkan teman, tanpa jalin menjalin dalam lingkungannya. Memang, sekarang, telah terjadi perkumpulan tentang orang-orang yang beriman atau pun orang-orang yang berpengetahuan tentang keislaman; namun, lagi-lagi, dalam perkumpulan tersebut, sering diunggulkan adalah keimanan-individu, lalai bahwasnya yang lain juga adalah orang-orang yang beriman dan saling membutuhkan satu sama lain, yang tujuannya adalah menguatkan tentang keimanan satu sama lain; bukan menjadi individu atau pamer ‘keilmuan’ secara individu dan berkata dalam diri, “Saya lebih hebat dirimu.” Padahal, harusnya: dengan kemampuan yang telah dibagi-bagikan, mari kita bersama-sama. Jika engkau bertanya fikih, kepadaku. Jika aku bertanya tafsir, kepadamu. Sungguh, kemampuan kita itu dipisah-pisah karena sudut-pandang kita berbeda.

Ketiga, menghendaki pengunggulan diri ‘yang bisa’


Itulah yang telah saya paparkan: sering individu menghendaki pengunggulan diri, padahal saling membutuhkan satu sama lain: entah itu, yang muda, atau anak-anak, atau bahkan orang-orang yang statusnya bodoh, pastilah membutuhkan. Bahasa lainnya, apa artinya orang pandai jika tidak ada orang bodoh? Atau apa artinya orang pandai jika dia menggurui yang pandai? Maka alangkah baiknya: kalau orang-orang yang berpengetahuan itu merapat dan berkumpul dan membicarakan tentang kebersamaan, dan membicarakan bahwa agama itu adalah realitas yang terjadi. Tawaran agama tidak muluk-muluk untuk orang-orang yang di sana, yang jauh di sana: tapi untuk kita sendiri. Untuk diri masing-masing. Dan ilmuku akan lebih maju, kalau engkau pun menerapkan apa yang kutawarkan; lebih-lebih kalau engkau mengingatkan kalau aku pun salah, dengan pengingatan yang lembut. Sungguh, setiap manusia akan mau kalau diingatkan yang itu tidak memaksa.

Keempat, kebersamaan selalu mempunyai tawaran eksistensi lebih lanjut

Kebersamaan di zaman seperti sekarang ini, seringnya sibuk tentang eksistensi (mewujud; tentang keberadaan, tentang yang ada) lalai pada esensisinya. Kebersamaan yang diharapkan adalah tentang kemajuan atau lesataan ‘keharusan’ kebersamaan: lalai dengan ‘kebersamaan’ yang tujuan meningkatkan keiman.

Apa itu meningkatkan keimanan?

Jawabnya, meningkatkan suatu kesatuan yang lebih berpasrah kepada yang satu.

Memang sering dikatakan: “Tujuan kita di sini adalah meningkatkan keimanan.”

Tapi kataku, “Kata-kata zaman sekarang laksana angin lalu, dengan gampang dan mudah orang berkata tentang meningkatkan keimanan, yang kemudian, selepas dari pertemuan, seakan-akan kalimat itu ‘hangus’ atau bahkan akhlaknya tidak berubah, atau tingkah-tingkahnya tidak menjadi lebih-dewasa dan mawas diri. Bukankah kita sepakat bahwa semakin kuatnya keimanan maka akan sangat membutuhkan keislaman?”

Lebih-lebih, eksistensi tersebut—selain tawaran untuk kebersamaan atau mengharuskan orang-orang untuk bersama—kadang seringkali sibuk pada fikih (fikih adalah tentang eksistensi) seakan-akan tergabungkan antara orang yang kuat iman dengan lemah iman, dan merasa layak untuk membahas tentang kefikihan atau hal-hal yang berkaitan dengan penampakan. Padahal, di dalamnya adalah keropos dan bahkan sekedar ‘ukuran’ kata-kata. bahkan-bahkan berefek kepada pakaian: seakan-akan pakaian yang bodoh dan yang pandai adalah sama. Dan eksistensi-eksitensi yang lain. Padahal kalau kita mengingat sejarah islam di masa kanjeng nabi, maka yang lebih diutamakan adalah tentang esensi. Saat esensi menguat, atau sekumpulan orang yang esensinya kuat, maka mau tidak mau harus mempunyai wadah dari esensi: yakni keislaman.

Kelima, perkumpulan bukanlah hal yang mudah karena sedikit ‘materi’ (uang)
Kemudian, karena zaman mengharuskan untuk mengumpulkan pundi-pundi uang demi mencukupi keumuman, maka orang-orang tentu orientasinya adalah uang, uang dan uang. orientasi adalah sudut pikiran yang utama. Sebabnya, alat-alat technology atau tawaran iklan-iklan yang menglobal, atau tawaran postmodern, menjadikan orang-orang teruntut menyamaratakan kemanusiaan. seakan-akan tidak ‘trendi’ kalau tidak menggunakan itu. Tidak mudah kalau menggunakan ‘alat-mesin’. Tidak mudah kalau tidak menggunakan itu. karena tekanan realitas yang seperti itu, maka mengajurkan orang-orang untuk bergiat mengumpulkan uang.

Bahkan tawaran keislaman, acara-acara keislaman (pengajian), yang seakan selalu menggunakan ‘uang’ atau inginnya pamer-pameran tentang kemegahan dan kemewahan ‘penampakan’, atau inginya ujuk diri terhadap realitas, menjadikan orang-orang harus begiat iuran untuk alasan kemegahan dan kemewahan acara tersebut, lalai dengan esensi dari acara tersebut. dan perkumpulan, yang sedikit materi, atau pembahasan terhadap prinsip menjadi emoh, karena tidak ada uangnya, atau kalaulah berkumpul sekedar membahas tentang hal-hal yang eksistensi.

Lalai bahwa perkumpulan adalah tetang keumatan. Missal, khutbah jumat: baiknya, dalam lingkungan desa, haruslah para ulama-ulama berkumpul untuk menyelaraskan sekali lagi apa-apa yang dipikirkan. Bayangkan saja, kalau ulamanya terpecah belah, bagaimana dengan umat-umatnya?

Sungguh benar bahwa keberadaan eksistensi keislaman atau fikih, mengajurkan dan bahkan mewajibkan harus adanya perbedaan, yang gunanya untuk menguatkan satu sama lain: namun, Karena kendala utama zaman sekarang adalah banyak orang muslim namun lalai dengan muslimannya, maka yang penting diingatkan adalah tentang keimanan buat orang muslim, yang kemudian, saat keimanan menguat baru menjadi tawaran kefikihan.

Atau perkumpulan dalam pembahasannya adalah tentang bagaimana tentang keumatan, atau tentang bagaimana realitasnya islam bagi umat yang awam: menurut saya itu sangat penting. Yakni merealitaskan islam bagi umat yang dalam jalinan hiperrealitas-kebebasan karena tawaran technology, penting diingatkan tentang realitas islam: bahwa al-quran itu nyata, bahwa islam itu nyata. bahwa al-quran itu nyata, bukan cerita masa lalu. Bahwa agama itu nyata, bukan tentang sejarah atau sekedar kajian.

Keenam, keadaan zaman mengajak untuk kemata-duitan

Sayangnya, keadaan zaman mengajak untuk kemata-duitan. Bahkan kiai atau yang dijuluki ulama pun turut serta dan sering kemata-duitan. Yakni, sibuk untuk mengindah-indahkan tentang sesuatu yang membajui dirinya, dengan dalil-dalil yang kuat tentang pentingnya ‘keindahan’, tentang estetika. Padahal sejauh kita ketahui, bahwa untuk dikatakna indah maka perlu kecukupan, barulah diindahkan. Atau, telah ada, baru diindahkan.

Sekarang, bayangkan saja, kalau ulamanya saja kemata-duitan: bagaimana dengan umat-umat yang mengikutinya? Tentu, sama.

Padahal, hidup atau kebahagiaan, bukanlah terletak pada ‘keuangan’ atua sesuatu yang itu kebendaan. Telah kita ketahui tentang orang-orang yang kaya-benda, bukankah mereka adalah termasuk-orang yang kurang karena berusaha untuk mendapatkan kebendaan? Karena merasa belum cukup sehingga harus terus mencari? Syukur kalau dirinya memahami, bahwa kaya adalah tompangan diri untuk bersedekah kepada orang-orang faqir, miskin dan yang lain-lain. Tidak menyombongkan diri terhadap kekayaannya.

Namun, tekanan saya, kalau ulama sudah kemata-duitan, tentu ini yang menjadikan payah: mungkin, mereka lalai bahwa hidup adalah alat untuk mencapai kehidupan yang sesungguhya!

Ketuju, lebih mengandalkan kerja yang bersih, lalai dengan ‘kealaman’ Indonesia


Pengandalan atau keinginan untuk yang lebih baik, yang orientasinya adalah enak, memerintah, tinggal tuding, duduk, bersantai, tidak disengat matahari, tidak mau hal-hal yang kotor; inginnya terlihat bersih, inginnya terlihat indah, dan jatuhlah pilihan kepada pekerjaan yang bersih dan enak: dan seakan-akan lalai terhadap ‘kealaman’ Indonesia.

Sekarang, siapa yang bercita-cita menjadi petani asli?

Siapa yang bercita-cita menjadi tukang kebung?

Siapa yang bercita-cita menjadi nelayan?

Karena asupan pendidikan, menjadikan orang-orang ‘bercita-cita’ yang itu diluar ‘realitasnya’: inginnya mengglobal, yang mungkin, bisa jadi, masih ‘terpatri’ dalam benaknya, inginnya mendapati pekerjaan yang lebih layak, yang menghendaki untuk mencukupi kehidupan yang standar. Sementara ukuran standar di zaman yang ukurannya internasional, tentu ukurannya termat tinggi, yakni bangsa eropa. Maka ukuran standar selalu diorentasikan bagi yang lebih lesat terhadap sains, sementara keadaan ‘yang sebenarnya’ atau realitasnya adalah ukuran Indonesia.



Kedelapan, kebutuhan zaman yang serba uang menjadikan individu harus berpikir uang

Sejak era industrisasi, maka terjadilah pola-pikir yang itu serba keuangan, dan tiap-tiap individu berpikir tentang keuangan, yang tujuannya tentu untuk mempertahankan keindividuannya. Maka kalau tidak mengikuti zamannya, akan ketinggalan. Maka kalau tidak mengikuti zamannya akan kewalahan. Faktanya, yang sering terjadi adalah lebih mengikatkan diri kepada uang. uang menjadikan kebutuhan pokok yang serba kepokokan, sehingga banyak terjadi perkara karena uang. Seakan-akan uang adalah nomer satu; yang mampu menyelamatkan ‘kebutuhan’ kemanusiaan, padahal tawaran itu adalah tawaran ‘kepemilikan’ yang kuat. Dan kalau tidak bisa menyikapi dengan bijak, yang terjadi adalah harsat tentang keumuman dan keirian untuk memiliki hal-hal tentang keduniaan.

Jika ditanyakan, apa salah kalau mengikuti zamannya?

Jawabku, tidak salah. Hanya saja, harus memahami bagaimana zaman. Begitu.

Jika ditanyakan, bagaimana maksud ‘memahami zaman’?

Jawabku, jika itu engkau butuhkan, punyalah. Tapi ingatlah itu adalah alat.

Jika dikatakan, apakah engkau tidak meyukai perkembangan zaman atau menolak perkembangan zaman?

Jawabku, tidak! Kita tidak bisa menghelak keberadaan zaman; hanya saja, kita penting menguatkan keimanan yang kemudian dari itu, kita akan berasaskan islam yang kokoh. Dan keberadaan zaman adalah pendukung untuk penguatan keimanan, dan islam adalah payung kita. Tapi ingatlah, tawaran zaman adalah tentang eksistensi di dunia, dan saya menyarankan bahwa kita penting mengokohkan esensi, yakni tentang keislaman kita, khususnya tentang keimanan.

Kesembilan, nama atau status ulama orientasinya adalah pengkajian dan lalai untuk bekerja
Yang kemudian, nama atau status ulamanya, itu seringkali ditempatkan pada hal-hal yang sacral atau tempat-tempat mulia, seperti pengajian, masjid, atau hal-hal yang bersih; dan seakan-akan sangat aneh kalau ulama berada di pasar—padahal status orang-orang berpengetahuan islam ada di mana-mana—namun lalai dengan status apa yang disebut ulama. Dipikir, status ulama adalah milik dia yang berkesibukan dalam hal-hal islami dan sibuk pada teks-teks islami. Seakan-akan islam sangat-sangat tidak realistis, islam seperti idea atau musim belaka, yakni musimnya ibadah. Atau tatkala berada di masjid, tatkala berada di pengajian.

Lebih-lebih, ulama atau status yang bergelar atau digelari, atau dijuluki, seringkali lebih memilih mengkaji-kaji atau duduk ‘ongkang-ongkangan’ atau sekedar membaca kitab-kitab terdahulu, atau kitab-kitab klasik namun lalai bahwa dirinya membutuhkan kerja; padahal, menurut saya, harusnya, ulama tetap bekerja, yakni bekerja yang itu memikirkan umatnya; membaca kitab-kitab terdahulu yang kemudian menulis untuk menjawab tantangan zaman, yang kemudian dikonfirmasikan kepada ulama setempat dan didiskusikan; maka tentu, status ‘ngaji’ adalah milik bersama. Bukan sekedar anak-anak, atau milik pemuda yang berstatuskan ‘pelajar’. Dipikir, setelah selesai dari status ‘pelajar’ formal, tugasnya telah selesai: oh begitulah pengangguran ilmu, yang mendiamkan ilmu di dalam dirinya sendiri, dan anehnya kadang lidahnya berkoar: ngaji, belajar, padahal dirinya tidak seantusias itu untuk belajar dan mengaji. Padahal dalam pikirannya sangat menempel: bahwa mencari ilmu itu sampai liang lahat. 
 
Kesepuluh, ketidak-sadaran ‘terhadap’ status keislaman atau keulamaan.

Tema kesadaran, inilah sesungguhnya yang sangat penting dari sebab-sebab itu semua; sebab ini adalah tema yang besar, yang seringkali di zaman seperti sekarang ini, banyak orang yang menyatakan:

Saya sadar bahwa saya adalah muslim.

Namun ia lalai, bahwa banyak muslim yang lain, yang statusnya adalah muslim. Ia lalai bahwa banyak orang-orang muslim. yang harusnya menjadi satu kesatuan yang utuh: utuh dalam hal ruhani maupun materi. Yang saling mendukung, tentang ruhani dan jasad.

Atau, tentang ulama yang tidak sadar dengan keulamaannya.

Seakan-akan ia lalai apa makna ulama: dipikir, ulama adalah mereka yang sangat-sangat ngeletok dan ngelupas-pas terhadap keislaman, yang dia adalah berpengetahuan al-quran dan hadist yang banyak, atau tentang hapal-hapal kitab alat atau kitab-kitab yang lain.

Dipikir, ulama adalah mereka yang kelasnya adalah nasional dan metereng di televisi atau radio atau majalah atau Koran atau lembaga-lembaga pendidikan. Padahal, ulama berarti orang yang tahu.

Dipikir, orang yang tahu dalam islam, harus berpengetahuan yang berlebat-lebat, dan banyak—sekali pun di zaman seperti sekarang ini, banyak orang yang tahu tapi membangkang-ketahuannya. Banyak orang yang tahu, tapi pura-pura mentidak-tahukan. Banyak orang yang tahu, tapi tetap melanggar ketahuannya—padahal, bagiku, tidak. Karena sesungguhnya, di zaman seperti sekarang ini: khususnya orang-orang tua, maka telah mengetahui tentang keislaman yang itu telah banyak.

Hanya saja, enggan atau males untuk menjalankan.

Males dan melanggar kepengetahuannya.

Sekarang, jika orang-orang berpikir seperti itu, siapa yang patut dipersalahkan? jawabku, orang-orang yang mempunyai kedudukan atau mempunyai kesempatan untuk menyampaikan keislaman secara umum.

Apakah itu adil?

Jawabku, ini adalah keputusan yang baik. Sebab, orang-orang yang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, lalai dengan statusnya. Namun jika dilerai lebih lanjut, maka dalam hal ini, tidak ada yang layak dipersalahkan: sebab tujuan agama adalah individu. Tanggung jawab keindividuan.

Oleh karenanya, baiknya, orang-yang berpengetahuan lebih—atau yang mempunyai kuasa untuk menyampaikan—harus cerdas atau bahkan lebih cerdas mengaktifkan akalnya, untuk keumatannya, atau telinga-telinga yang mendengar apa yang disampaikan.

PENUTUP

Jika engkau bertanya, apa tujuanku menuliskan ini?

Jawabku, saya berusaha menyelamatkan pemikiran saya. Beginilah caranya.



2017

Belum ada Komentar untuk "SEBAB-SEBAB TERJADINYA ‘PERPECAHAN’ KESATUAN PRINSIP "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel