Tokoh ‘Yang Asing’ Bagi Realitas-Sesungguhnya




Kita sering mengenal tokoh-tokoh kelas nasional atau bahkan internasional, tapi seringkali, atau bahkan ini yang menjadi fenomena bahwa kita tidak mengenal dengan baik tokoh-tokoh yang ada di sekitar kita.

Pelajaran-pelajaran yang ada di sekolahan, mulai dari tingkat bawah sampai menengah atas, atau bahkan sampai kuliah, tokoh-tokoh yang ditawarkan seringkali adalah tokoh-tokoh sekelas nasional dan tokoh-tokoh kelas intenasioanal. Dan jarang mengenal tentang tokoh-tokoh yang ada di sekitar kita.

Yang secara otomatis, pemikiran kita, berupaya untuk dikenalkan kepada tokoh-tokoh yang itu jauh dari lingkungan. Yang secara otomatis, kita tidak begitu akrab dengan tokoh-tokoh yang realitas.

Padahal kehidupan adalah realitas yang sesungguhnya, yang menjalin dengan orang-orang yang sesungguhnya, bukan lintasan nasional atau kelas internasional. Bila pun pada acara lintas nasional, maka yang terjadi mereka adalah sekedar mampir dan mampu menawarkan keindahan-keindahan sesaat, menawarkan kata-kata sesaat dan pakaian-pakaian indah sesaat. Faktanya, setelah kepergian mereka, hidup tetaplah berjalan normal, yakni menjalin interaksi dengan tokoh-tokoh setempat, menjalin dengan realitas-realitas yang sesungguhnya.

Di zaman hiperrealitas ini, tawaran media, transportasi, dan telekomunikasi, semakin menujunkan bahwa hidup yang sesungguhnya adalah cangkupan yang ada pada lingkungannya; yang mencukupi kebutuhan individu dari manusia, mengeluarkan sikap-sikap realistis dari kemanusiaan, yang bersifat real atau benar-benar nyata. bukan fantasi, bukan khayalan.

Tapi zaman, keadaan zaman, mengajak orang-orang untuk berkhayalan dan berfantasi. Menjadikan orang hendak ke sana, walau sebenarnya masih di sini. Menjadikan orang memikirkan di sana, walau kenyataannya di sini. Dan hidup benar-benar melampaui kehidupannya, inilah, dalam kamus sosiologi atau kamus filsafat disebut keadaan hiperrealitas. Melampaui realitas yang sebenarnya.

Dan kita menjalani itu; wal-hasil pelajaran-pelajaran yang terjadi adalah menawarkan pelajaran yang itu jauh dari lingkungannya. Tidak mengenal dengan sungguh tentang kondisi lingungannya—sekali pun secara kasat mata, telah terlihat jelas tentang lingkungannya—tapi tidak mengenal dengan kesungguhan bahwa ada jalinan realitas antara ilmu dan kenyataan.

Pengetahuan menjadi sekedar dunia-pengetahuan.

Pengetahuan menjadi sekedar dunia-ide.

Pengetahuan menjadi sekedar teks sejarah.

Padahal, harusnya pengetahuan adalah sesuatu yang sebenarnya mendorong manusia untuk melakukan sesuatu secara cermat dan teliti dan menikmati kehidupannya karena beralaskan ilmu. Tatkala melakukan sesuatu, dia mengetahui. Tatkala mengerjakan sesuatu, ia mengetahui. Maka orang-orang akan sibuk dan gemar dengan ilmu.

Namun faktanya, kemenangan status keilmuan—yakni lembaga pendidikan dimana-mana, hasilnya—tidak menjadikan orang-orang berhasrat dengan keilmuan, malah yang terjadi, manusia kita, khususnya di desa wargomulyo, menjadikan orang-orang malah terdorong untuk menjadi kaya, menjadi paling pandai, menjadi paling terkenal (popularitas), atau menjadi yang paling mulia; seakan-akan hidup adalah kepingan sendiri-sendiri dan kebahagiaan adalah kebahagian diri sendiri.

Lalai bahwa manusia adalah mahluk yang sama-sama ciptaan Tuhan.

Lalai bahwa sebenarnya kita berprinsip sama.

Namun, yang terjadi, pendidikan –adalah kata kunci untuk merubah itu—supaya yang terdidik terfokuskan pada ilmu dan konsentrasi dengan ilmu, dan mengerti akan tujuan ilmu; bahwa tujuan ilmu adalah menjalani kehidupan yang normal dan baik untuk kelak saat-saat menjalani kehidupan yang sesungguhnya. Yakni menjalin dengan manusia yang lain. Saling menyaling dengan pengetahuan yang lain.

Apalah daya, zaman mengajak untuk ukuran nasional dan internasioanal. Gerakan-gerakan pendidikan atau pengetahuan, senantiasa mengorientasikan untuk berpemikiran luas dan akrab, padahal, bagiku, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang mana jangkauan kita adalah saling mengenal satu sama lain dan menjalani kehidupan yang normal dan saling menyaling, yang bertujuan sama: yakni, menikmati kehidupan dunia sesama manusia; ringkasnya, menjalani manusia selayaknya manusia.

Dan bagiku, cara elegan untuk mendapati itu adalah dengan mengenal dengan baik tokoh-tokoh yang ada disekitar kita, karena itulah realitas yang sesungguhnya.

Apakah dengan begitu, tidak boleh atau tidak dianjurkan mengenal tokoh-tokoh nasional dan internasional?

Jawabku, kelak, cerita tentang tokoh-tokoh nasional atau intenasional pasti bakal dibutuhkan. Toh kenyataannya, tokoh nasional dan intenasional, sesungguhnya efek terang buat individu kita apa? Yakni sebagai teladan atau sekedar cerita atau sekedar ide, yang kalau mampu dijalankan, kalau tidak ya di maklumi. Sebab, realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang ada pada jangkauan tubuh itu berada.

2017

Belum ada Komentar untuk " Tokoh ‘Yang Asing’ Bagi Realitas-Sesungguhnya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel