Kita Kehilangan Makna Roh Keyakinan Study Kasus Di Desa Wargomulyo






Maksud dari kehilangan, tidak sepenuhnya hilang, melainkan masih menggunakan bekas-bekas keyakinan yang telah ada. Dan roh yang saya maksud itu tentang sesuatu yang ajaib yang dipercayai oleh individu.

Uriaian ini menggunakan metode historis, sosiologis yang dilihat secara filosofis, maksudnya menyeluruh, mendalam; dengan ukuran adalah sosial-realis di desa wargomulyo.

Latar belakang

Desa wargomulyo, berada di propinsi lampung, yangmana orang-orang awalnya adalah transmigrasi dari jawa tengah, tepatnya, di desa walet, kutoarjo, kabupaten Purworejo; di era colonial, di tahun 1930 Masehi. Masa di mana Indonesia masih marak untuk hal-hal nasionalis, yakni satu kesatuan. Untuk mendapatkan kemerdekaan dari kekuasaan belanda, maksudnya pada kekuasaan perdagaangan atau alur keperekonomian manusia Indonesia yang dikuasai oleh Belanda. Hingga kemudian, menyebabkan kepenguasaan-kepenguasaan orang-orang di nusantara di kuasa oleh Belanda. Dan akhirnya, orang-orang menyebutnya dengan penjajahan; maksudnya, penjajahan secara ‘kepemerintahan’ atau kepenguasaan hak-milik. Dan di masa itulah, orang-orang atau kelompok Mbah Nawawi dari walet pindah ke Pardasuka, yang kemudian menebang pohon-pohon atau rawa-rawa atau hutan, lalu di sebut dengan desa: wargomulyo.

Karena mereka datang dari jawa, maka mereka masih menggunakan adat jawa, walaupun tidak sepenuhnya menggunakan adat jawa, tapi masih menggunakan adat jawa.

Pada sejarahnya, nusantara atau kebanyakan yang dihuni oleh orang-orang jawa, dahulu kala, dilandasi dengan animisme yakni kepercayaan pada benda-benda serta dinamisme yakni kepercayaan yang didasari oleh kepercayaan sesuatu bahwa itu mempunyai sesuatu kekuataan magis, atau kekuatan di luar jangkauan akal. Begitulah statusnya kepercayaan yang didiami oleh manusia nusantara pada umumnya.

Hal itu mampu terjadi karena alasan alam yang mendukung manusia untuk mempercayai hal-hal tersebut; keberedaan alam yang menawarkan manusia harus bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan individu dari manusia—bandingkan dengan jazirah arab, yang mana alamnya cukup kering—maka bersama itu, kepercayaan tersebut membentuk perilaku seperti pemujaan dan penggulan suatu benda-benda yang dianggap keramat, atau mempunyai kekuatan magis.

Selanjutnya, bersamaan dengan itu, pada gerakan-dunia, yakni zaman semakin maju, yakni mulai adanya perkapalan, sekitar era 600 sebelum masehi, atau bisa jadi sebelum itu, keberadaan agama budha dari india menyebar sampai ke nusantara; di saat itulah tawaran supranatural atau tawaran gaib dari agama tersebut, memasuki manusia nusantara. Maksud dari tawaran gaib, yakni pada acara animism dan dinamisme itu tidak sepenuhnya terorganisir yang pasti; dan pada saat agama hindu-budha, maka keagamaan atau hal-hal yang berkaitan dengan mistik atau kepercayaan menjadi terorganisi, selain itu, masuknya agama hindu-budha pada sekte-sekte yang membentuk kekuasaan dari kemanusiaan; karena memang dari agama tersebut adanya tingkatan demi tingkatan. Maka kerajaan yang aada di nuasantra semakin menguat; dan pada masa selanjutnya, di sekira tahun 600 masehi, yakni mulainya keberadaan agama islam, di sinilah mulai terjadi bibit-bibit agama islam di nusantara.

Yang pada waktunya, keberadaan agama islam semakin banyak diterima, karena tawaran dari agama islam adalah menyamakan derajat dari kemanusiaan—kenanglah prinsip-prinsip dasar dari agama islam; yakni tawaran keadilan, kebersamaan, dan sama-sama menjalin kemanusiaan – yang pada gilirannya, saat islam semakin menggerombol-menggerombol; pada masa kejayaan islam di nusantara, maka tercetuslah kerajaan-kerajaan islam di nusantara.

Di saat itulah peran para wali sangat berpengaruh. Bukan hanya para wali, melainkan juga para ahli-tasawuf, hal itu bisa kita telisik atau telusuri lewat banyak para ahli sufi di tempat Indonesia. Begitulah asal-usulnya dominasi penyebaran agama islam di nusantara, banyak yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf; sebab orang-orang didasari dengan kepentingan hal-hal yang berkaitan dengan hati.

Contoh terang, adalah kepercayaan animism dan dinamisme berserta hindu-budha, yang sarat dengan nilai-nilai mistis, yakni laksana menerima dunia tapi agak mengutuk keduniaan; terlebih lagi, pada agama budha. Yang menyatakan bahwa kehidupan itu adalah derita, maka untuk mencapai derita harus diterima. Dan kebaruan dari kehidupan itu adalah kedukaan. Dan untuk mendapati itu, maka harus kembali ke diri individu, penguatan terhadap tawaran keduniaan; hati-hati dengan keduniaan.

Di saat itulah keislaman di nusantara menambahkan tentang hal tersebut, yang dialasi dengan nilai-nilai tasawuf. Sebab, sejauh kita ketahui, orientasi tasawuf adalah berkaitan kuat dengan kebiasaan cinta, yang mana, hukum kurang atau tidak begitu diandalkan, melainkan berprinsip toleransi dan universal; karena cinta dimiliki oleh segenap kemanusiaan.

Bersamaan itu, agama di nusantara, khususnya daerah jawa, sangat-sangat tengaruhi oleh hal tersebut. begitu juga dengan keislamannya. Begitu juga islam yang dibawa mbah nawawi dari jawa ke lampung. Yang lebih uniknya lagi, perpaduan islam dan kejawen yang berada di daerah luar jawa.

Maka orang-orang dari jawa, transmigaris tersebut, masih menggunakan adat jawa, juga keislamannya, karena mbah nawawi pun, membawa kiai atau menarik kiai dari jawa untuk mengurusi daerah tersebut, yang setidaknya adanya kiai untuk distatuskan menjadi kiai, dia bernama mbah ibnu qosim, bertempat tinggal di sekitar masjid agung wargomulyo.

Jawaban Masalah Dari Kehilangan Makna Roh-kepercayaan Di Desa Wargomulyo?


Kita dari jawa, tapi sedikit sekali kita berpengetahuan tentang adat jawa, karena kita berada bukan pada daerah jawa, selain itu, pendidikan dari kejawen sangatlah langka, kecuali pendidikan yang itu dari lidah ke lidah atau kebiasaan yang ada, yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Ringkas kata, pendidikanlah yang menjadikan kehilangan roh-kepercayaan kejawen di wargomulyo; karena sejauh kita jalani, pendidikan yang ditawarkan berbasik orientansi nasional, yang mana gerakannya adalah nasional, sementara realitas masih menggunakan adat kejawen, dan lagi-lagi, adat kejawen mulai punah dengan meninggalnya orang-orang jawa yang menua.

Lalu, bagaimana adat tersebut tidak kehilangan makna sementara para penerus sekedar menjalankan apa-apa yang diwariskan oleh nenek-moyangnya yang mengetahui asal-usulnya? Sekedar menjalankan!

Selain itu, agama islam di desa wargomulyo, sangat menyalak deras, yang berefek pada banyaknya orang-orang yang dikirim ke pondok-pondok pesantren, entah itu jawa atau pun sekelas lampung; dan saya termasuk generasi yang mondok ke jawa. Yang kemudian, tawaran zaman, yakni melesatnya zaman:

Transportasi

Telekomunikasi

Transfer

Elektonik

Menjadikan manusia wargomulyo turut dalam gelombang zaman, maka bersamaan itu, prinsip orang-orang mulai menjadi prinsip zaman; yakni globalisasi dan internasionalisasi. Yang efek drastisnya adalah pengetahuan bersifat positifistik; yakni sesuatu yang bersifat positif, sementara realitas, masih menggunakan metode pengetahuan transenden; karena hal-hal mistik atau keagamaan di Indonesia, khususnya di wargomulyo, bersifat transenden.

Kehilangan maknanya, karena orang-orang lalai dengan apa yagn sebenarnya ditujukan oleh kehidupan, dan lebih tertarik dengan hidup yang praktis sesuai dengan zaman yang menuntut orang-orang untuk praktis.

Oleh karena itu, sekarang, jawabannya:

Pentingnya peran ulama untuk menanamkan kembali tentang kepercayaannya, tentang kepengatahuannya, tentang keimanannya, yangmana semuanya adalah satu sama lain, harus ada perubahan untuk meneguhkan kembali sesuatu yang seakan hilang, yakni roh-keyakinan, sarat utamanya, individu harus kuat terhadap roh-keyakinana, selain itu, pendidikan teramat penting mengabarkan tentang hal-hal tersebut.

Pendidikan yang mana? Ini tentu, pendidikan yang harus mengarah pada hal-hal realistis. islam pun harus islam realistis. pengetahuan pun harus bersikap praktis. dan selain itu, orang-orang harus mengetahui tentang keakuannya sekali lagi, berguna untuk:

Menyatakan kesalahan-kesalahan yang telah berlalu, karena turut serta dalam gelombang dunia yang mengantarkan manusia untuk bersikap individu, popularistik, dan pamer-pameran, serta penampakan demi penampakan; lalai bahwasaya manusia itu adalah saling menyaling, butuh-membutuh, yang tujuannya adalah bahagia jasad serta batinnya; kedudukan bahagia jasad (materi) lewat alam yagn ditawarkan oleh tuhan untuk manusia nusantara, desa wargomulyo khususnya, dan bahagia batin (ruhani) lewat agama yang mana memang dari situlah jawabannya. Demikian.

Belum ada Komentar untuk "Kita Kehilangan Makna Roh Keyakinan Study Kasus Di Desa Wargomulyo"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel