Kenanglah Agama Islam Pun Menjalin Hiperrealitas




Apa yang kau resahkan dalam dunia yang hiperrealitas versi keumuman dunia yang berorientasi pada nilai-nilai material, Taufik? Yang mana manusia menjadi budaya pencitraan lagi penampakan demi penampakan; lebih mengutamakan wadah tinimbang isi, lebih mengutamakan baju di banding sesuatu di dalam diri manusia, yakni hati-akalnya atau moralnya; lebih mendahului kepameran dibanding keikhlasan. 

Kenanglah, zaman islam, sejak keberadaanya telah menjalin realitas hiper—sesuatu yang melampaui kenyataan yang sesungguhnya--; apakah engkau lupa turun-temurun orang-orang yang mempercayai kenabian? Apakah engkau lupa bahwasanya nabi-nabi senantiasa mengenang nabi-nabi yang lain, dan saling berdialog yang itu adalah dialog di luar kenyataan yang sesungguhnya?

Uraikan padaku: apa makna dialog dalam keislaman?

Jika engkau enggan berpikir tentang hal tersebut, maka aku tawarkan jawaban. 

Dialog dalam keislaman adalah dialog yang itu tidak sekedar pada realitas yang sesungguhnya; memang, dialog itu orientasi kuatnya adalah realitas yang sesungguhnya, namun dalam keislaman, dialog itu pun akan menjadi dialog yang itu menjalin kepada orang-orang pendahulunya; yang itu adalah kesamaan visi atau kesamaan prinsip, dan yang berbeda adalah tentang perwujudan mendayakan prinsip.

Jika engkau bertanya, mengapa pada prinsip yang sama terdapat bentuk yang berbeda? Atau mengapa syariat agama samawi lebih kental pada agama islam yang itu telah tertata rapi dan membuat pola yang ribet dengan tataran hukum?

Jawabnya, karena zaman mulai semakin terbuka, zaman telah maju, zaman semakin mendayakan akalnya, maka di sanalah keberadaan agama islam menyatukan prinsip-prinsip keesaan yang kokoh dan puncak—sesungguhnya, ini soal waktu, taufik; bahwasanya waktunya keislaman harus muncul dan mencorong dengan penawaran-penawaran dari yang kuasa yang memang harus ‘ada’ di daerah mekah, yang sejak keberadaannya telah digiring oleh-Nya untuk kuat menguat dalam hal-hal keluargaan. Andaikata, tidak seperti itu, maka tidak akan mampu menjadikan ‘islam’ kokoh; sebab, dalam system kokoh kenasaban, atau kekeluargaan, maka akan semakin mudah menjalin kepercayaan. Begitulah keimanan, Fik.

Yakni model percaya kepada seseorang yang memang harus mensyaratkan manusianya sebagai personal yang kokoh dan kuat.

Namun yang kita bicarakan adalah jalinan hiperrealitas. Kembali ke hiperrealitas dalam islam.

Keterikatan nabi dengan nabi yang lain, adalah ikatan kuat hiperrealitas dalam islam. seperti dirimu dengan gurumu, seperti aku dengan guruku, yang sambung menyambung sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad, lalu dari beliau menyambung ke seluruh nabi-nabi yang ada. Begitulah jalinan hiperrealitas dalam islam.

Andai engkau telah menjalankan jalianan telepati—nah inilah yang hendak saya maksudkan dengan hiperrealitas, Taufik—yang itu adalah komunikasi tanpa menggunakan handphone, atau seperti halnya hal-hal yang berkaitan dengan ‘turunnya’ wahyu, tentu engkau akan sangat mempercayai zaman hiperrealitas. Atau engkau telah menjalinkan komunikasi yang nyata dengan gurumu, yang itu tanpa-perantara namun engkau mampu mengendalikan ‘perjumpaanmu’ dengan gurumu, maka teranglah engkau sangat-sangat mempercayai jalinan hiperrealitas.

Dan realitas adalah sesuatu yang harus diterima secara mutlak dan adanya protes dan engkau sekedar menerima. 

Realitas adalah sesuatu yang mesti terjadi dan engkau tidak akan mampu mengubahnya sedikit pun, kecuali hanya menerima apa-apa yang terjadi. Dan engkau tidak akan mampu mendayakan akalmu sedikit pun; akalmu adalah sekedar tumpangan realitas yang tidak bisa engkau ubah.

Yang pasti, dalam agama islam itu, kental dengan realitas hiper, Taufik. Jika penggegeranmu tentang hal-hal yang umum bersikap materialistic atau lebih mementingkan kehidupan dunia dengan seluruh pernak-perniknya, maka wajar: begitulah manusia, Fik, selalu ingin melampaui kemanusiaannya. Selalu berdaya diri ingin melampaui kemanusiaannya:

Inginnya memiliki harta yang banyak lalu memerintah.

Ingin memiliki harta yang banyak lalu hidupnya sibuk dengan duniawi.

Ingin memiliki harta yang banyak dan dikenal dengan kekayaannya dan murah hati.

Maka memang begitulah tabiat dari manusia, Fik, tidak bisa diubah dan tidak bisa dihelak. 

Namun ingatlah, bahwa allah telah mengatur rapi tentang realitas, Taufik. Allah telah merancang dengan rancangan yang kokoh dan kuat, tidak ada yang mampu mengubah apa-apa yang telah ditetapkan, dengan bahasa lainnya, begitulah takdir-Nya, begitulah ketetapan-Nya. Ringkas kata, manusia mampunya merencana dan Tuhanlah yang menentukannya.



2017

Belum ada Komentar untuk " Kenanglah Agama Islam Pun Menjalin Hiperrealitas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel