Keluarga, Emosi, dan Kesamaan Prinsip
Jumat, 19 Mei 2017
Tambah Komentar
Semalam kami berjumpa, saudara-sedarah, nah zaman sekarang, seringkali tidak adanya perjumpaan di antara saudara-sedarah, seringkali orang lalai bahwasanya saudara-sekandung adalah berasal dari orang yang sama, yang mempunyai watak atau tabiat yang tidak jauh berbeda di antara yang lainnya. Itulah yang penting diketahui.
Wal-hasil, untuk membaca kedirian saudara harus membaca kedirian invidividu. Sebab watak atau tabiat saudara sekandung adalah sama, sebab dalam didikan yang sama pula. Jika pun ada yang membedakan maka, keberadaan zaman dan keberadaan situasi dan kondisi, yang mengajurkan berbeda. Namun, tetap saja—ini saya menilai dari saudara saya sendiri—ada kesamaan prinsip atau pola-pikir yang serupa.
Hal seperti itu layaknya, nabi Yusuf dan saudara-saudaranya—bahkan untuk seakan kesamaan pola pikir adalah saudara-seayah—terlebih lagi begitulah, yang lebih kental memang nuasa ayah. Mengikuti pola-pikir ayah, sebab dalam status kejadian manusia, pengiriman anak sumbernya dari ayah, dan ibu adalah penampung dari ayah. Maka sebenarnya, ayah itu adalah penting. Maka kebaikan dan perilaku ayah, harusnya menjadi tolak ukur untuk hal ini—ini pun pendapat saya; artinya boleh saya engkau berpendapat yang lain, tapi biarkan saya menguraikan hal ini—
Yang Menjadikan Kesamaan Prinsip Atau Perilaku Atau Pola Pikir
Pertama, karena berada dalam rumah yang sama, yang bertatanan atau berhukum yang sama, yakni dari orang-tua yang sama, lebih-lebih karena satu ibu dan satu ayah, maka kesamaan prinsip atau perilaku atau pola-pikir adalah serupa. Dan kesamaan di sini tidak bisa dikatakan sama; serupa tapi tidak sama. Sama tapi tidak sama.
Kebersamaan itu memberikan efek, kedua, gerakan peniruan; meniru yang lain, meniru yang lain, menyonto yang lain, yakni yang berada dalam didikannya, sebab, anak-anak itu belajar utamanya adalah dengan panca-inderanya, peniruan adalah objek utama, terlebih khusus meniru kepada apa-apa yang didekatnya atau yang biasa menyayanginya. Dan sebelum dia mengasilkan gerakan, maka telah terjadi pertemuan ide dan realitas. ide adalah sesuatu yang berada di dalam; realitas adalah apa-apa yang tertampak di luar tubuh. Wal-hasil, keputusan yang dia ambil adalah keputusan yang beradasarkan ‘ide’, sehingga, berjalannya waktu, ‘ide’ tersebut, tercerap dalam si tubuh-individuk, dan dari itu menuai kebersamaan.
Ketiga, yang selanjutnya, didukung dengan gerakan-zaman, maka pergerakan zaman atau realitas yang ada di luar jangkauan tubuh, adalah yang mempengaruhi, entah itu media-media atau pengajaran-pengajaran, atau guru-guru ngaji, artinya gerakan zaman adalah sesuatu di luar batas kemampuan diri untuk merubah. Pendek kata, diri itu terpengaruhi oleh lingkungan yang mempengaruhi watak dari individu. Sekali pun yang ditangkap atau yang dipilih tidak sama, namun setidaknya pemikiranya tercipratkan oleh gerakan-zaman, terlebih lagi, manusia tidak bisa menghelak dengan gerakan zaman. Dan jangan diartikan sempit ‘gerakan-zaman’ yang kumaksud adalah sosial yang menyeluruh yang mempengaruhi pemikiran.
Jalan Keluar Untuk Menyatukan Kesamaan Yang Ada
Tida ada jalan keluar yang tepat untuk menyatukan kesamaan kecuali dialog. Yakni mengualkan apa-apa yang ada di dalam pikirian masing-masing individu, supaya mengenal benar tentang keindividuannya masing-masing, bahwa pemikirannya itu adalah keserupaan dan hampir kesamaan yang sama namun tidak sama. Dan yang menjadi perbedaa adalah tentang penampakan atau upaya untuk ‘meringkes’ realitas yang sebenarnya adalah sangat-komplek.
Bersamaan dengan dialog, maka ditemukan bahwa sebenarnya yang terjadi adalah kekurangan interaksi, kekurangan dialog untuk dibicarakan. Sekali pun begitu, seringkali dalam dialog teradakan emosi—karena kesamaan tersebut, mencuatkan: individu laksana berbicara dalam cermin—maka seringkali komunikasi tergagalkan dengan sempurna.
Oleh karenanya, di antara mereka harus mengerti tentang ‘kepribadian’ diantara mereka secara menyeluruh; apakah sisi extrovertnya lebih besar atau sisi introvertnya lebih besar? Dalam kajian psikology kepribadian, dua istilah itulah yang ada dalam diri manusia mewujudkan diri di muka umum; apakah ektrovert atau introvert? Sekali pun sama-sama pemikiran atau sama-sama prinsip namun karena perwujudannya berbeda, maka itulah yang menjadikan diantaranya mis-komunikasi. Karena terjadinya, mis-komunikasi, maka terjadilah problem realitas.
Maka solusi alternative dari persoalan tersebut adalah memperjumpakan pemikiran di antara keduanya. Dengan prinsip, bahwa kita adalah sama-sama manusia. Kita adalah sama-sama sekeluarga. Kita adalah sama-sama beragama. kita adalah sama-sama dari rumah yang sama. Tentu, membacamu adalah membaca diriku. Membaca dirimu adalah membaca diriku.
Demikian.
Belum ada Komentar untuk " Keluarga, Emosi, dan Kesamaan Prinsip "
Posting Komentar