TENTANG KERAGUAN DALAM DIRI TERHADAP CINTANYA



Belenggu keraguan: Sungguh melepaskan belenggu pemikiranmu terhadapnya, karena masalah utama engkau tidak menggerakan diri untuk datang kepadanya. Bukankah tinggallah engkau menggerakan tubuhmu dan datang kepadanya lalu mengatakan, aku membutuhkanmu.

Lalu dia merespon apa-apa yang engkau katakan; yakni respon yang adakalanya tidak mulus buat dirimu, bisa jadi ia mengujimu benarkah engkau benar-benar membutuhkanmu dengan perkataan yang itu melukai telingamu.

Maka terimalah konflik yang terjadi tatkala engkau telah mendatanginya. Sungguh, konflik itu terjadi karena sebuah pertemuan; andaikata tidak ada perjumpaan, bagaimana konflik itu terjadi? Artinya, tatkala engkau masih memendam dalam cangkang pemikiranmu, maka engkau tidak akan mengerti respon apa yang terjadi kepadamu.

Sesungguhnya, apa yang menjadikanmu berat untuk mendatanginya? Bukankah itu tentang apa-apa yang engkau pikirkan kepadanya? Dan engkau dibayangi khawatir-khawatir yang lain. Atau engkau inginnya segera menyatakan:

Aku membutuhkanmu.

Padahal apa-pun membutuhkan latar belakang dan prakata; sebelum kata diucapkan. Dan dalam prosesnya, harus ada basa-basi sebuah perkataan; tidak bisa engkau daratkan kalimat yang ringkas. Dan sungguh kedatanganku kepadamu adalah menambahkan ‘ragumu’ datang kepadanya—dengan bahasa lainnya, saya pun mempertanyakanmu tentang kebutuhanmu kepadanya. Seringkas itu, benarkah engkau benar-benar membutuhkannya? Atau ini tentang atas nama bahwa engkau membutuhkannya?

Saran saya—dan saya hanya mampu menyarankan—segeralah datanglah kepadanya; datang dengan perasaaan kosong bahwa engkau membutuhkannya. Datang dengan perasaan kosong bahwa engkau mencintainya, engkau mendambakannya. Buanglah diksi-diksi tersebut. jadilah engkau datang karena engkau ingin datang kepadanya; tiada tujuan yang lain, kecuali mendatanginya. Tidak ada maksud lain bahwa engkau harus datang kepadanya, karene maksud utamamu adalah sekedar datang kepadanya.

Dengan begitu, maka dia akan meresponmu dengan seluruh kekuasaan dirinya. Dan selanjutnya terimalah apa-apa yang disampaikan olehnya.

Sungguh hal ini adalah pembelajaran tentang keikhlasan—apakah engkau tidak mengetahui tentang keikhlasan? Yakni tentang kekosongan maksud kecuali sekedar kebutuhan bahwa engkau mendatanginya—tidak mengharap imbalan engkau datang kepadanya. Tidak berharap dibalas engkau datang kepadanya. Maka murnikanlah apa-apa yang engkau tujukan. Murnikanlah apa-apa yang engkau kerjakan.

Sungguh saya datang kepadamu untuk mengajari cinta yang luhur dan agung; dan keluhuran serta keagungan itu terwujud kepada wujud-wujudmu, jika engkau melihat orang-orang mewujudkan cintanya; awasi dan pahamilah, apakah itu tentang nafsu, ambisi, atau tentang kecintaan. Dan engkau harus jernih memandang itu.

Kegunaan ilmu-filsafatmu adalah menjadikan akalmu bijak terhadap apa-pun itu, yang mana di sana telah ada hakim-hakim yang telah siap memutuskan suatu perkara, dan tugasmu bukanlah hakim, melainkan orang yang menyampaikan kebijakan, yang selanjutnya si hakim bakal memutuskan apa-apa yang telah diklasifikasi menurut ilmunya.

Kemudian, jika engkau masih mendiamkan dirimu, dan tidak menggerakan tubuhmu untuk segera mendatanginya, maka terimalah deraan ragu untuk mendatanginya: hal itu pun terjadi, karena sesungguhnya engkau mendambakan untuk bertemu dengannya. Andaikata engkau tidak ada harapan untuk bertemu dengannya, maka tentu, engkau tidak akan ‘teragukan’ untuk mendatanginya.

Apakah engkau paham dengan apa-apa yang telah saya sampaikan?

Tak apa kalau belum paham, setidaknya engkau mengerti, bahwa cara menggugurkan untuk memecahkan keraguanmu kepadanya adalah dengan cara segeralah mendatanginya; dan kalau engkau tidak berani mendatangi, mengapa engkau mempunyai harap bahwa engkau ingin mendatanginya; lebih baik engkau meniadakan harap untuk mendatanginya. Begitu ya…

Belum ada Komentar untuk " TENTANG KERAGUAN DALAM DIRI TERHADAP CINTANYA "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel