Shalat Tinjauan Historis-Filosofis
Jumat, 28 April 2017
Tambah Komentar
Apakah kau tahu—saya berpikir kamu tahu—bahwa shalat secara bahasa artinya doa? Sebab kita sering mendengar penceramah-penceramah dari tahun ke tahun, terlebih khusus saat acara isra-mi’raj, maka tema yang sering ditekankan adalah tentang shalat; yang dibahas dari berbagai pekrspektif (sudut pandang) yakni secara sosiologis, historis, psikologis, filosofis dan lainnya; namun, benarkah kita menangkap apa-apa yang telah disampaikan kepada kita? Apa-apa yang telah didengar dan benarkah disimpan apa yang telah didengarkan?
Begitulah kabar yang sering saya paparkan—maksudnya memaparkan atau menggelarkan kepada saya sendiri; karena memang sebenarnya ini telah dibaca oleh filsuf-filsuf postmodern, yakni kendala utama manusia modern adalah tentang epistemology, bahkan epistemology telah mati; sekali pun banyak lembaga atau lidah-lidah yang berkoar tentang keilmuan, maniak keilmuan, sebenarnya sistem yang terjadi dalam ‘kehidupan’ postmodern tentang keilmuan telah bercampur-baur dan tidak karu-karuan, bahasa lainnya, kacau: hal itu terjadi karena ledakan industrisasi, telekomunikasi, transportasi atau pengaruh teknologi—kita sering mendengar tapi tidak benar-benar mendengarkan atau pura-pura seakan-akan tidak didengarkan; masalahnya, banyak yang tahu tapi tidak menjalankan ketahuannya, sebabnya karena tidak-paham-sungguh dengan apa yang diketahui, dan sudah mengklaim ketahuan yang sungguh.
Dan saya akan menggelarkan shalat, tinjauan historis-filosofis—apakah ini pembicaraan ilmiah, yakni berbukti dan mampu dibuktikan? Jawabanku, karena metodenya adalah historis filosofis, maka tentu menguraikan tentang historis dari shalat yang ditinjau secara mendalam, universal, dan berlogika—
Shalat Tinjauan Historis-Filosofis
Sejak kapan kita mengetahui sejarah shalat, shalat seperti apa yang dimaksud—sebab zaman sekarang, terkhusus agama islam, sering mengklaim atau terburu ‘berkesimpulan’ bahwa yang dinamakan shalat yakni secara gerak-gerik—sebab kanjeng nabi muhammad itu menyempurnakan nabi-nabi sebelumnya, maka shalat ditinjau sejarah adalah shalat yang berarti arti doa. Doa yang ‘disandarkan’ (ditujukan, diserahkan) kepada yang maha kuasa, yang maha tunggah, Allah.
Dan doa pun adalah tentang perkataan yang diluncurkan; maka diksi Allah dijadikan objek yang dituju. Begitulah sejarah shalat secara turun-murun, yang selanjutnya; di era kanjeng nabi muhammad, shalat itu dikokohkan dengan adanya gerak-gerak tubuh; shalat yang harus dibuktikan bersama dengan jasad yang benar-benar menyerah, pasrah, dan bersandar kepada Allah.
Pembuktikan gerak-gerik-tubuh adalah penyerahan yang tidak sekedar lewat kata-kata (Sebab doa itu berkaitan erat dengan kata-kata) namun harus dibuktikan; walau sebenarnya, tatkala benar-benar menyandarkan atau memasrahkan diri kepada yang tunggah, Allah, maka telah cukup, namun keimanan pada akhirnya membutuhkan eksistensi, membutuhkan ‘realitas’ yang benar-benar real dan mewadahi orang-orang yang berimanan, maka tatkala kita beriman maka sangat-sangat membutuhkan ‘persatuan’ manusia yang itu untuk mendukung atau membantu tentang ‘keimanan’ (kepercayaan) kita; sebab kalau tidak seperti itu, tabiat manusia berusaha ingin menunjukan sisi ‘keakuannya’ yang itu ingin menjadi lebih bagi yang lain:
Ingin menguasai manusia yang lain—Kekuasaan.
Ingin memerintah manusia yang lain—kenamaan.
Ingin diunggulkan dari manusia yang lain
Ingin ditinggikan dari manusia yang lain.
Begitulah tabiat dari manusia, oleh karenanya dengan ‘shalat’ yang itu menyerahkan kepada yang maha penguasa, Allah, maka kedudukan manusia bagi manusia lainnya adalah setera, tidak ada perbedaan dan perbedaan yang menonjol adalah ukuran ketaatan kepada Allah.
Mari kita membicarakan ketaan kepada Allah: sebenarnya apa-apa yang dianjurkan untuk menjadi taat kepada Allah?—kalau dalam hal ini sudah dibatasi dengan sisi syariat islam, atau fikih, atau agama islam, maka pertanyaan ini menjadi buram dan kabur, artinya laksana tidak jelas, sebab yang disebut taat kepada allah secara agama islam telah terbatas oleh ‘agama islam’, sementara yang hendak saya bicaraan adalah taat secara umum yang itu adalah manusiawi: bukankah kalau si manusia percaya kepada Allah yang menguasai semesta, sudah pasti taat kepada undang-undang kemanusiaan, yakni membutuhkan makan, membutuhkan tempat tinggal, dan menjalin hubungan dengan manusia lainnya—yakni memerankan manusia selayaknya manusia yang mempunyai ‘perasaan’ dan ‘nurani’ kemanusiaan;
Berupaya menjaga kesatuan (menjaga silaturahim)
Menjaga kedamaian (sesama manusia)
Menjaga keadilan (teruntuk manusia pada umumnya)
Menjaga kebenaran (teruntuk manusia pada umumnya)
Sebab tujuan dari beragama, adalah teruntuk kemanusiaan; supaya manusia mampu bahagia berada di dunia realitas ini, dan keberadaan negeri akhirat adalah ancaman kalau melanggar apa-apa yang diperintahkan agama? Sekarang, apa-apa yang tawarkan agama islam:
Syahadatain, shalat, zakat, puasa, haji.
Jika kita mengamati sekali lagi lebih jeli tentang lima rukun islam itu, maka akan merasakan aura kemanusiaan yang pasti, dan sangat manusiawi: syahdatain adlaah pengkatan tentang kepercayaan, dan shalat berperan sebagai individu sekaligus kesosialan, dan zakat berkaitan dengan kesosilan yang individu, dan puasa adalah individu yang kesosialan dan haji adalah perkumpulan sisi kemanusiaan yang berlandaskan pada kepercayaan.
Pengakhiran Pembicaraan
Shalat itu memang menggerakan tubuh dan berkata-kata, namun harus diketahui bahwa sejarah shalat itu pun doa; doa yang ditujukan kepada yang maha kuasa, Allah. Saat kita shalat, maka kita menunjukan ‘keakuan’ kita (jasad dan ruh) kepada Allah yang maha kuasa atas segalanya. Demikian.
2017
Belum ada Komentar untuk "Shalat Tinjauan Historis-Filosofis"
Posting Komentar