SURAT BUAT GURU: ‘BACA-TULIS’ KANJENG NABI MUHAMMAD





Apa yang dimaksud dengan kanjeng nabi tidak mampu membaca? Tidak mampu menulis? Dan kedatangan saya kepadamu, melalui kata-kata, melalui tanya, bukan berarti aku tidak mengetahui, hanya saja aku tidak paham; atau bukan berarti aku enggan membaca teks-teks yang telah berserakan berkaitan dengan redaksi ‘ummiy’ yang dialamatkan kanjeng nabi; namun, saya ingin ‘mengadakan’ keberadan saya, bahwa saya melaporkan diri saya kepada guru saya melalui kata-kata, yang bersamaan dengan itu juga, maka terwujudlah bahwa saya benar-benar ada; sebab saya menerka, pemikiranku adalah pemikiran tentang orang-orang yang terdahulu, hanya saja modelnya, bersama dengan keberadaan zaman sekarang. Intinya: saya mengeksiskan keberadaanku kepadamu, bersama dengan kata-kata. yang dalam hal ini, kajian ini, adalah tentang perenunganku tentang baca-tulis kanjeng nabi Muhammad.

Benarkah kanjeng nabi tidak mampu membaca secara teks atau tulisan?

Jangan hardik atau nilai, bahwa aku tidak mempercayai bahwa ketidak-bisaan kanjeng nabi tentang membaca teks, supaya kelak, ketika turunnya wahyu, kanjeng nabi tidak ‘mengutip’ atau ‘belajar’ terhadap ‘kitab-kitab’ yang mendahului; yakni mempelajari kitab injil, zabur dan taurat: sebab pertautan kenabian selalu merujuk kepada orang-orang terdahulu.

Atau, mengapa kanjeng nabi tidak belajar membaca teks, padahal cara untuk mempelajari adalah menyalin teks yang ada; bahasa lainnya, menjiplak sesuatu teks yang ada. Maka lamat-lamat akan mampu membaca, yakni dengan cara menuliskan.

Maka jawabnya: karena zaman itu, di daerah Mekah tidak-begitu dibutuhkan tentang pengetahuan teks atau tekstual, yang dibutuhkan adalah tentang realitas yang sebenarnya, sebab tawaran tekstual adalah tawaran imajenasi dan belajar tentang kedalaman sejarah; dan tentu, kanjeng nabi sangat menyadari tentang ‘pentingnya’ sejarah, sebab tradisi waktu itu adalah sarat dengan hafalan nasab, maka secara otomatis akan hafal dengan orang-orang yang terdahulu. Sementara realitas yang sebenarnya adalah pola-kehidupan orang-orang mekah yang ada; yang sering atau cenderung adalah orang-orang berdagang. Bentuk kehidupan para pedagang adalah tentang hal-hal yang praktis; yakni pergiliran uang, atau perputaran uang, yang dengan itu menjalin kebutuhan hidup. Maka bersamaan dengan kesibukan hidup-yang-realistis, maka tidak-begitulah dibutuhkan berkaitan dengan tekstual, sebabnya juga, kalau sibuk dengan dunia-teks, tentu akan merujuk pada teks-teks yang lain, yang lebih banyak dan itu menjauhi dari kehidupan-yang-praktis: bahasa lainnya, hidup yang praktis menjadi hidup yang sarat ide. Sementara orang-orang mekah adalah seringnya hidup yang praktis. Maka titik tekannya adalah tentang jalinan hidup yang praktis.

Selain itu, mekah juga dikenal dengan daerah yang tertinggal perabadabannya, di masa itulah kanjeng nabi Muhammad tercipta, maksudnya: disaat eropa atau benua eropa, atau mesir, atau cina, di era tahun 600 Masehi, telah maju: bagaimana tidak maju, statusnya eropa dalam kajian filsafat dikenal dengan era abad-pertengahan, yakni kerajaan didominasi oleh kekuatan gereja, yang kemudian di abad pertengahan itu dikenal dengan sebutan: patristic dan skolastik, yakni pengetahuan yang dilandasi agama, dan pengetahuan yang diikat dengan metode sekolah. Sementara mekah, masih terkesan terbelakang, dan bahkan ‘agaknya’ belum begitu menengal pendidikan seperti itu, karena tawaran realtias di mekah adalah hal-hal yang kongkrit, hal-hal yang realistis tentang kehidupan, yang memang telah melandaskan kepada nilai-nilai religious, sebabnya, daerah mekah memang berawal dari orang-orang yang monoteisme, selain itu, kencang tradisi dengan hal-hal yang monteisme; dan hal itu terjadi, karena mekah adalah daerah yang dikunjungi orang-orang mengikuti nabi ibarahim, sementara nabi Ibrahim mempunyai keturanan, yang darinya, bakal mengorentasikan ke mekah, sebab ada tawaran haji, dan di sana juga lontang-lantungnya nabi Ibrahim (dan kita sama-sama tahu tentang hal ini). Maksud saya, bahwa memang mekah tertinggal dalam hal pendidikan sebagaimana orang-orang eropa, namun mempunyai pola-hidup yang lain (atua pendidikan yang lain) yakni, tentang hidup yang realistis, menghadapi hidup secara realistis kemanusiaan; yakni kebutuhan pokok manusia tatkala hidup, butuh makan, butuh bekerja sama, butuh jalinan, butuh pamer, butuh nafsu, butuh kekuasaan, butuh atas nama, dan butuh-butuh yang lain dari sisi kemanusiaan. Maka bersamaan dengan itu, orientasi membaca dan menulis, kurang diabaikan—bukan berarti benar-benar diabaikan!

Suatu fakta bahwa dari sebagian orang-orang mekah juga mampu menulis dan membaca teks.

Oleh karenanya, kedatangan saya kemari adalah menyampaikan:

Tokoh utama umat muslim itu tidak bisa membaca dan menulis secara tekstual, namun menganjurkan untuk membaca dan menulis secara tekstual; dalam arti, tekstual yang itu adalah al-quran dan sunah, yakni tentang kesejarahan al-quran dan sunah; yang dari keduanya kemudian terjalin teks demi teks, sampai sekarang, teks-teks itu menjadi berkembang dan melesat, karena bersamaan dengan zaman, maka teks itu ‘menyesuaikan’ zaman; maka lahirlah ilmu-ilmu yang lain yang tujuannya adalah mempermudahkan untuk pembacaan al-quran dan sunah. Wal-hasil, dari sepersekian teks-teks yang berkaitan atas nama islam, maka tujuannya untuk mempermudah kedua hal tersebut al-quran dan sunah; yang di zaman sekarang: dimana teks-teks telah mewabah dan beralih bahasa demi bahasa, zaman demi zaman, dan sekarang menjadi satu, maka pembacaan tekstual menjadi sebuah kesibukan tersendiri buat orang muslim: membaca ini-itu, ini-itu, ini-itu, tujuannya guna mempermudahkan tentang al-quran dan sunah.

Selanjutnya, kembali ke ‘baca-tulis’:

Sekali pun zaman sekarang telah terjadi semacam itu, tetap saja, tokoh utama umat muslim, kanjeng nabi Muhammad, tidak bisa membaca dan menulis, sebab tujuan keberadaannya bukan tentang kesibukan ‘tekstual’ tapi kehidupan yang sangat realitas, menjalani hidup yang sangat realistis.

Nah, zaman sekarang, kesibukan umat muslim (Saya sendiri), seringkali lebih lama terhadap teks, namun lalai bahwasanya islam itu adalah realitas, yakni kehidupan yang sebenarnya: keimanan itu adalah realitas, bukan tentang sekedar hafal teks belaka; syariat-syariat islam itu realitas, bukan sekedar di kaji; realitas itu apa, yakni tentang lingkungan ‘tubuh’ dimana dia berada: dan apa yang dimaksud dengan tubuh? Yakni organ kita telah menjadi manusia, artinya telah mampan berkeluarga sehingga telah menjalani ‘kehidupan’ seserawungan dengan orang-rang yang ada di sekitar ‘tubuh’ berada.

Namun sayang, tawaran zaman, seringkali memontang pantingkan keberadaan ‘tubuh’: masih ke sana dan ke mari, namun tetap saja, syariat itu adalah yang benar-benar realitas, keimanan itu benar-benar realitas, dan keislaman itu benar-benar realitas. terlebih lagi, karena zaman telah bertabur informasi, zaman bertabur pengetahuan; harusnya menjadi lebih terang tentang sesuatu yang disebut dengan keislaman, namun bersamaan dengan itu, malah menjadi keadaan muslim (saya) menjadi gelap, karena keterangan tersebut—sebab sangking terangnya.

Namun, dari uraianku diatas, ada satu hal yang paling mencolok—sekali pun tidak begitu terang—bahwa pembacaan yang dilakukan kanjeng nabi adalah tentang realitas yang sebenarnya, tentang realitas yang telah terjadi, keadaan-keadaan orang-orang mekah, yang statusnya ‘beragama’ namun menyelewengkan keagamaanya.

Jika ditanyakan, mengapa kanjeng nabi Muhammad tidak belajar membaca dan menulis?

Sebagiamana telah saya uraikan, jawabnya, karena kanjeng nabi tidak membutuhkan tentang sesuatu yang dibaca kecuali sesuatu yang telah turun kepadanya, karena status kehidupannya adalah tentang hal realistis, bukan tentang ide-ide, tapi mewujudkan ide dari apa-apa yang telah dipercayainya.

Bukankah kesibukan membaca adalah tujuannya untuk kehidupan yang realistis? Dan tujuan menulis adalah untuk mengabarkan kepada kehidupan yang realistis? sementara kanjeng nabi Muhammad, hidupnya begitu sangat realistis; jika pun kemudian menulis dan membaca, maka dia menyuruh orang menuliskan maksud dari beliau dan beliau menyetempel bahwa itu dari Kanjeng Nabi Muhammad.

Demikian…

Belum ada Komentar untuk " SURAT BUAT GURU: ‘BACA-TULIS’ KANJENG NABI MUHAMMAD "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel