Nasihat: Tentang Pengkokohan ‘Keakuan’
Selasa, 04 April 2017
Tambah Komentar
Taufik, tetaplah engkau kokohkan ‘keakuanmu’, kenalilah sifat alami kemanusiaanmu, yakni menjelma yang lain dan mengikuti yang lain, dan engkau lalai akan ‘keakuanmu’, maka tetaplah engkau menjadi keakuanmu, mementingkan keakuanmu: jika ada yang berkata, mengapa engkau begitu individualistic? Jawablah, “Tidakkah aku adalah orang yang sangat sosialistik? Bukankah engkau telah melihat aku sering shalat jamaah, dan sering berlalu lalang dari mushola ke mushola lainnya? Apakah dengan begitu aku layak dikatakan individualistic?”
Jika ada yang berkata, “Engkau sangat mementingkan kepentinganmu sendiri!”
Jawablah, “Sekarang, siapa yang benar-benar menyelamatkan diriku, yang perduli tentang ekonomiku, tentang kedukaanku, tentang keresahanku; apakah engkau benar-benar perduli dengan kemiskinan jiwaku, kemiskinan materiku?”
Jika ada yang berkata, “Engkau tidak harus begitu, baiknya engkau memperhatikan orang-orang disekitarmu! Harusnya engkau sangat perhatian dengan mereka.”
Jawablah, “Tidakkah aku begitu perhatian dengan mereka? Dengan cara aku melebur menjadi mereka; apakah engkau tahu tanda-tanda peleburanku? Yakni, aku tidak begitu mengonstrasikan kepada keilmuan yang harusnya benar-benar aku dalami, benar-benar aku telusuri; benar-benar menjadi manusia kamar yang sibuk dengan teks-teks, sibuk menghafalkan, dan berlalu-lalang mengunjungi orang-orang pandai; harusnya, bertemu dengan orang bodoh adalah pertemuan yang seharusnya aku menjadi ‘penunjuk-penujuk’ atau tukang tunjuk, memerintah dengan ilmu, atau lebih baik aku menghindari pertemuan dengan orang-orang bodoh lalu aku mengurung diri dalam kamar, dan sibuk dengan teks-teks kuliah. Jika ada berkata, aku lagi sibuk apa? Jawabku, tentu aku sibuk dengan pelajaranku, karena aku adalah pelajar, orang yang sedang mencari ilmu; manusia yang belum menjadi manusia sesungguhnya, yang belum siap bertemu dengan manusia lainnya.
Sebab, bertemu dengan manusia-lainnya, harus mempunyai status. Dengan status itu, maka akan menerima pasangan-kehidupan:
Kalau tidak memerintah, maka diperintah.
Kalau tidak mendengarkan, maka berbicara.
Kalau tidak menujukkan, maka ditunjuki.
Kalau tidak bicara, berarti mendengarkan.
Kalau tidak mengajar, maka mengajar.
Kalau tidak menjadi pemimpin, maka memimpin.
Bagiku, harusnya hidup seperti itu: jika banyak orang yang memerintah, maka siapa yang mau menjalankan perintah, dan si penerima perintah akan bingung. Jika ada yang berbicara, maka orang bingung siapa yang perlu didengarkan; jika banyak yang mengajar, siapa yang sesungguhnya layak diterapkan? Jika banyak yang memimpin, maka siapa yang layak untuk dituruti?
Namun, terlepas dari itu semua. Apa yang kau katakan adalah benar; aku harus perhatian dengan apa-apa yang ada disekitar, dan sangat perhatian dengan bagaimana mereka; namun perlu juga diketahui, jika aku ‘menuruti’ tentang nafsu-nafsu kemanusiaan mereka, maka sungguh aku bukanlah orang yang beruntung telah menjadi orang pelajar, sebab tatkala nafsu-nafsu kemanusiaan dituruti, maka manusia itu tidak akan pernah puas, dan tidak akan pernah puas. Sebab ketahuilah:
Tabiat asli manusia adalah layaknya binatang, yang mempunyai nafsu ingin memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengatur dan nafsu menang sendiri, dan jika hal itu diurai, maka pastilah orang-orang ingin menjadi kaya-raya, mempunyai harta yang banyak dan melimpah-limpah, ingin jalan-jalan keliling dunia, bersenang-senang dan menikmati dunia dengan seluruh isinya; caranya, dia harus kaya secara materi. Harus kaya secara materi; mengumpulkan uang yang banyak dan menjadi musafir-musafir di hamparan dunia; mereka tidak akan kenal satu sama lain, hidup mereka bergeyangan, dan mereka menanggalkan ibu mereka yang sakit, menitipkan ayah mereka ke panti-jompo, dan mereka mengabaikan kerabat-kerabatnya, mengabaikan paman-pamannya, dan mengabaikan orang-orang yang menyayanginya saat kecil. Maka dari itu, apalah arti pengetahuan islamku, jika aku menjadi seperti itu?
Tapi tetap saja, apa-apa yang engkau tawarkan adalah benar, aku sangat menerima; doakan, semoga aku mampu menjalani apa yang engkau perintah. Dan kataku, lalu bagaimana dengan dirimu? Apakah engkau menjalankan apa yang engkau bicarakan kepadaku?”
Untuk itu, tetaplah engkau ‘perhatikan’ akan dirimu; perhatikan tentang ‘laju-laju’ pemikiranmu, tentang ‘realitasmu’, tentang ‘eksistensimu’; artinya, tetaplah engkau menjadi dirimu, dan jangan lalaikan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan. Begitu ya…
2017
Jika ada yang berkata, “Engkau sangat mementingkan kepentinganmu sendiri!”
Jawablah, “Sekarang, siapa yang benar-benar menyelamatkan diriku, yang perduli tentang ekonomiku, tentang kedukaanku, tentang keresahanku; apakah engkau benar-benar perduli dengan kemiskinan jiwaku, kemiskinan materiku?”
Jika ada yang berkata, “Engkau tidak harus begitu, baiknya engkau memperhatikan orang-orang disekitarmu! Harusnya engkau sangat perhatian dengan mereka.”
Jawablah, “Tidakkah aku begitu perhatian dengan mereka? Dengan cara aku melebur menjadi mereka; apakah engkau tahu tanda-tanda peleburanku? Yakni, aku tidak begitu mengonstrasikan kepada keilmuan yang harusnya benar-benar aku dalami, benar-benar aku telusuri; benar-benar menjadi manusia kamar yang sibuk dengan teks-teks, sibuk menghafalkan, dan berlalu-lalang mengunjungi orang-orang pandai; harusnya, bertemu dengan orang bodoh adalah pertemuan yang seharusnya aku menjadi ‘penunjuk-penujuk’ atau tukang tunjuk, memerintah dengan ilmu, atau lebih baik aku menghindari pertemuan dengan orang-orang bodoh lalu aku mengurung diri dalam kamar, dan sibuk dengan teks-teks kuliah. Jika ada berkata, aku lagi sibuk apa? Jawabku, tentu aku sibuk dengan pelajaranku, karena aku adalah pelajar, orang yang sedang mencari ilmu; manusia yang belum menjadi manusia sesungguhnya, yang belum siap bertemu dengan manusia lainnya.
Sebab, bertemu dengan manusia-lainnya, harus mempunyai status. Dengan status itu, maka akan menerima pasangan-kehidupan:
Kalau tidak memerintah, maka diperintah.
Kalau tidak mendengarkan, maka berbicara.
Kalau tidak menujukkan, maka ditunjuki.
Kalau tidak bicara, berarti mendengarkan.
Kalau tidak mengajar, maka mengajar.
Kalau tidak menjadi pemimpin, maka memimpin.
Bagiku, harusnya hidup seperti itu: jika banyak orang yang memerintah, maka siapa yang mau menjalankan perintah, dan si penerima perintah akan bingung. Jika ada yang berbicara, maka orang bingung siapa yang perlu didengarkan; jika banyak yang mengajar, siapa yang sesungguhnya layak diterapkan? Jika banyak yang memimpin, maka siapa yang layak untuk dituruti?
Namun, terlepas dari itu semua. Apa yang kau katakan adalah benar; aku harus perhatian dengan apa-apa yang ada disekitar, dan sangat perhatian dengan bagaimana mereka; namun perlu juga diketahui, jika aku ‘menuruti’ tentang nafsu-nafsu kemanusiaan mereka, maka sungguh aku bukanlah orang yang beruntung telah menjadi orang pelajar, sebab tatkala nafsu-nafsu kemanusiaan dituruti, maka manusia itu tidak akan pernah puas, dan tidak akan pernah puas. Sebab ketahuilah:
Tabiat asli manusia adalah layaknya binatang, yang mempunyai nafsu ingin memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengatur dan nafsu menang sendiri, dan jika hal itu diurai, maka pastilah orang-orang ingin menjadi kaya-raya, mempunyai harta yang banyak dan melimpah-limpah, ingin jalan-jalan keliling dunia, bersenang-senang dan menikmati dunia dengan seluruh isinya; caranya, dia harus kaya secara materi. Harus kaya secara materi; mengumpulkan uang yang banyak dan menjadi musafir-musafir di hamparan dunia; mereka tidak akan kenal satu sama lain, hidup mereka bergeyangan, dan mereka menanggalkan ibu mereka yang sakit, menitipkan ayah mereka ke panti-jompo, dan mereka mengabaikan kerabat-kerabatnya, mengabaikan paman-pamannya, dan mengabaikan orang-orang yang menyayanginya saat kecil. Maka dari itu, apalah arti pengetahuan islamku, jika aku menjadi seperti itu?
Tapi tetap saja, apa-apa yang engkau tawarkan adalah benar, aku sangat menerima; doakan, semoga aku mampu menjalani apa yang engkau perintah. Dan kataku, lalu bagaimana dengan dirimu? Apakah engkau menjalankan apa yang engkau bicarakan kepadaku?”
Untuk itu, tetaplah engkau ‘perhatikan’ akan dirimu; perhatikan tentang ‘laju-laju’ pemikiranmu, tentang ‘realitasmu’, tentang ‘eksistensimu’; artinya, tetaplah engkau menjadi dirimu, dan jangan lalaikan tentang sesuatu yang berkaitan dengan kenyataan. Begitu ya…
2017
Belum ada Komentar untuk "Nasihat: Tentang Pengkokohan ‘Keakuan’"
Posting Komentar