SURAT BUAT GURU: MAKNA BARU PENYIKAPAN HIDUP DENGAN METODE DIALOG





Kehidupanku –sebenarnya saya hendak menyatakan bahwasanya apa yang terjadi denganku menjadi sangat berbeda, yakni keputusan yang terhasilkan dari apa-apa yang terpikirkan dariku—menjadi terkesan aneh, laksana kepingan keseriusan yang berbalut becandaan dan menjadikan dialog sebagai metode untuk perkenalan terhadap apa-apa yang ‘kupikirkan’. Yang kupikirkan adalah sesuatu gagasan terhadap keinginan yang tidak mampu terkabulkan secara individu, maka membutuhkan objek untuk kebersamaan; yakni tawaran tentang ‘mengingatkan’ ulang tentang keagamaan; tentang monoteisme. Mengingatkan tentang monoteisme dan membuatkan jalinan transenden paham-kenabian—yang berorientasi terhadap penyikapan tabir-tabir selubung kehidupan.

Bersama dengan dialog, maka termunculkan tentang kalimat-kalimat tanya dasar: apa itu hidup? Apa makna hidup sesungguhnya? Apa makna kehidupan yang sebenarnya?

Demikianlah kenyataanku: menjadi sebuah makna yang terkesan aneh, belum lagi tentang jalinanku kepadamu, yang aku sendiri enggan memutuskan; menjadikan ‘cara-berpikirku’ menjadi semakin cerlang terhadap suatu realitas demi realitas yang lain, laksana mempunyai ikatan tentang pengetahuan, yang itu berlandaskan pengetahuan.

Jika ditanyakan dan dipertegas, apa sesungguhnya yang hendak aku sampaikan kepadamu?

Jawabku, aku ingin menyampaikan: bahwa kenyataanku menjadi sesuatu yang terkesan ‘aneh’ buatku’; lontang-lantung tubuhku, pengabaran dialog-dialog pencarian ‘keakuan’ demi keakuan, dan pengabaran diksi-diksi filsafat, atau esensi-esensi filsafat mulai terkecuatkan dalam kenyataan. Kenyataan dimana tubuhku berada, yang itu bertitik tumpu pada ‘islam’ sebagai tujuan utama; hanya saja melalui metode-dialog Socrates-Plato, sebab, aku pun masih merangkaikan kata-kata untukmu.

Wal-hasil, corak-pemikiranku terkesan diantara idealisme dan realisme: idealisme buatmu dan realism buat kenyataan dimana diriku berada.

Pembatasan terhadap tema keislaman sebagai akhir dari apa yang terjadi, yang kemudian dibalut dengan kepentingan sejarah-indonesia, menjadikan tertuntut keras untuk pembacaan demi pembacaan; pembacaan sejarah, juga tentang pembacaan keakuan sekali lagi.

Bersamaan dengan apa-apa yang terjadi atasku, maka disaat inilah aku mulai menyukai sesuaatu yang disebut dengan ilmu, yakni, ‘pengumpulan’ pengetahuan karena interaksi itu semakin menjadi. Maka kukubarkan kepadamu:

Aku kini mulai menyukai tentang keilmuan ini-itu untuk memenuhi kebutuhanku sebagai individu dan pola-pemikiranku.

Aku mulai membaca sesuatu yang dasar dan menerapkan ilmu bersama realitas.

Ilmu itu alat dan realitas adalah kebenaran yang sesungguhnya.

Terlebih lagi, bersama dengan realitasku, saya tetap ‘membiarkan’ tabiat asli kemanusiaanku; yakni tentang apa-apa yang menjadi ‘sesuatu’ kesukaan yang membekas dariku—apakah dalam hal ini laksana liberalism? Jawabku, tidak. Maksudku adalah bahwa aku menyukai tentang bagaimana tentang kesenian, sebagai wujud dari ‘asal’ pilihan kesukaan yang aku kumpulkan. Begitulah watak alaminya. Namun tetap saja, orientasi kuat kepada ‘keislaman’, dan pikiranku senantiasa berketat pada ini:

Untuk mendapatkan kebahagiaan di atas bumi Indonesia (Atau setidaknya, di daerah yang mempunyai alam untuk mencukupi kebutuhan pokok manusia) yang berstatuskan damai, maka harus lebih focus kepada ilmu pengetahuan, yang itu sebenar-benarnya pengetahuan, bukan sekedar tentang teori, dan agama sebagai tawaran untuk ‘pengikat’ kemoralan dari si pelaku keagaaman. Dan saya tidak mau orang-rang terlalu asyik terhadap pengetahuan sehingga lalai terhadap kenyataannya. Yang malah, berasaskan, orang-orang kelak harus lebih ‘mendalami’ tentang keagamaan untuk menjadi kenyataannya, bahwa ilmu agama adalah tawaran terhadap realitas-murni, yang itu berkaitan dengan ‘realitas yang sebenarnya’; tentang kebutuhan realitas yang sesungguhnya, bukan tentang khayalan atau angan-angan, namun benar-benar menjadi realitas-murni dengan apa-apa yang terjadi. Sebab saya melihat:

Kontrasnya dua hal tersebut, yakni agama dan pengetahuan, yang marak di Indonesia. Tidak selaras. Laksana berjalan yang serentak, namun tidak ditempatkan pada tempatanya. Efeknya, manusia Indonesia (khususnya, daerah atau desa yang beragama) malah lebih cenderung mementingkan tentang eksistensi, bukan tentang esensi. Lebih mementingkan tentang wadah, dibanding mementingkan isi. Gembar-gembor tentang agama, namun lalai dengan tawaran agama yang sesungguhnya;

Seakan-akan agama laksana menjadi sejarah.

Seakan-akan agama laksana menjadi ‘dongeng’

Seakan-akan agama laksana tentang kajian atau sekedar teori.

Dan saya berharap, agama benar-benar menjadi patokan untuk menjalani kehidupan yang sesungguhnya; yakni realitas yang sebenar-benarnya realitas. Agama menjadi tali yang kuat terhadap prinsip yang sama.

Pikiranku:

Disebabkan karena prinsip-monoteisme yang tidak paham, hasilnya tentu wujud dari ‘kepercayaan’ itu kurang sempurna. Nah, saya berharap manusia saling percaya satu sama lain dengan landasan prinsip yang sama, yakni prinsip monoteisme; dan dunia tetap saja dipentingkan, karena kita berada di daerah yang memang menawarkan dunia, maksudnya tentang alamnya. Sehingga, mau tidak mau, fisik harus digerakan untuk mengerjakan olahan alam tersebut, dan ‘ikatan’ pengetahuan adalah tentang kesibukan yang kelak menjadi fungsi tahu, makrifat (kalau orang itu tahu yang benar akan arti hidup; tentu akan ringan menjalankan kehidupan yang itu didasari prinsip yang sama, yakni monoteisme).

Sebab saya melihat masalah utama di zaman ini adalah tentang pengetahuan:

Banyak orang yang tahu, tapi tidak menjalankan pengetahuannya.

Banyak lembaga pendidikan, tapi malah sibuk pada diskusi teori, dan menjauhkan pengetahuan dari realitas.

Banyak orang yang beragama, tapi tidak menjalankan keagamaannya.

Banyak orang yang diikat oleh lembaga pengetahuan, tapi seringkali ‘pengetahuan’ itu lenyap dari memori dirinya, seakan-akan pengetahuan yang dulu adalah tidak berguna, sebab banyak yang lebih mementingkan tentang ‘eksistensi’ dunia; atau tawaran sesuatu untuk pelengkap ‘kemanusiaan’

Begitulah, apa-apa yang terjadi denganku: antara realitas dan apa yang kupikirkan. Dan saya berharap, bersamaan dengan surat ini, saya semakin lebih sibuk dengan keilmuan dan merasa banyak teman terhadap apa yang saya galaukan, atau mempunyai jaringan-kepercayaan yang dilandasi dengan pengetahuan; dan dunia benar-benar alat, bukan sesuatu yang harus benar-benar untuk ditunjukan.

Jadikanlah kami menjadi paham-dengan apa yang dipikirkan kanjeng nabi-muhammad, dan jadikanlah kami untuk lebih paham terhadap apa-apa yang Engkau rencanakan bagi suatu daerah yang itu sarat dengan rempah-rempahnya; dan jangan jadikan hati kami condong kepada kesesataan setelah engkau memberi petunjuk; dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi.

Belum ada Komentar untuk " SURAT BUAT GURU: MAKNA BARU PENYIKAPAN HIDUP DENGAN METODE DIALOG "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel