SURAT BUAT GURU: Tentang Metode Ilmiah Atau Skripsi Di Perguruan Tinggi





PAK Haidar, setelah saya berproses dalam kuliah, pada akhirnya saya berani berkata bahwa:

Inti dari kuliah adalah tentang skripsi. Yakni menjalani tradisi ilmiah, tradisi metode ilmiah. Demi mendapatkan atau ‘mengetahui’ atau harusnya ‘paham’ metode ilmiah; yang tujuannya adalah mampu meneliti tentang sesuatu yang berkaitan dengan jurusan.

Dengan mengetahui metode ilmiah, maka nantinya akan selesai dengan urusan skripsi, dan kelak mendapatkan gelar sebagai sarjana.

Dan saya akan saya kabarkan kepadamu adalah tentang metode ilmiah, dan kepentingan metode ilmiah—dan seperti biasa, aku curhat, yakni bercerita—bahwa yang terpenting dari kuliah itu adalah metode penelitian, sebab target utama dari kuliah itu adalah tentang menelitinya, tentang skripsinya: bukan tentang ‘pengetahuannya’

Sebab pengetahuan di kelas –saya mengamati dan menjalankan—laksana sekedar ‘kewajiban’ saya sebagai mahasiswa yang harus ‘absen’ karena ‘saya’ sudah masuk kelas: sebabnya, lagi, zaman sekarang informasi telah mbalarah, belajar telah mbelarah—ah bukan ini inti yang hendak saya bicarakan, tapi tentang ‘pentingnya’ metode ilmiah yang harus dikuasai sejak dini. Saya membayangkan:

Andai saya benar-benar ‘dididik’ untuk meneliti, untuk menjadi ‘peneliti’ dalam hal keagamaan, maka sejak dulu, saya terbiasa dengan ‘membaca’ yang itu berkonsentrasi dengan ‘ilmu’ pengetahuan. Dan saya akan terbiasa diskusi dengan dosen-dosen karena ‘membantu’ meniliti, dan diskusi dengan teman-teman karena sama-sama meniliti; syukur-syukur dengan meniliti saya mendapatkan uang, maka tentu kesibukan saya adalah meniliti yang disana ada interkasi dengan guru dan benar-benar dibimbing terhadap sesuatu yang disebut dengan keilmiahan.

Sayangnya, saya baru menyadari bahwa tradisi, atau kebiasaan yang terjadi dalam ‘lembaga’ pendidikan setingkat perkuliahan, seringnya, melulu pada sebuah teks, atau pengulangan terhadap teks-teks yang telah berlalu; ilmu seakan-akan sangat-sangat tidak realistis, seakan-akan kelas ‘mahasiswa’ adalah tentang kajian-kajian yang itu tidak sangat nyata; padahal ‘usia’ seenggaknya telah nyata, setidaknya telah lulus sma, yang mana orang-orang sepantaran telah mampu bekerja di perusahan dan mendapatkan uang, sementara pelajar atau mahasiswa, masih sibuk masuk-kelas, masuk-kelas, dan masuk-kelas, dan belajar seakan-akan tidak realistis.

(sebelum membicarakan lebih lanjut; tentu, ini tentang penangkapan saya, bahwa inilah yang terjadi kepada saya, dan saya bercerita kepadamu adalah pengabaran bahwa saya selama kuliah tidak mendapatkan realistis ilmu; ‘akal’ saya sering kontra antara pengetahuan dan realistis-pengetahuan; dilalah, saya sering melihat nilai teman-teman baik, tapi realitasnya, dia jarang melakukan aktifitas yang disebut keislaman, malah bahkan menunaikan, missal, shalat, seakan-akan bolang-bolong: padahal nilai yang berkaitan dengan praktek shalat, nilainya bagus, padahal nilai-nilai tentang keislaman itu bagus. Padahal indek-prestasinya bagus, tapi realitasnya, buruk. Dilalah, saya sering mendapatkan nilai buruk. Ini tentu keburukan saya, karena saya tidak menataati system, tapi lihatlah: banyak orang yang nilainya baik, tapi keislamannya buruk. Apa itu makna dari nilai baik tersebut? tapi saya tidak membicarakan hal tersebut: saya membicarakan tentang metode penilitian, metode ilmiah.)

Andai metode ilmiah diterapkan sejak awal masuk kuliah, dan mahasiswa digiring untuk meniliti, maka tentu mahasiswa akan sibuk dengan teks-teks yang tersistem dan terstuktur dan kesibukannya adalah tentang membaca, membaca dan meniliti dan bakal berkomunikasi dengan dosen-dosen; entah itu penelitian yang kecil-kecilan, atau syukur-syukur penelitian yang dilarikan mendapatkan uang: setidaknya, mengantarkan siswanya untuk meneliti lalu ditarok pada jurnal-jurnal atau web-web yang menyediakan untuk model penelitian.

Andai metode ilmiah diterapkan sejak awal masuk kuliah dan mahasiswa bersibuk dengan teks-teks atau bacaan: maka pelajar akan mendapatkan tekanan untuk hal-hal kebenaran: bukankah ukuran kebenaran di zaman seperti sekarang ini berorientasi pada ‘bukti’? Kebenaran yang tidak berbukti adalah kebenaran palsu dan bahkan malah seakan-akan tidak dianggap—sekali pun orang-orang masih percaya kepada Tuhan. Tentang hal-hal transenden. Maksud saya adalah, bahwa seringnya kebenaran hari ini adalah merujuk kepada hukum positivistic. Apa-pun membutuhkan bukti, dan itu terjamin. Maka tentu, inti utama dari kuliah adalah penelitian.

Saya membayangkan:

Kalau mahasiswa sejak dini telah meneliti, maka mahasiswa akan sering berkomunikasi dengan dosen, dan akan membutuhkan buku demi buku atau data-data dari internet; konsentrasi bola matanya akan sibuk dengan teks-teks dan didalam dirinya merasa tidak nyaman, karena merasa harus ada masalah yang dipecahkan. Yang kemudian berefek, bahwa untuk berkata pun harus hati-hati, sebab titik akhir dari penilian adalah memutuskan perkara yang itu terbukti secara ilmiah.

Bukankah ending dari penelitian adalah menyatakan sesuatu yang ‘secara’ bahasa adalah sesuatu yang sederhana?

Bukankah ending dari penelitian adalah belajar mengungkapkan sesuatu yang itu adalah sesuatu yang benar menurut ukuran empiris?

Dan saya pribadi, merasa baru terbelalak, saat saya mulai kuliah jurusan metode penelitian dan saya sering berkata:

“Bukankah kita sendiri mempunyai banyak masalah, mengapa kita tidak berupaya memecahkan masalah itu menjadi masalah ilmiah?—karena saya tidak paham, lantas saya bertanya—bagaimana saya mampu memecahkan masalah tersebut? Bukankah inti dari ilmiah adalah ketidak-sesuaian antara realitas dan teori? Dan setiap kita mempunyai masalah, mampu melihat masalah, mengapa kita kadang kepayahan untuk mengangkat hal-hal yang dekat menjadi masalah ilmiah?”

Dengan uraian tersebut, saya mengabarkan—tentu saya curhat; atau ini tentang eksistensi, tentang penampakan, ah yang lebih mudah—saya mengeluh kepada manusia yang itu disebut guru, yang itu menggunakan media-sosial: ya! Media-sosial.

Jika murid salah, tentu wajar, maka maafkanlah. Pikirku, beginilah zaman postmodern, zaman transparan; zaman hipperrealitas. Dan saya adalah masuk dalam bagiannya: dan saya tentu galau dengan apa yang terjadi dengan saya. Dan saya tentu berusaha ‘menyelamatkan’ kegalauan saya: caranya saya curhat melalui kata-kata.

Akhir kata, saya mohon maaf. Robbi zidni ilma waruqni fahma. Amin.

2017

Belum ada Komentar untuk " SURAT BUAT GURU: Tentang Metode Ilmiah Atau Skripsi Di Perguruan Tinggi "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel