Keimanan Mengajak Untuk Eksis

Keimanan Mengajak Untuk Eksis - Rasa percaya manusia, akan semakin percaya kalau orang lain juga mempercayainya. Itulah mengapa eskistensi muslim itu sangat dianjurkan. Perwujudan muslim sangat dianjurkan. Perwujudan muslim itu, entah itu imannya rendah, atau imannya sedang, atau tinggi: selama manusia masih menjalani kehidupan manusiawi, maka pergejolakan tentang rasa iman akan hadir kepada manusia.

Tatanan kehidupan, selalu mempunyai tatanan yang berbeda. Ada anak-anak, ada remaja, ada orang tua, ada yang sepuh. Semua itu saling menguatkan tentang eksistensi islam. Oleh karenanya, sejak keberadaan islam tidak akan pernah surup, tidak pernah luntur, malah semakin hari semakin bertambah.



Keimanan Mengajak Untuk Eksis

Soal apakah orang-orang muslim tidak menjalankan akhlaknya, soal orang-orang muslim yang pamer, soal orang-orang muslim tidak rajin ibadah: itu perkara lain.

Itu perkara iman. Kalau rasa iman seorang tertanjap kuat dalam diri muslim. Maka muslim itu akan mendongolkan sendiri. Entah itu secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ibadah baginya adalah suatu kebutuhan.

Jika iman mereka bertambah kuat, ibadah bagi mereka adalah suatu keharusan.

Semakin menguat, maka ibadah bagi mereka adalah kepastian.


Semakin menguat, maka ibadah adalah sekedar ibadah.

Aku tahu engkau telah mempraktekkan wudhu dengan cara menghafalkan dalil-dalil tentang wudhu: dalam pikiranmu tertancap, mengapa saya harus begini? Alasannya apa. Lalu kau cari dalam kitab-kitab, lalu saat kau menjalankan wudhu, dalam pikiranmu, terngiang tentang dalil tersebut. Begitu juga dengan shalat, kau tancapkan dalil-dalil tentang shalat: saat kau shalat, dalam pikiranmu lebat tentang dalil-dalil mengapa saya menggunakan ini! Mengapa saya lakukan ini!

Kau tidak bisa melepaskan keilmuan dalam peribadahanmu. Peribadahanmu dibayangi sesuatu yang lain, yakni tentang dalil. Dan itu disebut rasional. Itu memang perlu. Gunanya untuk memahami mengapa kamu perlu melakukan itu.


Lama-lama kau protes kepada dirimu sendiri dan mengatakan:

“Mengapa sholatku seperti ini, sarat akan teks-teks yang lain, sarat akan pemikiran tentang dalil-dalil. Pemikiranku lebat terhadap teks-teks. pemikiranku memikirkan teks-teks. shalat macam apa ini? aku memang melakukan syarat-syarat shalat: aku membaca fatihah, suratan, rukuk, sujud dan seterusnya: tapi aku juga terpikirkan tentang dalil-dalil dan teks-teks. shalat macam apa ini! aku merasa tertekan dengan keadaan ini.”

Lalu kau berusaha melepaskan dalil dalam shalatmu. Ternyata kau tidak sepenuhnya bisa. Kau berusaha mengusir teks-teks itu saat shalatmu, kau tidak bisa.

Sampai beberapa waktu, barulah kau mampu melepaskan, dan lidahmu berkata:

“Shalatmu sekarang adalah kekosongan. Sekedar jengkang-jengking dan sekedar melafadkan teks-teks. aku tidak mempunyai dalil. Pokoknya, shalat. Pokoknya ikut sang imam.”

Akhirnya kau shalat, tanpa rasio. Kau shalat sekedar shalat. Shalat dalam arti kekosongan. Apakah itu shalah? Saat kau berkata kepada ahli-fikih, tentu kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Sebab engkau telah menjalankan apa-apa yang fikih perintahkan. Soal sempurna dan tidaknya, baru orang fikih akan mampu berkata:

“Engkau telah menjalankan shalat. Namun kurang sempurna. Karena kurang lebih banyak tentang sunah-sunah dalam shalat. Harusnya kamu lebih lebat dalam persunahan. Sehingga shalatmu semakin sempurna. Sehingga pengetahuanmu tentang fikih semakin besar. Kenalilah, untuk shalat sempurna, membutuhkan ilmu fikih yang kuat dan banyak bentuknya. Fikih mengajak untuk memahami detail-detail tentang peribadahan.”


Dan kembali ke eksisistensi:

Kau tahu, apa-apa yang telah kau paparkan adalah tentang eksestensi, tentang keberadaan. Tentang perwujudan bahwa kamu bereksis tentang agama islam. kalau kau tetap mempertahankan keksistensianmu, tentu orang-orang lain, yang telah menyatakan islam, dengan sendirinya, entah itu akalnya maupun hatinya, akan tergerak untuk menjalankan peribadahan. Kalau tidak, pasti dalam akalnya bakal teserang protes, seperti ini:

“Waduh… kenapa saya tidak ikut ibadah.”

“Kenapa saya seperti ini.”

“Kenapa saya banyak dosa.”

“Ah sudahlah. Mungkin belum saatnya taubat.”

Soal itu, biarkan, tugasmu adalah mengajak. Jangan dipaksa. Yang jelas, eksistensimu bakal mempengaruhi mereka. Eksistensi memang sangat penting. Faktanya juga, kau menjalankan itu, karena kamu melihat figur orang-orang yang berkedamaian, lalu kamu berusaha mengikuti. Kenalilah, figur itu adalah eksistensi. Pendek kata, dari eksistensi ke aksi.

Soal aksinya berbeda-beda, itu perkara lain.

“Bagaimana kalau saya tidak eksis?” katamu.

Jawabnya, “Pengetahuanmu tentang keimanan pasti mengurang. Sebab dari eksis itu, kamu akan dipelajari banyak hal. Percayalah.”

“Bagaimana kalau saya tidak butuh keimanan?” katamu

Jawabnya, “Jangan-jangan itu ucapakan sekedar lidahmu. Faktanya, aku tidak tahu apa yang ada di dalam dirimu. Apa yang tersembunyi di dalam dirimu.”

“Apakah keimanan harus dieksiskan?”

Jawabnya, “Kalau dikatakan harus tidaknya, maka harus. Haruslah berekesis.”

“Bagaimana kalau saya tidak bereksis?”

Jawabnya, “Eksis itu keadaaan: Sesuatu yang ada. Dan kamu secara otomatis, masih ada.”

Teruslah bereksis…

Belum ada Komentar untuk "Keimanan Mengajak Untuk Eksis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel