Aku dan Disk Joke (Dj)
Rabu, 17 Oktober 2018
Tambah Komentar
Saya kembali lagi menyukai music disc joke. Dikatakan music disc joke agaknya disk tentang becandaan. Sebab joke sendiri berasal dari bahasa inggris yang artinya, candaan, becanda., lelucon, dagelan. Yang biasanya menjadi music campuran, yang biasanya digunakan lagi bahasa inggris yakni mixer (persis seperti ngemik kue itu. Yakni adonan telor dan terigu) yakni percampuran dari music dangdut dan dugem, yakni music untuk bergoyang, yang mana goyangannya adalah bebas. Bebas seperti campuran itu. sebab pola-pola musiknya tidak hanya pada satu aliran, melainkan bermacam-macam aliran: bisa dari aliran dangdut, pop, rock, orchestra, tekno, Rapp, keroncong, dan yang lebih utama adalah intrumen (dan instrument ini yang menjadi penghias utama dari music, sekali pun yang lebih banyak pada orientasi bas, atau gendang atau pemukul yang mempunyai bunyi: dug.. dug.. dug.. sekali pun alat music seruling, piano, dan alat-alat music lainnya.) maka dari percampuran itu, dinamakan Disk Joke.
Maka bersamaan dengan itu saya teringat tentang pemikiran Postmodern, yakni tentang pembauran dari segala zaman. era sekarang, oleh filsuf kontemporer, disebut juga oleh keadaan postmodern (Terlebih lagi di eropa; sebabnya, eropa adalah Negara yang maju. kawasan eropa tentu saja berhubungan dengan eropaan. Atau yang lebih mudah adalah dunia barat); yakni suatu keadaan yang mana modern telah menjadi post, yakni keadaan yang melampaui modern.
Jika dikenang ulang tentang sejarah filsafat maka yang disebut modern adalah ketika zaman mulai semakin merujuk pada antroposentrisme (pemikiran yang diorientasikan pada manusia) yang sebelumnya pemikirannya dikuasai oleh teosentrisme (pemikiran yang diorientasikan pada ketuhanan); yang itu ditandai dengan tahun 1500 Masehi-an, disitulah biasanya disebutkan babab tentang modern. Yakni pengetahuan semakin terada. Pemikiran yunani mulai bangkit lagi bangsa barat. Maka dizaman itu juga disebut juga dengan renasains (kelahiran kembali tentang sains). Disaat itulah sains semakin menujukan orientasinya pada nilai-nilai sains.
Dan disaat itu juga terjadi perubahan dari pemikiran manusia, dikatakanlah bahwa terjadinya revolusi industry. Maka besar-besaran terjadi industry demi industri, apa-pun yang berbentuk keindustrian. Yang hingga kemudian menjadilah perusahan demi perusahaan (Disaat inilah pemikiran Karl Mark tentang Kapitalisme bekerja. Alasan dasarnya tentu tentang kemanusiaan, dan ini pun sudah berada di tahun 1800 an masehi. Di Nusantara, tentu saja ditahun itu masih maraknya tentang kolialisasi dari Eropa yang perlahan-lahan mengusai tentang pasar; sementara itu orang-orang nusantara secara pengetahuan masih berorientasikan pada keagamaan, yakni pertemuan dari mistisme hindu-budha menuju islam, hingga kemudian terbentuklah pondok-pondok pesantren, yang itu menjadi ‘orientasi’ tentang upaya pengetahuan yang ada di Nusantara), bersamaan itu, maka lahirlah perusahaan yang berkaitan dengan teknologi.
Technology itu ada sebab terterapkannya sains. Sifat dari sains adalah berkembang. Berkembang tentu saja melebar, meluas, mekar, atau mekrok. Dan di saat itu juga perkembangan music semakin terjadi. alasannya, karena semakin ‘terbelalak’ perihal technology. maka jadilah keadaan, menjadi revolusi technology. bentuk utama yang lebih melejitkan dengan adanya: transportasi, telekomunikasi dan informasi.
Dengan ketiga kata kunci itu, maka perkembangan pemikrian manusia semakin melejit. Begitu juga dengan kepermusikan. Yang awalnya, music digunakan secara tradisional dan kebtuuhan bagi lingkungannya, dan sejak adanya technology: maka music bisa dibawa ke sana dan ke sini, mampu terekam dan mampu dikabarkan. Bersamaan itu terjadilah perubahan gaya music. Yang diantaranya adanya DJ, atau disk Joke: yakni music campuran dari ketotalitasan permusikan, yang diorientasikan pada kesenangan dan kebebasan.
Dan di Indonesia, tentu saja keramaian music DJ itu terjadi sejak era kemerdekaan. Sejak era kemerdekaan itu mulailah terjadi pembaruan demi pembaruan, tentu saja hal itu di era Presiden Soeharto , sebagaimana sering kita ketahui, di era itu mulai terjadi pembangunan besar-besaran. Hal itu juga, karena situasi politik di Indonesia belum stabil, masih ada kisruh untuk kekuasaan. Yang lama-lama, bersama dengan kemerataan technology, dan semakin maraknya technology di Indonesia maka mulailah semakin akrab dengan nilai-nilai kepermusikan atau nilai-nilai tentang ‘keindahan’.
Bahkan di desa saya, yang itu bahkan terbentuk sejak tahun 1935 masehi, ketika di tahun 1990 an, barulah semakin mengenal tentang media hiburan, dan itu pun masih jarang, belum totalitas. Televise masih bures. Radiolah yang sudah ramai. Selain itu, keadaan zaman pun, belum begitu maju. barulah ketika ditahun 2000 an, keadaan zaman (bahkan keadaan dunia) baru mulai ramai. Hal itu terjadi karena keadaan zaman mulai terjadi revolusi lagi: yakni revolusi informasi, tanda utamanya dengan adannya internet. Bahkan internet itu, semakin meroket dan ramai sekitaran di tahun 2008 an. Itu pun masih agak langka, masih sebagian. Dan saya di tahun itu masih di jawa tengah, di semarang: itu pun belum begitu marak. Masih sesekali. Hanya sebagian yang melek internet; walau pun mungkin di kawasan kota sudah ramai, namun yang bertempat tinggal di daerah saya pun agak kekotaan, malah bahkan masih bisa disebut kota. Itu pun belum ramai. Belum begitu antusias. namun semakin melejit lagi sekitaran tahun 2013, yang mana handphone-handphone semakin murah. Semakin murah. Bahkan hampir setiap orang mampu membeli handphone, karena handphone semakin murah; bahkan handhphone yang bermusikan, yang berinternetan.
Dan ketika berinternetan, dan semakin ramai. Maka orang seakan dipaksa untuk berlomba-lomba mengenang masa-lalunya, membaca melalui krnology demi kronology. Dan saya pun turut mengungkapkan itu: di saat saya masih SMP, saya sudah mendengar music DJ, yakni Ekspose 3. Dan itu masih berbentuk kasete tape. Kaset Tip. Saya mendengar tentu karena ada yang mengudarkan itu dan bersalon, yakni pengeras suara. Maka saya mendengarkan, dan bahkan berada di mobil angkot, saya mendengarkan music-musik itu.
Dan ketika saya sekarang, kembali lagi ke Lampung. Saya seperti dikembalikan ingatan untuk mendengarkan music DJ, namun music DJ ini berorientasi khas Lampung: seperti Alta, Alvin bahkan Kelasa Nada, atau merk-merk lainnya dari DJ khas Lampung. dan saya dapatkan itu dari teman-teman, karena teman-teman itu menyetel itu, mendengarkan music itu.
Memang kesan dari pendengar music itu adalah terkesan minum-minuman atau mabok. Itulah umumnya yang terjadi. kalau mendengarkan music itu adalah sambil mabok. Karena streotipe, atau kebiasaan kalau mendengarkan music itu, khususnya di lampung, di daerah saya, terkesan mabok, maka saya ‘seakan menghindar’ untuk menyatakan ‘suka’ terhadap aliran music ini. padahal sebenarnya saya menyukai, alasannya: karena dominasi music adalah instrument. Dan pada saat itu, saya memang pada akhirnya menyukai music yang orientasinya adalah instrument. Namun bukan insturmen yang sejenis dengan DJ, melainkan instrument yang itu berdiri sendiri: seperti petikan gitar, dentingan piano, tiupan seruling, tiupan saksopon, dan music-musik ala Kitaro, bahkan instrumental arab, spanyol, dan music-musik klasik yang orientasinya adalah orchestra. Saya menyukai itu. ringkasnya saya menyukai music DJ, karena DJ adalah bagian dari music Instrumen.
Pikir saya, “Instrumen itu mengajakku untuk merenung dan berpikir sesuka diriku. Bukan lirik yang mengarahkan pemikiranku. Artinya saya tidak tenggelam pada lirik yang ditawarkan.”
Dan sekarang saya mendengar DJ lagi, artinya telinga saya tercocokkan lagi untuk mendengarkan kepermusikan. Memang sebenarnya ketercocokan adan mood atau selera kemusikan, menurut saya adalah dinamis, sesekali terahkan untuk ‘menyukai’ dan sesekali menyukai yang lain. apalagi diriku, yang memang awalnya menyukai bermacam-macam aliran music, maka besar kemungkinan begitu mudah kemasukan ‘kemusikan’ intrumen lagi, dalam fase ini, saya menyukai music DJ.
Padahal secara fakta, saya masih belajar kemusikan yang itu alat pukul Rebana. Belajar TTDT, tapi disisi lain, telinga saya malah lebih gemar mendengarkan DJ, yangmana ketika mendengarkan: tubuh saya pun melenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri. Mengikuti irama yang ditawarkan.
Fakta yang lain lagi, saya masih berdaya diri untuk nilai-nilai budaya, yakni nilai-nilai masa-lalu, tapi malah mendekatkan diri kepada postmodern, yakni percampuran dari kemusikan yang ada; music mixer, music campuran. Selain itu, fakta yang lain lagi: bahwa saya penting untuk mendeskripsikan tentang apa yang hendak saya deskripsikan. Artinya, semakin menegaskan bahwa beginilah keadaan keupyekan, kepadatan, dan kepepakan terhadap kata-kata; terhadap logo demi logo. Mungkin saya hingga pada akhirnya berkata: “Aku pun bagian dari Disk Joke: yakni menawarkan disk yang bercampur, disk yang menghibur dengan kata-kata. Demikianlah.”
Maka bersamaan dengan itu saya teringat tentang pemikiran Postmodern, yakni tentang pembauran dari segala zaman. era sekarang, oleh filsuf kontemporer, disebut juga oleh keadaan postmodern (Terlebih lagi di eropa; sebabnya, eropa adalah Negara yang maju. kawasan eropa tentu saja berhubungan dengan eropaan. Atau yang lebih mudah adalah dunia barat); yakni suatu keadaan yang mana modern telah menjadi post, yakni keadaan yang melampaui modern.
Jika dikenang ulang tentang sejarah filsafat maka yang disebut modern adalah ketika zaman mulai semakin merujuk pada antroposentrisme (pemikiran yang diorientasikan pada manusia) yang sebelumnya pemikirannya dikuasai oleh teosentrisme (pemikiran yang diorientasikan pada ketuhanan); yang itu ditandai dengan tahun 1500 Masehi-an, disitulah biasanya disebutkan babab tentang modern. Yakni pengetahuan semakin terada. Pemikiran yunani mulai bangkit lagi bangsa barat. Maka dizaman itu juga disebut juga dengan renasains (kelahiran kembali tentang sains). Disaat itulah sains semakin menujukan orientasinya pada nilai-nilai sains.
Dan disaat itu juga terjadi perubahan dari pemikiran manusia, dikatakanlah bahwa terjadinya revolusi industry. Maka besar-besaran terjadi industry demi industri, apa-pun yang berbentuk keindustrian. Yang hingga kemudian menjadilah perusahan demi perusahaan (Disaat inilah pemikiran Karl Mark tentang Kapitalisme bekerja. Alasan dasarnya tentu tentang kemanusiaan, dan ini pun sudah berada di tahun 1800 an masehi. Di Nusantara, tentu saja ditahun itu masih maraknya tentang kolialisasi dari Eropa yang perlahan-lahan mengusai tentang pasar; sementara itu orang-orang nusantara secara pengetahuan masih berorientasikan pada keagamaan, yakni pertemuan dari mistisme hindu-budha menuju islam, hingga kemudian terbentuklah pondok-pondok pesantren, yang itu menjadi ‘orientasi’ tentang upaya pengetahuan yang ada di Nusantara), bersamaan itu, maka lahirlah perusahaan yang berkaitan dengan teknologi.
Technology itu ada sebab terterapkannya sains. Sifat dari sains adalah berkembang. Berkembang tentu saja melebar, meluas, mekar, atau mekrok. Dan di saat itu juga perkembangan music semakin terjadi. alasannya, karena semakin ‘terbelalak’ perihal technology. maka jadilah keadaan, menjadi revolusi technology. bentuk utama yang lebih melejitkan dengan adanya: transportasi, telekomunikasi dan informasi.
Dengan ketiga kata kunci itu, maka perkembangan pemikrian manusia semakin melejit. Begitu juga dengan kepermusikan. Yang awalnya, music digunakan secara tradisional dan kebtuuhan bagi lingkungannya, dan sejak adanya technology: maka music bisa dibawa ke sana dan ke sini, mampu terekam dan mampu dikabarkan. Bersamaan itu terjadilah perubahan gaya music. Yang diantaranya adanya DJ, atau disk Joke: yakni music campuran dari ketotalitasan permusikan, yang diorientasikan pada kesenangan dan kebebasan.
Dan di Indonesia, tentu saja keramaian music DJ itu terjadi sejak era kemerdekaan. Sejak era kemerdekaan itu mulailah terjadi pembaruan demi pembaruan, tentu saja hal itu di era Presiden Soeharto , sebagaimana sering kita ketahui, di era itu mulai terjadi pembangunan besar-besaran. Hal itu juga, karena situasi politik di Indonesia belum stabil, masih ada kisruh untuk kekuasaan. Yang lama-lama, bersama dengan kemerataan technology, dan semakin maraknya technology di Indonesia maka mulailah semakin akrab dengan nilai-nilai kepermusikan atau nilai-nilai tentang ‘keindahan’.
Bahkan di desa saya, yang itu bahkan terbentuk sejak tahun 1935 masehi, ketika di tahun 1990 an, barulah semakin mengenal tentang media hiburan, dan itu pun masih jarang, belum totalitas. Televise masih bures. Radiolah yang sudah ramai. Selain itu, keadaan zaman pun, belum begitu maju. barulah ketika ditahun 2000 an, keadaan zaman (bahkan keadaan dunia) baru mulai ramai. Hal itu terjadi karena keadaan zaman mulai terjadi revolusi lagi: yakni revolusi informasi, tanda utamanya dengan adannya internet. Bahkan internet itu, semakin meroket dan ramai sekitaran di tahun 2008 an. Itu pun masih agak langka, masih sebagian. Dan saya di tahun itu masih di jawa tengah, di semarang: itu pun belum begitu marak. Masih sesekali. Hanya sebagian yang melek internet; walau pun mungkin di kawasan kota sudah ramai, namun yang bertempat tinggal di daerah saya pun agak kekotaan, malah bahkan masih bisa disebut kota. Itu pun belum ramai. Belum begitu antusias. namun semakin melejit lagi sekitaran tahun 2013, yang mana handphone-handphone semakin murah. Semakin murah. Bahkan hampir setiap orang mampu membeli handphone, karena handphone semakin murah; bahkan handhphone yang bermusikan, yang berinternetan.
Dan ketika berinternetan, dan semakin ramai. Maka orang seakan dipaksa untuk berlomba-lomba mengenang masa-lalunya, membaca melalui krnology demi kronology. Dan saya pun turut mengungkapkan itu: di saat saya masih SMP, saya sudah mendengar music DJ, yakni Ekspose 3. Dan itu masih berbentuk kasete tape. Kaset Tip. Saya mendengar tentu karena ada yang mengudarkan itu dan bersalon, yakni pengeras suara. Maka saya mendengarkan, dan bahkan berada di mobil angkot, saya mendengarkan music-musik itu.
Sesekali saya angguk-angguk kepala. Geleng-geleng.
Dan ketika saya sekarang, kembali lagi ke Lampung. Saya seperti dikembalikan ingatan untuk mendengarkan music DJ, namun music DJ ini berorientasi khas Lampung: seperti Alta, Alvin bahkan Kelasa Nada, atau merk-merk lainnya dari DJ khas Lampung. dan saya dapatkan itu dari teman-teman, karena teman-teman itu menyetel itu, mendengarkan music itu.
Memang kesan dari pendengar music itu adalah terkesan minum-minuman atau mabok. Itulah umumnya yang terjadi. kalau mendengarkan music itu adalah sambil mabok. Karena streotipe, atau kebiasaan kalau mendengarkan music itu, khususnya di lampung, di daerah saya, terkesan mabok, maka saya ‘seakan menghindar’ untuk menyatakan ‘suka’ terhadap aliran music ini. padahal sebenarnya saya menyukai, alasannya: karena dominasi music adalah instrument. Dan pada saat itu, saya memang pada akhirnya menyukai music yang orientasinya adalah instrument. Namun bukan insturmen yang sejenis dengan DJ, melainkan instrument yang itu berdiri sendiri: seperti petikan gitar, dentingan piano, tiupan seruling, tiupan saksopon, dan music-musik ala Kitaro, bahkan instrumental arab, spanyol, dan music-musik klasik yang orientasinya adalah orchestra. Saya menyukai itu. ringkasnya saya menyukai music DJ, karena DJ adalah bagian dari music Instrumen.
Pikir saya, “Instrumen itu mengajakku untuk merenung dan berpikir sesuka diriku. Bukan lirik yang mengarahkan pemikiranku. Artinya saya tidak tenggelam pada lirik yang ditawarkan.”
Dan sekarang saya mendengar DJ lagi, artinya telinga saya tercocokkan lagi untuk mendengarkan kepermusikan. Memang sebenarnya ketercocokan adan mood atau selera kemusikan, menurut saya adalah dinamis, sesekali terahkan untuk ‘menyukai’ dan sesekali menyukai yang lain. apalagi diriku, yang memang awalnya menyukai bermacam-macam aliran music, maka besar kemungkinan begitu mudah kemasukan ‘kemusikan’ intrumen lagi, dalam fase ini, saya menyukai music DJ.
Padahal secara fakta, saya masih belajar kemusikan yang itu alat pukul Rebana. Belajar TTDT, tapi disisi lain, telinga saya malah lebih gemar mendengarkan DJ, yangmana ketika mendengarkan: tubuh saya pun melenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri. Mengikuti irama yang ditawarkan.
Fakta yang lain lagi, saya masih berdaya diri untuk nilai-nilai budaya, yakni nilai-nilai masa-lalu, tapi malah mendekatkan diri kepada postmodern, yakni percampuran dari kemusikan yang ada; music mixer, music campuran. Selain itu, fakta yang lain lagi: bahwa saya penting untuk mendeskripsikan tentang apa yang hendak saya deskripsikan. Artinya, semakin menegaskan bahwa beginilah keadaan keupyekan, kepadatan, dan kepepakan terhadap kata-kata; terhadap logo demi logo. Mungkin saya hingga pada akhirnya berkata: “Aku pun bagian dari Disk Joke: yakni menawarkan disk yang bercampur, disk yang menghibur dengan kata-kata. Demikianlah.”
Belum ada Komentar untuk " Aku dan Disk Joke (Dj)"
Posting Komentar