Melacak Filsafat di Nusantara
Selasa, 16 Oktober 2018
Tambah Komentar
Manusia Nusantara, kalau kita melihat ulang tentang rangkaian sejarah, maka bisa dipetakan menjadi:
Zaman hindu-budha
Zaman islam
Zaman kolonialisasi
Zaman kemerdekaan
Dari keempat zaman tersebut mari diurai sedikit demi sedikit.
Zaman hindu-budha, tentu saja ini berhubungan dengan agmaa hindu-budha itu sendiri. berhubungan dengan aturan-aturan agama hindu-budha yang kemudian meresap ke dalam diri manusia nusantara. Karena agama hindu budha ini, masuk pada jajaran pemerintahan.
Sebelum itu, dikabarkan kehidupan di nusantara belum adanya ‘pola’ kerajaan seperti structural kemasukan agama.
Agama, apa-pun itu, pastilah membawa bentuk structural yang bertujuan baik dan itu untuk keselarasan manusia di muka bumi. Keadilan manusia di bumi. Kesejahteraan manusia yang ada di bumi.
Agama, apa-pun itu, pastilah mempunyai struktur yang kokoh. Tali yang kuat pada pola-polanya. Begitu juga saat Agama Hindu-Budha berada di Nusantara dan kemudian menyatu dengan pemerintahan di Nusantara.
Peperangan memang terjadi. Peperangan memang terlaksana. Dan manusia memperebutkan sesuatu hal tentang kekuasaan; dan dalam sejarah kemanusiaan itu adalah wajar. Maka di zaman Hindu-Budha pun terjadi peperangan, bahkan sesama agama.
Artinya saya mengajak kalian untuk melihat secara seksama tentang keberadaan manusia yang ada di Nusantara dan disana pun adanya peperangan, karena masa itu memang masanya tentang kekuatan ‘otot’, dan kekuatan untuk mengusai. Dengan kuasa itu, manusia bisa hidup enak dan bermewah-mewahan, lalu manusia itu bermalas-malasan.
Begitulah watak alami dari manusia. Saat kemewahan dan kemalasan melanda manusia, maka disitulah mulai terjadi ‘kerapuhan’; rapuh pun terjadi karena kurangnya ‘benteng’ atau semangat untuk bertahan; dan musuh-musuh yang kalah, atau kelompok yang tertindas berupaya untuk merdeka. Merdeka dalam arti adalah upaya untuk lepas dari manusia. Sejarah keberadaan manusia seringkali begitu, dihasrati ingin mengusai, dan dihasrati ingin merdeka. Watak manusia begitu.
Sekali pun seperti itu, keberadaan Agama Hindu-Budha di Nusantara berpengaruh kencang terhadap pola pikir manusia Nusantara. Alasannya, karena agama itu meresap di dalam pikiran manusia yang ada di Nusantara.
Bersamaan dengan itu, di saat orang-orang dari Arab, atau para juru dakwah (Tepatnya, orang yang beragama islam) datang ke Nusantara, dan mereka membawa agama lalu kehidupan mereka mempengaruhi lingkungan sekitar.
Mempengaruhi jangan diartikan bahwa mereka berdaya diri untuk membujuk, saya tidak mengetahui kebenaran itu, tapi saya berupaya menyampaikan bahwa kedatangan mereka, para ahli agama, datang dengan membawa ‘konsep’ tentang agama yang itu melalui contoh dirinya sehingga orang-orang terpengaruh dengan ‘keadaan’ yang dialami dirinya.
Begitu juga dengan agama hindu-budha, saya pikir, bahwa keberadaan agama hindu-budha datang dengan proses yang begitu: si individu itu (Para penyampai agama hindu-budha) memberikan teladan kepada masyarakat yang ada lalu membuat pola untuk orang-orang yang ada.
Titik tekan dari Agama Hindu-budha itu berhubungan dengan alam dan individu. Alam dan kesadaran individu. Tentang keindahan dan keharomonisan. Tentang esensi yang mempengaruhi eksisteni. Tentang kedalaman dan sesuatu yang ada di dalam pikiran, begitulah titik tekan agama hindu-budha.
Yang berjalannya, waktu, para pengikut itu (entah para raja atau orang-orang yang melek ambisi dan hawa-nafsu,) berdaya ini rebutan kekuasaan dan saling serang kepada saudaranya masing.
Perang saudara, pastilah terjadi. Yang dimaksud perang bisa jadi, perang secara fisik maupun perang kata, atau bahkan perang batin.
Percontohan dari ‘perang’ saudara itu bisa diamati dari kehidupan yang fakta, ketika manusia itu banyak saudaranya. Saat kecil, anak-anak itu bisa rebut dan cekcok. Saat besar, ketika ‘perihal ekonomi’ mulai menyinggahinya, disanalah mulai terjadi ‘kefaktaan’ debat atau bahkan berseteru, bahkan kencang dan kuat.
Seringkas kata, agama islam, yang awalnya dari pengajian demi pangajian dan kemudian hari dari pihak murid itu adalah anak-anak raja, maka disitulah mulai terjadi pergeseran peperangan saudara, alasannya karena berbeda ideology (ilmu tentang ide. Ide yang itu mempunyai tujuan kefaktaan); dan ringkasnya, bahwa islam telah menjadi penguasa di kala itu di Nusantara. Karena Agama islam yang menjadi kuasa, maka orang-orang yang dulunya agama hindu-budha mengikutlah para rajanya itu, walau sebagian ada yang tetap membela agama mereka. Mereka yang membela bisa jadi, menyingkir dari kekuasaan sentral dan menepi. Dan mereka yang sekedar mengikuti penguasa namun masih menjalankan keagamaanya, bisa jadi.
Sekali pun begitu, Nusantara dipengaruhi dua agma tersebut; yang orientasinya nilainya adalah ketukan kesadaran individu. Alasannya, karena di Nusantara mempunyai lahan untuk bertahan hidup.
Saya mengikuti pendapat, bahwa di Nusantara penyebarannya itu lewat jalur tasawuf (ilmu tentang rasa) yang dipelopori oleh para Wali. Dan hal itu saya pikir agak selaras dengan Agama Hindhu-budha yang sarat dengan penggunaan rasa yang tinggi, malah bahkan kalau melihat sang Budha (Sidrata Gautama) itu sangat-sangat akeistik. Sangat-sangat menjauhi dari ‘pola’ keduniaan. Hal itu terpotret dari kehidupannya yang mana, konon, beliau itu anak raja, lalu saat melihat kehidupan di luar kerajaannya ia merasa iba dan lain sebagainya, sehingganya, ia bertapa (meditasi) untuk mendapatkan pencerahan. Pola pencerahan yang diharapkan pastilah ketukan kesadaran individu, berhubungan dengan napas, keakuan dan kemanusiaan diri sendiri yang kemudian mengukur kepada manusia yang lain—dan untuk lebih detailnya, bisa membaca perihal tentang Agama Budha; searching saja di Google itu banyak.
Kekuasaan di Nusantara yang memegang adalah manusia islam, manusia yang beragama islam. Interaksi ini perlahan-lahan menguat dan bahkan membuat system yang kuat, bahkan kita masih ingat bahwa Aceh itu adalah serambinya Mekah. Alasannya: tentu di sana ada nyala tentang Agama Islam. Di Aceh, atau di Sumatera, pola kerajaan itu agak kuat di era abad 16-17, hal itu bisa dilacak sendiri. Tentang abad tersebut, dan dari sana banyak tokoh-tokoh tasawuf (Para pengkaji mengatakan begitu) yang ada di sana. Dan di Jawa semakin marak tentang kepesantrenan, tempat mengajar para santri untuk mengenal lebih jauh tentang agama. Tentu bersamaan dengan perkenalan tentang keilmuan, bersamaan itu juga meresap di cangkang pikir manusia hingga kemudian mewujud ke dalam eksistensi (sosial) manusia itu sendiri.
Era koloniasasi dari Barat
Perjalanan waktu juga, hingga kemudian orang-orang barat datang ke Nusantara, tujuan awal mereka ialah berdagang dan mencari rempah-rempah. Sesuatu yang ditawarkan ialah perdagangan. Namun kita tahu sendiri, bahwa Eropa, di abad 1500 Masehi, telah bangkit keilmuannya, telah bangkit keilmuan rasionya. Telah menyala pola-pola rasionalitas dari Yunani, bersamaan dengan itu mereka semakin mengerti tentang detail kehidupan, bahwa manusia itu membutuhkan eksistensi dan kebutuhan akan hidup.
Kebutuhan akan hidup, mereka mencari desa untuk asupan makanan orang-orang kota. Ya! Pola eropa kala itu telah menjadi pola perkotaan, sekurang-kurangnya begitu; sekurang-kurangnya system yang dibuat telah kencang, dan ‘daerah-daerah’ yang lain, yang lebih desa –yang alamnya belum begitu penduduknya—menjadi incarannya, termasuk tanah yang subur.
Nusantara dikenal tanah yang subur dengan alasan, bahwa nusantara dikelilingi oleh lautan (Kenang ulang tentang peta Negara Republik Indonesia), orang-orang yang barat, yang tentunya cerdas secara rasio (dan keutamaan orang-orang nusantara tentu saja kecerdasannya adalah pada sisi dalam, yakni spiritual. Dan itu pun tidak semuanya: kecederungan watak manusia bukanlah menjalani hal-hal ribet. Dan untuk mendapati ‘spritual’ manusia perlu uzlah atau bahkan menepikan diri dari keramaian, untuk mendapatkan pencerahan secar batin.) yang dengan rasio –sekurang-kurangnya ilmu matematis murni- mereka mengajarkan tentang bagaimana pola structural, pola tersistem, menanam tersistem, berkebun tersistem dan hal-hal lainnya guna untuk ‘mendapatkan’ kesenangan secara materi, kesenangan secara jasad.
Wajar! Kebangkitan ilmu Yunani, manusia barat lebih cenderung kepada rasio, walau pun disisi lain masih banyak berhubungan dengan empiris. Perdebatan itulah hingga kemudian sosok seperti Imanuel Kant yang mendamaikan keduanya.
Namun kecenderungan watak dari manusia adalah berhuru-hara di atas dunia. Berhuru-hara untuk menjalani hidup di dunia dan seakan-akan hidup itu singkat maka harus dinikmati. Hidup itu memang singkat, namun hidup itu bakal dipertanggung jawabkan, kelak, di hari akhir: itu kata orang-orang yang beragama.
Dan manusia Nusnatara cenderung keapda yang beragama. karena memang, status kekuasaan kala itu dipegang orang-orang yang beragama.
Namun karena tergoda keapda dunia, tergoda pada dunia yang cantik dan semok, orang-orang nusantara pun terbawa arus keduniaan yang bersamaan dengan itu, hingga kemudian orang-orang barat yang awalnya bertujuan tentang perdagangan, lama-lama menjadi tuan tanah-tuan tanah dan menguasai kanca politik di Nusantara.
Penguasaan bukan berarti mempunyai kekuasan penuh, namun mempunyai pengaruh untuk kesejajaran kepengusaaan. Hingga akhirnya, kita mengenal bahwa mereka menjajah orang-orang nusantara, yang kemudian penjajahan itu semakin menjadi dan orang-orang pun ‘sebagai’ upaya untuk bangkit pun dihidupkan oleh-Nya, untuk mendapatkan tempat kemerdekaan, sekurang-kurangnya begitu.
Masa Kemerdekaan
Di saat masa kemerdekaan, ini sebenarnya belum benar-benar merdeka. Pertalian dan hubungan dengan kebaratan masih ada, yakni tentang keekonomian dan pola-pola yang dikuasai, walau perlahan-lahan mulai membaur. Namun di saat ini, mulailah tercetus filsafat di Nusantara, yakni filsafat yang baru: yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan.
Untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti yang telah kita ketahui, manusia nusantara harus bersatu padu, tidak membicarakan agama, tidak membicarakan siapa, tidak membedakan manusia (Ras), dan kita berjuang untuk kemerdekaan. Itulah filsafat pancasila. Untuk mengayomi yang bertujuan satu kesatuan tersebut. Demikian.
2018
Zaman hindu-budha
Zaman islam
Zaman kolonialisasi
Zaman kemerdekaan
Dari keempat zaman tersebut mari diurai sedikit demi sedikit.
Melacak Filsafat Nusantara/ Hidayat Tf |
Zaman hindu-budha, tentu saja ini berhubungan dengan agmaa hindu-budha itu sendiri. berhubungan dengan aturan-aturan agama hindu-budha yang kemudian meresap ke dalam diri manusia nusantara. Karena agama hindu budha ini, masuk pada jajaran pemerintahan.
Sebelum itu, dikabarkan kehidupan di nusantara belum adanya ‘pola’ kerajaan seperti structural kemasukan agama.
Agama, apa-pun itu, pastilah membawa bentuk structural yang bertujuan baik dan itu untuk keselarasan manusia di muka bumi. Keadilan manusia di bumi. Kesejahteraan manusia yang ada di bumi.
Agama, apa-pun itu, pastilah mempunyai struktur yang kokoh. Tali yang kuat pada pola-polanya. Begitu juga saat Agama Hindu-Budha berada di Nusantara dan kemudian menyatu dengan pemerintahan di Nusantara.
Peperangan memang terjadi. Peperangan memang terlaksana. Dan manusia memperebutkan sesuatu hal tentang kekuasaan; dan dalam sejarah kemanusiaan itu adalah wajar. Maka di zaman Hindu-Budha pun terjadi peperangan, bahkan sesama agama.
Artinya saya mengajak kalian untuk melihat secara seksama tentang keberadaan manusia yang ada di Nusantara dan disana pun adanya peperangan, karena masa itu memang masanya tentang kekuatan ‘otot’, dan kekuatan untuk mengusai. Dengan kuasa itu, manusia bisa hidup enak dan bermewah-mewahan, lalu manusia itu bermalas-malasan.
Begitulah watak alami dari manusia. Saat kemewahan dan kemalasan melanda manusia, maka disitulah mulai terjadi ‘kerapuhan’; rapuh pun terjadi karena kurangnya ‘benteng’ atau semangat untuk bertahan; dan musuh-musuh yang kalah, atau kelompok yang tertindas berupaya untuk merdeka. Merdeka dalam arti adalah upaya untuk lepas dari manusia. Sejarah keberadaan manusia seringkali begitu, dihasrati ingin mengusai, dan dihasrati ingin merdeka. Watak manusia begitu.
Sekali pun seperti itu, keberadaan Agama Hindu-Budha di Nusantara berpengaruh kencang terhadap pola pikir manusia Nusantara. Alasannya, karena agama itu meresap di dalam pikiran manusia yang ada di Nusantara.
Bersamaan dengan itu, di saat orang-orang dari Arab, atau para juru dakwah (Tepatnya, orang yang beragama islam) datang ke Nusantara, dan mereka membawa agama lalu kehidupan mereka mempengaruhi lingkungan sekitar.
Mempengaruhi jangan diartikan bahwa mereka berdaya diri untuk membujuk, saya tidak mengetahui kebenaran itu, tapi saya berupaya menyampaikan bahwa kedatangan mereka, para ahli agama, datang dengan membawa ‘konsep’ tentang agama yang itu melalui contoh dirinya sehingga orang-orang terpengaruh dengan ‘keadaan’ yang dialami dirinya.
Begitu juga dengan agama hindu-budha, saya pikir, bahwa keberadaan agama hindu-budha datang dengan proses yang begitu: si individu itu (Para penyampai agama hindu-budha) memberikan teladan kepada masyarakat yang ada lalu membuat pola untuk orang-orang yang ada.
Titik tekan dari Agama Hindu-budha itu berhubungan dengan alam dan individu. Alam dan kesadaran individu. Tentang keindahan dan keharomonisan. Tentang esensi yang mempengaruhi eksisteni. Tentang kedalaman dan sesuatu yang ada di dalam pikiran, begitulah titik tekan agama hindu-budha.
Yang berjalannya, waktu, para pengikut itu (entah para raja atau orang-orang yang melek ambisi dan hawa-nafsu,) berdaya ini rebutan kekuasaan dan saling serang kepada saudaranya masing.
Perang saudara, pastilah terjadi. Yang dimaksud perang bisa jadi, perang secara fisik maupun perang kata, atau bahkan perang batin.
Percontohan dari ‘perang’ saudara itu bisa diamati dari kehidupan yang fakta, ketika manusia itu banyak saudaranya. Saat kecil, anak-anak itu bisa rebut dan cekcok. Saat besar, ketika ‘perihal ekonomi’ mulai menyinggahinya, disanalah mulai terjadi ‘kefaktaan’ debat atau bahkan berseteru, bahkan kencang dan kuat.
Seringkas kata, agama islam, yang awalnya dari pengajian demi pangajian dan kemudian hari dari pihak murid itu adalah anak-anak raja, maka disitulah mulai terjadi pergeseran peperangan saudara, alasannya karena berbeda ideology (ilmu tentang ide. Ide yang itu mempunyai tujuan kefaktaan); dan ringkasnya, bahwa islam telah menjadi penguasa di kala itu di Nusantara. Karena Agama islam yang menjadi kuasa, maka orang-orang yang dulunya agama hindu-budha mengikutlah para rajanya itu, walau sebagian ada yang tetap membela agama mereka. Mereka yang membela bisa jadi, menyingkir dari kekuasaan sentral dan menepi. Dan mereka yang sekedar mengikuti penguasa namun masih menjalankan keagamaanya, bisa jadi.
Sekali pun begitu, Nusantara dipengaruhi dua agma tersebut; yang orientasinya nilainya adalah ketukan kesadaran individu. Alasannya, karena di Nusantara mempunyai lahan untuk bertahan hidup.
Saya mengikuti pendapat, bahwa di Nusantara penyebarannya itu lewat jalur tasawuf (ilmu tentang rasa) yang dipelopori oleh para Wali. Dan hal itu saya pikir agak selaras dengan Agama Hindhu-budha yang sarat dengan penggunaan rasa yang tinggi, malah bahkan kalau melihat sang Budha (Sidrata Gautama) itu sangat-sangat akeistik. Sangat-sangat menjauhi dari ‘pola’ keduniaan. Hal itu terpotret dari kehidupannya yang mana, konon, beliau itu anak raja, lalu saat melihat kehidupan di luar kerajaannya ia merasa iba dan lain sebagainya, sehingganya, ia bertapa (meditasi) untuk mendapatkan pencerahan. Pola pencerahan yang diharapkan pastilah ketukan kesadaran individu, berhubungan dengan napas, keakuan dan kemanusiaan diri sendiri yang kemudian mengukur kepada manusia yang lain—dan untuk lebih detailnya, bisa membaca perihal tentang Agama Budha; searching saja di Google itu banyak.
Kekuasaan di Nusantara yang memegang adalah manusia islam, manusia yang beragama islam. Interaksi ini perlahan-lahan menguat dan bahkan membuat system yang kuat, bahkan kita masih ingat bahwa Aceh itu adalah serambinya Mekah. Alasannya: tentu di sana ada nyala tentang Agama Islam. Di Aceh, atau di Sumatera, pola kerajaan itu agak kuat di era abad 16-17, hal itu bisa dilacak sendiri. Tentang abad tersebut, dan dari sana banyak tokoh-tokoh tasawuf (Para pengkaji mengatakan begitu) yang ada di sana. Dan di Jawa semakin marak tentang kepesantrenan, tempat mengajar para santri untuk mengenal lebih jauh tentang agama. Tentu bersamaan dengan perkenalan tentang keilmuan, bersamaan itu juga meresap di cangkang pikir manusia hingga kemudian mewujud ke dalam eksistensi (sosial) manusia itu sendiri.
Era koloniasasi dari Barat
Perjalanan waktu juga, hingga kemudian orang-orang barat datang ke Nusantara, tujuan awal mereka ialah berdagang dan mencari rempah-rempah. Sesuatu yang ditawarkan ialah perdagangan. Namun kita tahu sendiri, bahwa Eropa, di abad 1500 Masehi, telah bangkit keilmuannya, telah bangkit keilmuan rasionya. Telah menyala pola-pola rasionalitas dari Yunani, bersamaan dengan itu mereka semakin mengerti tentang detail kehidupan, bahwa manusia itu membutuhkan eksistensi dan kebutuhan akan hidup.
Kebutuhan akan hidup, mereka mencari desa untuk asupan makanan orang-orang kota. Ya! Pola eropa kala itu telah menjadi pola perkotaan, sekurang-kurangnya begitu; sekurang-kurangnya system yang dibuat telah kencang, dan ‘daerah-daerah’ yang lain, yang lebih desa –yang alamnya belum begitu penduduknya—menjadi incarannya, termasuk tanah yang subur.
Nusantara dikenal tanah yang subur dengan alasan, bahwa nusantara dikelilingi oleh lautan (Kenang ulang tentang peta Negara Republik Indonesia), orang-orang yang barat, yang tentunya cerdas secara rasio (dan keutamaan orang-orang nusantara tentu saja kecerdasannya adalah pada sisi dalam, yakni spiritual. Dan itu pun tidak semuanya: kecederungan watak manusia bukanlah menjalani hal-hal ribet. Dan untuk mendapati ‘spritual’ manusia perlu uzlah atau bahkan menepikan diri dari keramaian, untuk mendapatkan pencerahan secar batin.) yang dengan rasio –sekurang-kurangnya ilmu matematis murni- mereka mengajarkan tentang bagaimana pola structural, pola tersistem, menanam tersistem, berkebun tersistem dan hal-hal lainnya guna untuk ‘mendapatkan’ kesenangan secara materi, kesenangan secara jasad.
Wajar! Kebangkitan ilmu Yunani, manusia barat lebih cenderung kepada rasio, walau pun disisi lain masih banyak berhubungan dengan empiris. Perdebatan itulah hingga kemudian sosok seperti Imanuel Kant yang mendamaikan keduanya.
Namun kecenderungan watak dari manusia adalah berhuru-hara di atas dunia. Berhuru-hara untuk menjalani hidup di dunia dan seakan-akan hidup itu singkat maka harus dinikmati. Hidup itu memang singkat, namun hidup itu bakal dipertanggung jawabkan, kelak, di hari akhir: itu kata orang-orang yang beragama.
Dan manusia Nusnatara cenderung keapda yang beragama. karena memang, status kekuasaan kala itu dipegang orang-orang yang beragama.
Namun karena tergoda keapda dunia, tergoda pada dunia yang cantik dan semok, orang-orang nusantara pun terbawa arus keduniaan yang bersamaan dengan itu, hingga kemudian orang-orang barat yang awalnya bertujuan tentang perdagangan, lama-lama menjadi tuan tanah-tuan tanah dan menguasai kanca politik di Nusantara.
Penguasaan bukan berarti mempunyai kekuasan penuh, namun mempunyai pengaruh untuk kesejajaran kepengusaaan. Hingga akhirnya, kita mengenal bahwa mereka menjajah orang-orang nusantara, yang kemudian penjajahan itu semakin menjadi dan orang-orang pun ‘sebagai’ upaya untuk bangkit pun dihidupkan oleh-Nya, untuk mendapatkan tempat kemerdekaan, sekurang-kurangnya begitu.
Masa Kemerdekaan
Di saat masa kemerdekaan, ini sebenarnya belum benar-benar merdeka. Pertalian dan hubungan dengan kebaratan masih ada, yakni tentang keekonomian dan pola-pola yang dikuasai, walau perlahan-lahan mulai membaur. Namun di saat ini, mulailah tercetus filsafat di Nusantara, yakni filsafat yang baru: yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan.
Untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti yang telah kita ketahui, manusia nusantara harus bersatu padu, tidak membicarakan agama, tidak membicarakan siapa, tidak membedakan manusia (Ras), dan kita berjuang untuk kemerdekaan. Itulah filsafat pancasila. Untuk mengayomi yang bertujuan satu kesatuan tersebut. Demikian.
2018
Belum ada Komentar untuk "Melacak Filsafat di Nusantara "
Posting Komentar