Derrida

Pak Akhyar membuat kesimpulan, pada Postmodern: teori dan metode, tentang Derrida ditulisnya:

“Modernisme dan postmodernisme adalah konsep cultural dan epistemology yang berbeda. Perbedaan itu dikemukakan oleh kaum postmodern (dan juga post-strukturalisme).

Jika epistmologi modern didasarkan atas epistemology naturalistic, dimana teori diasumsikan dapat mencerminkan realitas, maka postmodern lebih didasarkan pada ralitas yang disebut postmetafisik (realitas citraan, virtual, atau realitas konstruksi).

Pada epistemology postmetafisik, dunia (Realitas) tidak lagi didasarkan atas model-model kebenaran metafisik (logos, eidos, esensi, substansi, Tuhan, Roh), akan tetapi didasarkan atas realitas dan dunia fenomenal itu sendiri.

Jika modernism menekankan kesatuan, objektivitas, dan kepastian, maka postmodern merupakan gugatan (dekontruksi) atau gagasan-gagasan moden (pencerahan) itu.

Postmodern (dan juga post strukturalisme) adalah model berpikir kritis yang radikal degan mengajak kita untuk meragukan dan mempertanyakan semua bentuk teori, wacana, metode, dan ilmu pengetahuan yang mengklaim diri sebagai objektif-universal.

Bagi postmodern model berpikir sepeti yang terdapat pada positivism logis dan strukturalisme adalah model berpikir otoritarian (logosentrisme) dan menolak itu dan kemudian membuka jalan bagi hadirnya metode-metode dan paradigm berpikir baru. Pemikir postmodernis menganggap bahasa penting bukan Cuma bagi ilmu pengetahuan, akan tetapi juga bagi pembentukan subjektivitas dalam memproduksi makna dan menciptakan realitas sosial-budaya.

Menurut Derrida tidak ada bahasa tulis atau lisan yang secara transparan dapat mengungkapkan makna realitas apa adanya. Derrida berpendapat bahwa bahasa secara esensial adalah system penanda (symbol) yang mendapatkan maknanya bukan karena hubungannya dengan dunia (Realitas), akan tetapi mendapatkan maknanya lewat konteks internal bahasa melalui ‘perbedaan’.

Pemahaman instabilitas inheren dan sifat arbitrer bahasa telah meruntuhkan kepercayaan pada wacana logosentrisme, makna bahasa adalah produk perbedaan linguistic, bukan keterkaitan (Gambaran, representasi) dengan realitas dunia.

Dekontruksi Derrida jelas bukan hanya menyerang teori (Klaim) kebenaran representasi model positivism logis, akan tetapi juga hermeunetika yang mengasumsikan penafsiran yang dapat menemukan makna objektif.

Dekontruksi derrida menyatakan bahwa semua teks akan terurai begitu dihadapkan dengan berbagai pertanyaan (analisis) tajam dan radikal terhadap asumsi-asumsi dan makna teks melalui analisis: linguistic, filosofis, perbedaan, jejak dan ambiguitas yang ada dalam teks.

Dekontruksi adalah aktivitas interpretative yang melakukan momen dekontruksi diri, kritik pada tataran subteks dari teks. Secara implisit dapat dikatakan bahwa dekontreksi Derrida sesungguhnya sebagai upaya untuk memperjelas makna teks, menghilangkan secara bertahap argument yang kurang jelas serta makna yang ambigu dalam teks.

Pembacaan terhadap tulisan Derrida pasti memunculkan keragaman karena ada keragaman bidang ilmu dan latar belakang sosial-budaya (sastrawan, sosiolog, filsafat, politik) tapi itu sah saja, dan bagi postmodernis seperti Derrida, itu merupakan konsekuensi dari harapannya untuk menghargai perbedaan.

Keaneka ragaman suara dan wacana (multivokalitas), ketidadanya kebenaran mutlak dan final acap dijadikan sebagai argument bahwa Derrida dan para pemikir postmodern jatuh pada realtivisme, bahkan ada yang menyatakan nihilism.

Jika tuduhan relativisme pada Derrida dinilai dari perspektif ini, mungkin benar tapi bukan berarti realiv (isme) dalam pengertian tidak ada kebenaran dan tidak pula ada yang membedakan pengetahuan dengan ideology dan mitos karena dekontruski sangat menekankan rasionalitas dan kekuatan argumentasi. Derrida bukan mengajarkan bahwa teks memiliki makna tak terbatas sebagaimana sering ditafsirkan. Dekontruksi membuka ruang untuk menafsirkan teks secara berbeda, akan tetapi bukan penafsiran semau-maunya tajam. Derrida menyatakan bahwa metode dekontruksi merupakan aktivitas cinta yang mendorong lahirnya kebenarna yang jujur sambil mengakui posisi yang berbeda-beda dan menghargai perbedaan itu.

Derrida telah mempengaruhi kajian sosial-budaya yang berkembang akhir-akhir ini secara luar biasa. Begitu banyak pemikiran Derrida yang digunakan, ini sebagai konsekuensi logis dan strategi dari metode dekontruksi Derrida.

Dekontruksi perlu dipahami sebagai upaya penafsiran yang radikal terhadap teks, dan inkonsistensi yang ada dalam teks dapat disingkap.

Jadi, metode dekontruksi sesungguhnya bersifat konstruktif dan positif, jika kita lihat dari perspektif ini. dimensi positif dekontruksi juga dapat ditunjukan melalui penolakannya pada subjek universal dan makna yang stabil. Karena dekontruksi ini, maka memungkinkan perbedaan ras, etinis, bahasa, budaya, dan gender dan melahirkan pluralitas dan multikulturalitas kajian sosial budaya (politik identitas atau politik perbedaan)

Poststrukturalisme dan postmodernisme mengemukakan dua hal penting: pertama, memahami diri sendiri sebagia seorang yang berada pada posisi tertentu dan hidup pada lingkungan sosial dan waktu tertentu. Kedua, mengajak kita untuk tidak berpikir bahwa kita mampu membuat teks (Teori) yang dapat menjelaskan semua hal, untuk semua orang dan untuk semua ruang waktu. “

Huff…

Masih menurut Pak Akhyar, tertulis pada halaman 34, “Istilah Prancis dekontrusksi adlaah deconstruire yang berarti membongkar mesin, akan tetapi membongkar untuk dipasang kembali. Karena itu, dekontruski berarti positif karena membongkar dan menjungkirbalikkan makna teks tapi bukan dengan tujuan membongkar saja, akan tetapi dengan teks yang didekontrusi.”

“Lalu,” tulis Pak Akhyar, di Halaman 35, “apa yang dimaksud dekontruksi? Dapat dikatkaan bahwa dekontruksi adalah strategi yang diugnakan untuk mengguncang kategori-kategori dan asumsi-asumsi dasar di mana pemikiran kita ditegakkan. Artinya dekonstruksi adalah upaya untuk mengkritisi secara radikal dan membongkar berbagai asumsi-asumsi dasar yang menopang pemikiran dan keyakinan kita sendiri.”

Hemm…

Agaknya hal itu di dalam pemikiranku belum tersambung, belum ada koneksi tentang dekonstruksi. Kayaknya pemikiranku belum siap untuk membaca dekonstruksi. Ya! Memang harus ada pengakuan, tentang kesiapan membaca. memang aku telah membaca, dan berupaya untuk memahami, namun di dalam pemikiranku: sesungguhnya hal itu apa efeknya pada realitas kekinian? Realitas yang itu buat manusia Indonesia, terlebih khusus realitas buat di desa, realitas buat diriku.

Malahan semakin saya membaca Derrida ini, semakin dianjurkan untuk membaca sejarah kefilsafatan secara total, artinya menggringku sekali lagi menuju ‘teks-teks’ filsafat yang itu sampai ke Derrida. Ringkas kata, berarti saya belum memahami perkara ini: ternyata. Malahan yang sering ditangkap pemikiran: jadi kita sibuk perkara kata. kita sibuk pada sesuatu yang disebut tanda. Maka jadilah saya itu golongan ‘logosentrisme’. Focus juga pada logosentrisme.

Ah saya anggap ini adalah perjalanan intelektual, berpetualngan ke alam pemikiran orang-orang eropa, setidaknya inilah kuliah filsafat, yang semakin menyentuh kekinian. Begitulah.

Belum ada Komentar untuk "Derrida"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel