Surat Buat Pak Haidar: Bagaimana Kabarmu?


Bagaimana kabarmu, Pak? (Sebenarnya saya hendak memulai dengan bahasa jawa; kesannya agak lebih sopan, selain itu terkesan njawani dan ada tata-krama; pripun kabare, Pak?) sebuah pertanyaan yang sebenarnya bagiku terasa aneh, sebab sekedar bertanya, dan bakal habis kalau dijawab, baik. 

“Kabarku baik. Bagaimana kabarmu?”

Jawabku, antara baik dan tidak-baik. Dan saya memilih untuk menjawab, bahwa kabarku baik. Maka bersamaan dengan jawaban itu. Selesailah sudah pembicaraan.

Padahal, banyak hal yang mesti dibicarakan—jangan katakan, kalau tidak ada yang dibicarakan, maka mengapa harus dibicarakan? Sudah sih jalani saja proses hidup ini, tidak usah protes, terima saja alur hidup ini; jalani sesuatu yang pasti dan jelas. Jawab saja masalah-masalah yang nampak (kata Filsuf Husserl, fenomena) jangan diribet-ribetkan. Ingatlah! Ya! Kau ingat, bahwa zaman sekarang ialah zamannya sistematis dan rapi, apa-pun pasti bakal dikembalikan pada ‘aturan-aturan’ pada ‘cara-cara praktis’ (kata Filsuf Postmodern, Lyotard: Narasi besar) dan yang pasti bakal bersibuk pada logo. Ingatlah konsentrasi utama di zaman ini memang banyak bersibuk pada logo, dan terkadang lalai pada esensi yang semestinya. Ngunu!—tentu saja tentang keadaanku. Tentang keadaan yang itu fakta pada diriku.

Memang, kasus utamaku sejauh ini adalah diriku. Diriku! Ya! Diriku! Cara berpikirku! Cara berpikirku.

Memang kesannya berpikir itu gampang dan mudah—pastilah kau mengetahui itu, bahwasanya untuk berpikir yang benar itu tidak semudah yang dipikirkan. Orang-orang besar di Eropa berketat-kuat pada proses berpikir, yang kemudian disebut dengan logika, seperti halnya Aristoteles dan filsuf-filsuf kuno lainnya. Dan maaf saja, saya sertakan nama-nama para filsuf itu, kesannya bahwa saya mengkaji filsafat. Bahwa saya penyuka filsafat. Tapi kadangkala, sebagaimana engkau juga menyadari bahwa manusia zaman now ini, sibuk sekali dengan logo, logosentrisme: atau terjebak, upyek pada sesuatu yang disebut bahasa. Wajar saja, jika kemudian orang-orang Eropa lebih sibuk pada sesuatu yang disebut dengan Hermeunetika. Sebuah ilmu tentang cara menjelaskan, yang biasanya diorientasikan menjelaskan pada hal-hal suci, yakni kitab suci orang yang beragama. Yang kemudian, pada perjalanannya semakin lebih populer ketika Agama Nasrani menyentuh Romawi, Agama Nasrani menjadi agama yang diutamakan. Hingga kemudian konsen pemikiran di kala itu menjadi konsen pemikiran yang berhubungan dengan keagamaan. Tentu saja, di Nusantara juga, waktu itu, juga telah sibuk dengan keagamaan. 

Ya! Abad pertengahan itu: sejak abad pertengahan itu, kalau kita baca ulang tentang sejarah-sejarah Nusantara maka bakal didapatkan tentang kehadiran agama Hindu di Nusantara, yang kemudian disusul dengan agama Budha, lalu disusul dengan agama Islam. Yang pasti di era abad pertengahan, kalau membaca-baca tentang sejarah: orientasi pemikiran ialah tentang ketuhanan.

Hingga kemudian, di saat Eropa bangkit, orang-orang sering menuliskan, abad pencerahan atau bahasa kerennya Aufklarug (ah basaha asing: intinya kebangkitan. Kalau kurang yakin, baca ulang tentang sejarah pemikiran) di saat itu orientasi pemikiran sibuk pada sesuatu yang disebut antroposentrisme. Yakni manusia menjadi sasaran utama atau objek sekaligus subjek terhadap apa-pun itu. Yang bersamaan itu, maka kemajuan merajai (hampir saja saya tuliskan: merajalela) jadilah kepermesinan itu mulai aktif, lebih berisi. Hal itu pun dipicu karena kekuasaan islam menyentuh orang-orang Romawi lagi.

Lagi-lagi dengan ‘kemasukan’ unsure keagamaan itu, pengetahuan bangkit lagi. Sebelum itu, dikala Romawi belum kemasukan Agama Nasrani, orang-orangnya (Para pemikirnya stagnan: ini juga saya dapatkan dari buku-buku, atau pembacaan total tentang sejarah pemikiran) stagnan pada pengetahuan. Dan kemudian, ketika ilmu-pengetahuan itu berjalan ditempat, kemasukkanlah agama islam, maka disaat itulah kebangkitan mulai kembali. Dan sekarang, abad ini dibayangi oleh logosentrisme: corak utamanya kajian disini adalah tentang bahasa atau tanda atau symbol. Dan itu semua tentang kajian kefilsafatan, orientasi kuat dari filsafat yakni tentang pemikiran. Yang bahkan ketotalitasan tentang pemikiran atau bahkan yang mendasari tentang proses berpikir. Maka 'kayaknya’ memang cocok untuk masuk di lembaga ini. Seperti katamu kepadaku: untuk mengerti bagaimana saya berpikir! Kuliah untuk mengerti bagaimana berpikir. – tapi bagiku itu tidak mudah! Tidak mudah.

Yang tentu, bersama dengan kedatangan kata-kataku ini (Suratlah): yang dimaksud dengan bagaimana kabarmu adalah harapan pemikiranku untuk mengetahui tentang totalitas kedirianmu, yang kini mulai tambah sibuk dengan atas nama perpolitikan. Hehe Ya! Herannya aku ingin mengetahui perihal keadaanmu tentang hal itu. Walau mungkin, kau akan menertawakanku dan berkata: “Urusilah dirimu. Fakta-fakta yang ada pada dirimu. Sayangnya, aku pun tidak mampu membendung sesuatu yang membayangi pemikiranmu. Tidak bisa mencegah sesuatu yang mungkin kau sebut dengan istilah populer ‘rindu’ atau semacam ‘cinta’ yang itu diarahkan kepadaku. Alih-alih kau menyampaikan itu untukku, padahal itu untuk kepentinganmu. Kepentingan untuk mencari dirimu yang itu lewat diriku. Mencari keakuanmu yang itu melalui diriku. Kepentingan yang ganjil lalu diarahkan kepada objek yang lain. Yah… apa daya, telah menjadi seperti itu.”

Namun secara fakta, secara obrolan, kau selalu menjawab simpel. “Ya… sibuklah. Ya… kamu tahu sendirilah,” katamu di telpon.

Telephone menjadi media untuk bertemu, karena memang telephone adalah media. media untuk bertemu, walau pun tidak secara fakta-totalitas, yakni berjarak. Tapi bagiku, obrolan yang fakta-realitas itu kurang—maklum merasa tidak cukup; atau ambisi untuk mendapatkan lebih, ambisi untuk mendapatkan sesuatu yang banyak, atau sesuatu yang bebal terhadap kalimat klise dan kompleks-- itu sebabnya saya uraikan menjadi kata-kata. 

Jika (Ya! Jika) kau bertanya bagaimana kabar keadaan faktaku, keadaan realitasku? 

Jawabku, saya perlahan-lahan ‘mengikuti’ system yang berlaku. Nah saya kutip kata ‘mengikuti’ karena ikut itu bukan berarti seperti endung atau sekedar diseret oleh suatu keadaan zaman. yang pasti, saya mengikuti aturan, mengikuti persisteman. Ya! Seperti katamu. Seperti katamu. 

2018

Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Pak Haidar: Bagaimana Kabarmu?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel