Dalam Beragama: Penting ‘Ilmu-Alat’ Atau Penting Praktek-Ilmu (Bagian 2)

Manusia-materi itu, membuat peraturan demi peraturan, dengan tujuan untuk hidup-bersama dan menciptakan kerukunan demi kerukunan. Karena alam melimpah, karena alam subur, maka pohon-pohon lebat. Maka tempat-tempat tatkala malam adalah gulita (saya membicarakan masa dulu, dimana listrik belum masuk Indonesia; saya membicarakan tentang sebelum agama hindu-budha, masuk di indonesia).

Gulitanya daerah yang bertinggi pohon-pohon, maka menjadikan tempat yang gelap itu sangatlah terkesan seram. Laksana berada dipohon dan teriakan hewan-hewan liar. ‘istilah’ seram, kemudian mewabah pada generasi-generasi selanjutnya, yang kemudian menciptakan aturan:

Jangan keluar malam, di luar banyak hewan liar.

Jangan keluar malam, di luar banyak binatang buas.

Jangan keluar malam, di luar seram.

Mereka hidup dalam hal ke praktisan. Karena alam mendukung untuk itu, yang selanjutnya dari kepraktisannya itu menggiringnya menentukan hokum demi hokum. Selanjutnya, alam menjadikan dukungan penuh terhadap sesuatu yang tercipta dari tempat-tempat itu. maka bisa terkumpulkan istilah-islitah:

Seram.

Angker.

Gelap gulita

Tautan bunyi hewan-hewan gelap.

Dari istialah itu maka muncullah ‘angan-angan’ terhadap bunyi yang ditangkap dari apa-apa yang berbunyi namun tidak terlihat wujudnya.

Bunyi adalah tanda.

Bunyi menciptakan kenangan.

Bunyi menciptakan fantasi.

Bunyi menyediakan untuk berpikir.

Manusia yang mendengar bunyi-bunyi sembarang akan berpikir tentang bunyi-bunyi apa yang dimaksud. Di dalam benaknya, akan tergambar campuran binatang-binatang yang berbunyi: bunyian tidak sekedar nyaring jangkrik, namun percampuran hewan-hewan liar.

(Saya masih membicarakan keadaan Indonesia sebelum dimasukinya agama, khususnya agama hindu)

Dari bunyi itu, maka mereka diajak untuk berpikir tentang alam-sekitar itu, maka sebagian ada yang mencari tanda-tanda, hewan apa saja yang berbunyi saat matahari:

Burung gagak, berwarna hitam pekat. Suaranya laksana leher di cekik

Burung hantu, sorot matanya tajam. Ngiuknya jelas yang berjeda.

Anjing, mulutnya moncong, lidahnya menjulur, mangap. Lalu menggonggong.

Kera, monyet, dan sebangsanya, suaranya ngiuk-ngiuk, matanya setiap spesies berbeda: ada yang merah, hitam, coklak, agak kekuningan.

Dan masih banyak suara hewan lainnya. Bercampur baur dan semakin menjadi pemikiran di dalam pikiran manusia.

(Sebenarnya saya mau menyampaikan, bahwa inilah kronologi tentang hal-hal mistis, dengan mengatakan mengapa hal mistis itu terjadi di Indonesia, dan apa yang melatarbelakangi hal itu: jawaban saya adalah alam. Karena alam, selanjutnya dengan mudah, agama-agama itu masuk, terlebih lagi, agama yang datang, masuk dengan orientasi hati dan mempercayai hal mistik. Atau bahasa lainnya, saya mau menunjukan bahwasanya beginilah asal-usul animisme dan dinamisme: yang ada di nusantara)

Gabungan-gabungan penangkapan ‘tanda’ menjadikan bekas buat manusia. Hal itu, karena mereka para hewan berbunyi tanpa kode, maka saat bersamaan berbunyi bisa membentuk gambaran yang beragam tanpi satu:

“Wajanya harimau, tubuhnya kera, kukunya milik buruk gagak, bola matanya milik gagak, kulitnya adalah kulit ayam.”

Hal itu bisa terjadi, karena bersamaan bunyi, yang ditangkap secara bersama. Ditambah lagi dengan sapuan angin. Membuat suara menjadi kabur-kabur. Belum lagi suara-suara yang lain tertangkap dengan samar-samar.

Imajenasi ‘alam’ semakin beragam. Di sinilah asal-usul manusia Indonesia sangat mempercayai hal mistis. sesuatu hal yang bersifat rahasia.

Selanjtunya, di saat agama-hindu masuk, apakah yang lebih diutamakan:

Ilmu-alat atau ilmu-pelaksana.

Karena basic orientasi agama adalah kebaikan, maka yang ditekankan adalah ilmu pelaksana. Manusia dianjurkna melakasakan ini-itu, ini-itu, dan seterusnya.

Hingga kemudian islam datang, islam statusnya agak meneruskan tentang perjuangan agama hindu, yang sama, menekankan kebaikan. Mengajurkan ini-itu, ini-itu tentang kebaikan.

Saya pikir tidak jauh berbeda tatkala melangsungkan dengan tujuan kebaikan. Ilmu-alat adalah kemudian, untuk memperindah tentang apa-apa yang dianjurkan oleh kebaikan, demi menguatkan sumber dari keagamaan.

Tujuan ilmu-alat menjadikan pelaksa-ilmu lebih mengetahui. Sementara manusia hidup itu adalah praktek-dulu baru mendapatkan tahu.

Singakat cerita, agama islam telah menjadi system yang kokoh di Negara Indonesia: banyak ulama yang ada di Indonesia dengan pola-pola ulama (ada yang datang dari Jazirah arab, ada yang guru karena dia mengaji di jazirah arab, dan ada juga guru yang memang asli dari nusantara), maka sudah pasti, menjadi keragaman bahkan tentang keagamaan, walau pada dasarnya satu, agama islam. tujuannya satu, agama islam.

Sampai di sini, manakah yang lebih dipentingkan: ilmu-alat atau praktek-ilmu?

Jawabnya, kalau bisa bersamaan. Kalau tidak, maka lebih dianjurkan untuk praktek-ilmu, untuk alat menyusul, tentu jawaban utama, jika diringkas dan terpaksa harus diringkas: praktek-ilmu yang lebih penting, tapi, --harus ada kata tapi, untuk menegaskan,-- bahwa tatkala praktek-ilmu, perlahan-lahan pelajarilah tentang ilmu-alat.

Akhir kata, menyambung juga sampai pada kalimat: belajar secara terus menerus. 
Demikian…

Belum ada Komentar untuk "Dalam Beragama: Penting ‘Ilmu-Alat’ Atau Penting Praktek-Ilmu (Bagian 2) "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel