Tentang Praktek Fikih
Kamis, 29 Desember 2016
Tambah Komentar
Tentang tindak-tanduk Muslim
Saya diajari, tepatnya dibacakan oleh guru, yakni kitab perilaku, kitab pelaksaan, judul kitabnya kitab al-azdkar, kitab pengiling. Kitab pengingat-ingat. Jadi di dalam kitab itu, diterangkan tentang doa-doa setiap hari, setiap saat, setiap kejadian, bahwa setiap kejadian ada doanya. Setiap kejadian harus ingat kepada Allah. Itulah kitab al-azdkar. Setiap apa-pun mempunyai doa, kalau mau menjalankan apa-apa yang ditawarkan di dalam kitab.
Wal-hasil, senantiasa saya harus teringat tentang kejadian. Dan itu menjadikanku gencar berpikir. Sarat dengan berpikir, sebab kalau dipertimbangkan lebih lanjut, doa bukanlah sekedar ucapan belaka, namun doa adalah ucapan sekaligus ada makna di dalam doa.
Saya terngiang tentang isi di dalamnya. Saya terngiang tentang bagaimana lafadnya. Namun, saya belum hafal doa-doanya. Saya belum hafal teks-teksnya. Andaikata saya menghafal redaksi, maka tentu itu suatu rahmat yang diberikan Tuhan, karena saya mampu menghafalnya.
Di sana, dianjurkan tentang tentang bagiamana mengingat, ada tiga cara pelafadan, yakni keras, sedang dan diam. Ketiganya sering dilakukan manusia, namun yang paling sulit adalah menjaga kesadaran untuk senantiasa teringat. Menjaga kesadaran untuk senantiasa menjalankan.
Hal itu sering saya pertanyakan: bagaimana kesadaran itu bisa terjaga? Ternyata, untuk menjaga kesadaran bukanlah perkara mudah. Apalagi menjaga kesadaran tentang Tuhan. Pada dasarnya, refleksi dari pelaksaan peribadahan adalah menjaga kesadaran tentang keberadaan Tuhan. Dan manusia, saya, harus senantiasa berada di dalam jalan milik-Nya, yakni hokum-hukum-Nya; setidaknya harus teringat bahwa semua adalah milik-Nya. Bahwa bumi yang teringat adalah milik-Nya.
Kemudian, praktek fikih saya sambungkan dengan pengetahuanku: saya harus mengait-kaitkan dengan pengetahuan yang meresap oleh diriku, wal-hasil, pengkajian fikih bukanlah sesuatu yang sederhana, sekali pun hal yang dilakukan adalah sesuatu yang sederhana, seperti berdoa setiap saat.
Berdoa setiap saat bukanlah perkara yang mudah.
Berdoa setiap saat harus ingat bahwa ada doa pada setiap saat.
Berdoa setiap saat mengajurkan kepada pengetauan yang lain.
Pengetahuan yang lain adalah pengetahuan tentang bahasa, karena bahasa sebagai alatnya. Pengetahuan tentang hafaland data-pengetahuan, kalau doanya itu harus bersumber (artinya mengikuti redaksi dalam kitab tentang doa yang dianjurkan). Pengetahuan tentang kesadaran, bahwa setiap apa-pun ada doanya. Selanjutnya, pengetahuan tentang Al-quran, karena doa referensi utamanya dari al-quran. Selain itu, pengetahuan tentang hadist, karena banyak doa yang muncul pada hadist. Terlebih lagi, pengetahuan tentang makna Allah, saya berpikir, inilah yang paling penting. Kesadaran terhadap allah.
Namun, dalam kajian fikih, dalam kajian, orientasi ketat bukan tentang allah, seringkali orientasi ketat terahdap sumber kefikihannya. Inilah yang menjadi sebab ramainya dunia fikih. Ilmu fikih menjadi ilmu tersendiri, dan orang-orang mempunyai ‘ikatan’ tersendiri.
Dan disini, saya tidak mempersoalkan tentang hal itu. Namun menyampaikan, bahwa: tatkala kita melakukan sesuatu ada dasarnya, setidaknya dengan melakuakan doa-doa, yang mempunyai sumber, sekali pun sebenarnya tatkala melakukan sesuatu telah bersumber. Namun beratnya, siapa mau menjaga kesadaran saat menjalankan kegiatan-kegiatan (ibadah-ibadah) keislaman? Menjaga kesadaran berarti ia menyadari bahwa ia melakuakan sesuatu mempunyai referensi, yang jelas. Dan referensi itu bertujuan untuk memastikan tentang apa-apa yang dilakukannya.
Kegiatan (ibadah) islam yang semula adalah biasa, sekarang, bagi orang pelajar, harus menjadi sukar di dalam pikiran, dengan tujuan, menyatukan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya, dengan tujuan inti: memahami apa-apa yang dilakukan. Mereka berdoa, mereka memahami maksdu dari doa. Mereka shalat, mereka memahami apa maksud dari shalatnya.
Belum ada Komentar untuk "Tentang Praktek Fikih"
Posting Komentar