Surat Buat Guru: Alasan tidak mengaji: Saya Kehilangan Makna Mengaji
Senin, 19 Desember 2016
Tambah Komentar
Aku mengaji laksana kosong. Laksana sekedar melaksanakan sesuatu yang disebut mengaji. Mengaji sekedar mengaji. Mengaji tanpa isi yang sesungguhnya. Setiap kali mengaji, mendadak hilangnya cepat. Laksana ditempa angin kencang. Kencang sekali.
Aku mengaji kehilangan ajian. Laksana tidak mendapatkan ajian. Tidak mendapatkan pengaji. Aji-aji yang bertahan lama. Aji-aji yang tidak melekat kuat.
Cangkang pikirku. Tidak mampu menyerap setiap apa yang engkau berikan. Sehari mengaji, kemudian lalai. Kemudian pergi.
Aku memang salah, kenapa tidak membuka kembali kitab setelah mengaji. Lalu dihapalkan. Lalu praktekkan. Mempraktekkan apa-apa yang baru saja dikajikan. Lalu menuliskan, dibawa kemana-kamana. Kalau lupa membaca. Kalau sedang melakukan sesuatu maka membaca apa yang telah engkau bacakan.
Mungkin dengan cara itu adalah cara yang benar. Cara yang rasional. Oleh karenanya banyak ulama yang menyantolkan pena pada bajunya.
Namun, aku sampaikan kepadamu, tentang makna mengaji yang kumaksud. Kehilangan yang kumaksud. Dan mengapa itu muncul:
Itu muncul karena sejauh ini, aku mengaji sekedar mengaji. Mengaji sekedar menikmati proses. Aku tidak mendapatkan nikmat sesungguhnya mengaji— sungguh! Aku tidak ingkar nikmat, aku memang mendapatkan nikmat tatkala proses mengaji, hatiku merasa anteng dan nyaman, hatiku damai dan gembira—yakni, nikmat tingkatan ilmu. Tingkatan ilmu, sejauh ini laksana kosong. Laksana hampa.
Kosong adalah bahwa saya kurang membuktikan kepada public bahwa saya hapal terhadap kajian islam. Hampa adalah bahwa saya merasa tidak mendapatkan gairah keilmuan untuk meraihnya. Untuk meraih keluasan ilmu-islam.
Aku merasa termentokkan dan kitab yang engkau bacakan. Aku lalai—atau aku tidak mau tahu—dengan kitab-kitab yang lain.
Aku merasa hari-hariku didesak-desaki oleh sesuatu yang tidak bermanfaat buat diriku. Aku merasa hari-hariku tidak focus benar terhadap mengaji, yakni melengkapi kitab yang engkau kajikan kepadaku. Aku tidak merasa rajin benar terhadap kajian islam. aku merasa tidak rajin benar merangkum keilmuan islam. Padahal aku mengetahui bahwa untuk menjadi muslim yang benar, membutuhkan pengetahuan (hafalan) ilmu yang banyak.
Sayangnya, gairahku, selalu didesak-desaki oleh sesuatu yang membuatku marah kepada diriku. Apa itu sesuatu yang membuatku tidak focus kepada kajian. Tidak focus untuk meraih keilmuan. Atau saya telah membaca sebelumnya bahwa banyak sekali ilmu yang harus dihapalkan, banyak sekali ilmu yang harus diketahui. Aku serakah.
Serakah yang tidak mau berjuang untuk keserakahanku.
Serakah yang buruk. Karena diam-diam serakah, tapi tidak mau melangkah untuk keserakahan.
Sekarang, hatiku berkata, “Kamu penting menghafal ilmu-ilmu dasar. Kamu harus berjuang untuk hapal itu. Karena ini penting. Penting. Kamu penting meresume ilmu-ilmu dasar. Itu penting. Sekarang, nikmatilah sekali lagi mengajimu. Jangan langsung serapkan kepada hatimu, namun gunakanlah akalmu. Kenalilah, bahwa adakalanya hati mempunyai jebakan tersendiri dalam hati. Bukankah sejauh ini kau menikmati secara hatimu, namun kau lupa, bahwa mengaji membutuhkan akal juga? Jadilah manusia sempurna: menggunakan akal dan hati. Terapkanlah dalam mengajimu. Guru adalah jalan untuk membuka pintu-pintu ilmu yang luas, kalau kau merasa lelah dengan keluasan ilmu yang tak berujung itu, kembalilah kepada apa yang gurumu berikan. Yang gurumu berikan, mungkin, zaman sekarang, zaman maraknya teknologi, zaman kitab-kitab bertebaran adalah sedikit, namun ketahuilah, dialah yang membawa kunci-nyata tentang pengetahuan. Itu yang penting. Dialah yang membaca kunci nyata tentang pengetahuanmu. Terlebih lagi, kamu telah dipilihkan dengan guru yang sesuai dengan dirimu. Gunakanlah kunci-nyatamu sebaik-baiknya. Kalau kau lelah dengan keluasan ilmu. Kecuplah tangan dan dengarkan gurumu, bukan kuncinya, tapi wujud gurumu. Sekian.”
Terakhir, sebab alasan tersebut, maka sekarang, saya mempunyai makna dalam mengaji, bahkan lebih bermakna dibanding mengaji-mengaji sebelumnya. Mohon doa restunya…
Aku mengaji kehilangan ajian. Laksana tidak mendapatkan ajian. Tidak mendapatkan pengaji. Aji-aji yang bertahan lama. Aji-aji yang tidak melekat kuat.
Cangkang pikirku. Tidak mampu menyerap setiap apa yang engkau berikan. Sehari mengaji, kemudian lalai. Kemudian pergi.
Aku memang salah, kenapa tidak membuka kembali kitab setelah mengaji. Lalu dihapalkan. Lalu praktekkan. Mempraktekkan apa-apa yang baru saja dikajikan. Lalu menuliskan, dibawa kemana-kamana. Kalau lupa membaca. Kalau sedang melakukan sesuatu maka membaca apa yang telah engkau bacakan.
Mungkin dengan cara itu adalah cara yang benar. Cara yang rasional. Oleh karenanya banyak ulama yang menyantolkan pena pada bajunya.
Namun, aku sampaikan kepadamu, tentang makna mengaji yang kumaksud. Kehilangan yang kumaksud. Dan mengapa itu muncul:
Itu muncul karena sejauh ini, aku mengaji sekedar mengaji. Mengaji sekedar menikmati proses. Aku tidak mendapatkan nikmat sesungguhnya mengaji— sungguh! Aku tidak ingkar nikmat, aku memang mendapatkan nikmat tatkala proses mengaji, hatiku merasa anteng dan nyaman, hatiku damai dan gembira—yakni, nikmat tingkatan ilmu. Tingkatan ilmu, sejauh ini laksana kosong. Laksana hampa.
Kosong adalah bahwa saya kurang membuktikan kepada public bahwa saya hapal terhadap kajian islam. Hampa adalah bahwa saya merasa tidak mendapatkan gairah keilmuan untuk meraihnya. Untuk meraih keluasan ilmu-islam.
Aku merasa termentokkan dan kitab yang engkau bacakan. Aku lalai—atau aku tidak mau tahu—dengan kitab-kitab yang lain.
Aku merasa hari-hariku didesak-desaki oleh sesuatu yang tidak bermanfaat buat diriku. Aku merasa hari-hariku tidak focus benar terhadap mengaji, yakni melengkapi kitab yang engkau kajikan kepadaku. Aku tidak merasa rajin benar terhadap kajian islam. aku merasa tidak rajin benar merangkum keilmuan islam. Padahal aku mengetahui bahwa untuk menjadi muslim yang benar, membutuhkan pengetahuan (hafalan) ilmu yang banyak.
Sayangnya, gairahku, selalu didesak-desaki oleh sesuatu yang membuatku marah kepada diriku. Apa itu sesuatu yang membuatku tidak focus kepada kajian. Tidak focus untuk meraih keilmuan. Atau saya telah membaca sebelumnya bahwa banyak sekali ilmu yang harus dihapalkan, banyak sekali ilmu yang harus diketahui. Aku serakah.
Serakah yang tidak mau berjuang untuk keserakahanku.
Serakah yang buruk. Karena diam-diam serakah, tapi tidak mau melangkah untuk keserakahan.
Sekarang, hatiku berkata, “Kamu penting menghafal ilmu-ilmu dasar. Kamu harus berjuang untuk hapal itu. Karena ini penting. Penting. Kamu penting meresume ilmu-ilmu dasar. Itu penting. Sekarang, nikmatilah sekali lagi mengajimu. Jangan langsung serapkan kepada hatimu, namun gunakanlah akalmu. Kenalilah, bahwa adakalanya hati mempunyai jebakan tersendiri dalam hati. Bukankah sejauh ini kau menikmati secara hatimu, namun kau lupa, bahwa mengaji membutuhkan akal juga? Jadilah manusia sempurna: menggunakan akal dan hati. Terapkanlah dalam mengajimu. Guru adalah jalan untuk membuka pintu-pintu ilmu yang luas, kalau kau merasa lelah dengan keluasan ilmu yang tak berujung itu, kembalilah kepada apa yang gurumu berikan. Yang gurumu berikan, mungkin, zaman sekarang, zaman maraknya teknologi, zaman kitab-kitab bertebaran adalah sedikit, namun ketahuilah, dialah yang membawa kunci-nyata tentang pengetahuan. Itu yang penting. Dialah yang membaca kunci nyata tentang pengetahuanmu. Terlebih lagi, kamu telah dipilihkan dengan guru yang sesuai dengan dirimu. Gunakanlah kunci-nyatamu sebaik-baiknya. Kalau kau lelah dengan keluasan ilmu. Kecuplah tangan dan dengarkan gurumu, bukan kuncinya, tapi wujud gurumu. Sekian.”
Terakhir, sebab alasan tersebut, maka sekarang, saya mempunyai makna dalam mengaji, bahkan lebih bermakna dibanding mengaji-mengaji sebelumnya. Mohon doa restunya…
Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Alasan tidak mengaji: Saya Kehilangan Makna Mengaji "
Posting Komentar