SURAT BUAT GURU: TENTANG KENEGARAAN, O TENTANG KEISLAMAN

hidayat tf

Galauku bukan tentang Negara, resahku bukan tentang bagaimana umat islam, gelisahku adalah tentang diriku. Diriku yang berada di Negara dan berada di antara umat. Sejak dulu, aku memang tidak begitu perduli dengan sesuatu yang bernama Negara, di dalam pikiranku senantiasa tentang agama. Dan bagiku, Negara adalah sesuatu yang diikuti, membayar pajak, mematuhi kata Pak Lurah, kalau mau, kalau memang itu untuk kepentingan bersama. Seringkas itu. 

Soal harga-harga, atau peraturan-peraturan tentang Negara, bagiku, teramat jauh dalam cangkang pikirku, ada pemikir yang lain, yang memang dikehendaki untuk memikirkan Negara. Entah siapa pun itu. namun aku termasuk pemikir yang cenderung terhadap agama. 

Ini sebuah motivasi kepada diri, karena aku mulai terpancing membodohkan diri atas nama Negara, padahal sejauh ini aku jarang sekali menyentuh sesuatu atas nama, persentuhanku adalah tentang keagamaan, keislaman. Maksudku, saya tidak harus terpancing untuk lebih dalam menelusuri tentang kenegaraan dan berpikir seolah-olah negarawan. 

Aku telah melihat bagaimana banyak orang-orang membicarkan kepentingan rakyat, namun berita-berita juga menyiarkan tentang orang-orang yang melanggar terhadap kepentingan rakyat, bahkan lebih membrakot uang rakyat. 

Bagi saya, yang jauh dari kenegaraan: untuk apa aku harus berpikir tentang kenegagaraan? Lebih baik menyelamatkan ekonomiku sendiri. Bekerja lalu mendapatkan uang. soal harga-harga naik, apalah dayaku. Jawabku akan simpel, kalau harga naik, mengapa tidak. Saya tidak perduli, andaikata banyak orang yang mengeluh tentang harga-harga yang naik. Jawabku, itu suatu kewajaran, sejak lama kamu mengeluh tentang itu. 

Mengantungkan diri kepada Negara, bagiku juga tidak baik, sebab apakah sumbangan nyata Negara bagi diriku. Yang saya pentingkan tentang agama, agama dan agamaku. 

Sebab apakah Negara mampu menyelamatkan apa yang saya pikirkan? Sejauh ini aku merasa menderita sendiri? Ditekan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab seorang pun. Akhirnya, aku sendiri yang menjawabnya. Yang lain adalah pemberi jawaban-jawaban sementara. 

Ini adalah sebuah motivasi kepada diri, karena aku mulai terpancing memodohkan diri atas nama Negara, tentang sejarah politik Negara, padahal sejauh ini saya menyemplung pada ranah agama, mengapa aku merasa bodoh terhadap atas nama Negara, padahal sejauh ini saya kurang begitu perduli, sekedar mengikuti sebagian apa yang dititahkan Negara. 

Kepentingan-kepentingan Negara adalah kepentingan tentang urusan duniawi, tentang aturan-aturan orang-orang banyak, tentang aturan bagaimana orang banyak itu bertindak, tentang bagaimana orang banyak itu bekerja, tentang bagaimana orang-orang banyak itu mencapai sejahtera. 

Sayangnya, saya mendapatkan kesejahteraan melalui agama: saya pun akan mendorong, kalau bisa, orang-orang, sejahtera dengan agama. Dan Negara adalah sekedar alat tentang kesejahteraan. Kataku, 

“Yang pasti engkau bekerja, bekerja dan jangan lupa belajar agama. Sekalipun saya belum benar-benar nyata mendapatkan kesejahteraan atas nama agama. Namun saya percaya, bahwa kedamaian akan dapat melalui jalan agama. Dengan mempercayai bahwa semua adalah milik-Nya. Marilah tingkatkan keimanan kepada Allah azza wajala, sekali pun imanmu belum yakin benar, namun saya percaya bahwa dengan jalan itu manusia akan merasa damai lagi sejahtera. Caranya, yang pasti engkau bekerja, bekerja, dan jangan lupa belajar agama. 

Jangan tergiur dengan omongan mereka yang sedang pawai. Kenalilah, bidang-bidang kenegaraan itu tersistem, ukurannya adalah objektif. Setiap mereka tidak mampu dengan mudah apa-apa yang mereka tawarkan itu. 

Jangan terkecoh oleh pakaian-pakaian mereka, bisa jadi hari ini mereka sangat baik kepadamu, tapi selanjutnya, mereka mengabaikanmu. Mereka bermanis muka tatkala pawai, selanjutnya, mereka tidak datang-datang. 

Lihatlah calon-calon pemimpin itu, mereka jalan-jalan kalau sekedar hendak menjalankan proses pemilihan. Pikirmu, sejauh ini kemana mereka? Kalaulah mereka ditakdirkan untuk menjelma pemimpin, seharusnya mereka perhatian sejak dari dulu. Mereka telah mengetahui keluh-kesah kita. 

Namun, dunia, tentang dunia-materi, pastilah manusia tidak akan merasa tercukupkan. Tidak akan pernah cukup. Akan terus dan terus. Pengeremnya memang agama. Sekalipun saya belum mendapatkan keyakinan penuh terhadap agama, namun saya percaya bahwa kedamaian dan kesejahteraan ada dalam agama. 

Lihatlah orang-orang kiai itu, apakah mereka resah dengan pergolakan sejarah? Apakah mereka galau tatkala harga-harga naik? Apakah mereka resah kalau-dunia berubah begini-begitu dan seterusnya? Pungutlah kiai-kiai yang tidak galau seperti itu, jadikanlah panutan. Belajarlah kepadanya. Itu kataku, yang memang sejak dulu, laksana digiring untuk hal ini. tentang keagamaan, walau sekarang, ternyatakan tidak sempurna terhadap keilmuan agama. Bagiku, saya masih berwaktu, mempunyai daya untuk belajar. menghadap guru. Mengharapkan ridhonya. Hidup itu tentang pembelajaran. Tentang belajar. 

Kalau tentang kemilau dunia, mengeruhi dirimu, Taufik. Kalau tentang tawaran dunia, mengeruhi hatimu: bekerjalah, dapat makan, bisa ibadah. Ingat, dunia teramat ringkas untuk harapan yang muluk-muluk terhadap keduniaan. 

Anak-anakmu, cucu-cucumu, biarkan mereka menjalankan waktunya. Jangan kau pikir, mau menabung uang banyak dan cucu-cucumu kelak tinggal makan, dan asyik dengan hartamu. Kenalilah, andaikata engkau jadikan seperti itu, maka mereka akan bersikap tenang dan hura-hura, menjadikan dirinya sombong, dan hidup dalam lingkungan yang serba mewah, alasannya karena kebutuhan materinya tercukupi. Mereka merasa cukup dengan materi. Mereka tidak perlu bekerja. Mereka jarang mengerti rasanya, kemiskinan. Mereka jarang mengerti rasanya, berupaya. 

Jangan jadikan anak-cucumu menikmati gelimpangnya hartamu, kecuali berilah kekayaan hatimu. Kekayaan pemikiranmu. Lihatlah panutanmu, kanjeng nabi, tirulah dia perihal ekonomi: 

Bukan berarti dunia tidak menyenangkan, namun beliau mengetahui, tatkala dunia dikejar, maka dunia menjadi super besar. Padahal dunia itu laksana nenek-nenek yang peot. Apalagi zaman sekarang. 

Terakhir, tetaplah konsentrasi dengan pencarianmu, taufik. Tetap peganglah keagamaanmu. Ikutilah kiaimu, jangan banyak-banyak kiai yang engkau ikuti. Satu, kalau engkau memegangnya erat-erat, pasti akan menyalur kepada kiai-kiai yang lain. Dan engkau telah merasakan kuatnya ikatan kekiaian itu, teruskanlah.” 

Teruskanlah…

Belum ada Komentar untuk " SURAT BUAT GURU: TENTANG KENEGARAAN, O TENTANG KEISLAMAN"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel