Surat Buat Guru: Realitas Muslim: Tidak Memahami yang Dilakukan Secara Pasti
Senin, 19 Desember 2016
Tambah Komentar
Apakah setiap pelajar-islam selalu mengetahui apa yang dilakukan? Mengetahui referensi apa yang dikerjakan? Mengetahui dalil secara pasti? Setidaknya ilmu itu bukan untuk orang lain, namun untuk dirinya sendiri. Apakah setiap diri-muslim mengetahui setiap tindakannya? Mengetahui dalil yang digunakannya?
Itulah yang saat ini mengganggu pemikiranku! Sangat mengganggu.
Padahal saya tidak dituntut untuk menghafalkan dalil, padahal saya tidak dituntut untuk hapal apa yang saya kerjakan. Tapi saya ditekan oleh pemikiranku sendiri. Katanya kasar kepadaku, seperti ini:
“Kamu makan, mengerti bahwa ada hadist tentang itu, tapi kamu tidak mengetahui bagaimana bunyinya.
Kamu makan, mengerti bahwa sebelum makan ada hadist yang menyertainya, tapi kamu tidak hafal dengan bunyinya.
Kamu wudhu, kamu shalat, kamu berinterkasi dengan keluarga, kerabat, teman, mengormati guru, menyayangi anak-yatim, mengasihi yang lapar, membantu yang kesusahan, tapi kamu tidak hapal dengan bunyi dan hadistnya. Apalagi tentang sanatnya. Apalagi tentang dasar utama al-quran.
Muslimmu tidak sempurna. Muslimmu sekedar perakuan. Muslimmu sekedarnya saja. dan kamu tidak berjuang untuk memuslimkan dirimu sesungguhnya: ketahuilah, apa-pun itu perlahan-lahan, dan bertahap, mengapa tidak engkau kerjakan untuk mengetahui, mengetahui lebih dalam, dan hapal tentang dalil itu. bukankah statusmu adalah belajar? statusmu adalah pencari ilmu! Mengapa tidak engkau cari. Engkau catat tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama.
Sekarang, berapa banyak hadist yang kamu hapal? Padahal engkau mengaji kitab hadist. Padahal engkau mampu membaca hadist. Apalagi era intenet. Apalagi era jaringan. Dengan mudah, engkau mampu membaca hadist.
Mengapa tidak engkau hapalkan? Katanya kamu mencintai Allah. Pahamilah, tatkala kamu mencintai allah maka kamu harus mencintai Nabi. Itu jalannya. Dan kamu ingat itu. Kamu sangat paham ini: bahwasanya, hadist adalah perkataan, perbuataan dan ketetapan dari kanjeng nabi—ini pengertian yang paling simpel—dan setiap harimu melakukan sesuatu:
Mengapa tidak engkau ketahui dalil-dalil yang kau lakukan itu? Bukankah tugasmu adalah belajar. bukankah kamu memiliki banyak waktu untuk mengumpulkan itu. mengapa kau anggurkan waktumu untuk lebih dekat. Merekat. Kepada ilmu-Nya.
Kamu tahu bahwasnya mandi ada hadistnya. Kamu tahu bahwasanya bertemu ada hadistnya. Belajar ada hadistnya. Azan ada hadistnya. Shalat ada hadistnya. Kenapa tidak engkau dayakan untuk menghapalkan? Mengapa selalu engkau koarkan: aku mempunyai akal tumpul untuk menghapal? Padahal engkau enggan menerima ilmu islam. engkau enggan menerima ilmu islam meresap dalam dirimu. Kalaulah engkau benar-benar menerima ilmu-islam, tentu, engkau akan sibuk dengan belajar tentang ilmu islam, dan aktifitas selain itu, adalah efek-efek belaka terhadap ilmu islam. Segeralah buka kembali kitab-kitabmu.
Hapal dan laksakanlah dalil-dalilnya. Kalau tidak, maka mengapa engkau terus-menerus mengaji, kenalilah, semakin lama engkau dalam naungan mengaji, maka kelak engkau dituntut untuk mengulang pengjian, kalau tidak, sungguh mengajimu sangat dipertanyakan. Karena engkau tidak mampu mengulangnya.
Mengapa engkau tidak mampu mengulang pengajianmu? Padahal engkau telah mengaji! Berarti ada yang salah dengan dirimu. Maka perbaikilah. Perbaikilah.”
Begitulah, suara yang ganas menyerbu diriku. Kalimat-kalimatnya ganas, dan saya tidak bisa membantahnya, karena itu berada di dalam diriku. Saya berusaha mengusir, malah semakin menjadi dan semakin kasar. Katanya,
“Masih mending kalau aku mengatakan kepadamu: bodoh. Bagaimana kalau ada anak kecil bertanya kepadamu dalilnya. Sementara banyak orang tua yang menyaksikan kamu bersama anak-kecil. Dan gelegat orang-tua yang banyak itu, benar-benar mengharapkan jawabanmu, karena pertanyaan anak-kecil tersebut pertanyaan yang dibutuhkan oleh mereka. Gelegat orang tua itu, memandangmu, sangat mengharapkan keluaran kata-katamu. Bagaimana kalau kau menjawab tidak tahu? Memang tidak ada yang salah, kalau kau jujur mengatakan apa yang kau tidak tahu: tapi kenalilah, ia bertanya tentang agama. Harusnya engkau mengetahui itu, terlebih lagi, engkau berstatus pelajar. Engkau berstatus hari-harimu adalah belajar. Sangat jarang waktumu kecuali belajar. engkau katakan dengan mudah: saya tidak tahu, dengan dalil, ilmu agama itu luas, ilmu agama itu banyak, ilmu agama itu banyak cabangnya, manalah mungkin saya bisa menjawab apa yang anak-kecil itu tanyakan, itu bukan keahlian saya. Itu bukan bidang saya.
Alasan yang masuk akal. Namun, kalaulah anak-kecil yang bertanya, harusnya engkau tahu, karena kualitas anak-kecil bukanlah pertanyaan yang nyecer dan menunggu jawaban yang hebat-hebat. harusnya memang kamu hafal garis besar tentang pengetahuan islam. harusnya begitu. Kalau tidak begitu. Mengapa engkau tidak begitukan pengetahuanmu? Engkau cecer dirimu untuk belajar dan belajar: karena engkau mengetahui kelemahanmu, maka engkau harus menguatkan.”
Begitulah, suara itu. Suara yang menyerang diriku. Dan aku tidak bisa menghelak.
Dan kedatanganku kepadamu adalah pengabaran diri, tentang sesuatu yang sulit diungkapkan lewat kata-kata atau suara. Sebab, seringkali aku dipatahkan oleh kalimat ringkasmu dan aku terdiam sambil berkata: oh memang begitu, lalu pulang saya mendapatkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih seram dari sebelumnya. Seperti yang telah kusebutkan.
Akhir kata, mohon doa dan restu…
--
surat buat pak guru: teks-shalat dan aktivitas-shalat
surat buat pak guru: tentang referensi shalat: shalat yang berpikir
surat buat pak guru: menjalankan apa yang diajarkan
Itulah yang saat ini mengganggu pemikiranku! Sangat mengganggu.
Padahal saya tidak dituntut untuk menghafalkan dalil, padahal saya tidak dituntut untuk hapal apa yang saya kerjakan. Tapi saya ditekan oleh pemikiranku sendiri. Katanya kasar kepadaku, seperti ini:
“Kamu makan, mengerti bahwa ada hadist tentang itu, tapi kamu tidak mengetahui bagaimana bunyinya.
Kamu makan, mengerti bahwa sebelum makan ada hadist yang menyertainya, tapi kamu tidak hafal dengan bunyinya.
Kamu wudhu, kamu shalat, kamu berinterkasi dengan keluarga, kerabat, teman, mengormati guru, menyayangi anak-yatim, mengasihi yang lapar, membantu yang kesusahan, tapi kamu tidak hapal dengan bunyi dan hadistnya. Apalagi tentang sanatnya. Apalagi tentang dasar utama al-quran.
Muslimmu tidak sempurna. Muslimmu sekedar perakuan. Muslimmu sekedarnya saja. dan kamu tidak berjuang untuk memuslimkan dirimu sesungguhnya: ketahuilah, apa-pun itu perlahan-lahan, dan bertahap, mengapa tidak engkau kerjakan untuk mengetahui, mengetahui lebih dalam, dan hapal tentang dalil itu. bukankah statusmu adalah belajar? statusmu adalah pencari ilmu! Mengapa tidak engkau cari. Engkau catat tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama.
Sekarang, berapa banyak hadist yang kamu hapal? Padahal engkau mengaji kitab hadist. Padahal engkau mampu membaca hadist. Apalagi era intenet. Apalagi era jaringan. Dengan mudah, engkau mampu membaca hadist.
Mengapa tidak engkau hapalkan? Katanya kamu mencintai Allah. Pahamilah, tatkala kamu mencintai allah maka kamu harus mencintai Nabi. Itu jalannya. Dan kamu ingat itu. Kamu sangat paham ini: bahwasanya, hadist adalah perkataan, perbuataan dan ketetapan dari kanjeng nabi—ini pengertian yang paling simpel—dan setiap harimu melakukan sesuatu:
Mengapa tidak engkau ketahui dalil-dalil yang kau lakukan itu? Bukankah tugasmu adalah belajar. bukankah kamu memiliki banyak waktu untuk mengumpulkan itu. mengapa kau anggurkan waktumu untuk lebih dekat. Merekat. Kepada ilmu-Nya.
Kamu tahu bahwasnya mandi ada hadistnya. Kamu tahu bahwasanya bertemu ada hadistnya. Belajar ada hadistnya. Azan ada hadistnya. Shalat ada hadistnya. Kenapa tidak engkau dayakan untuk menghapalkan? Mengapa selalu engkau koarkan: aku mempunyai akal tumpul untuk menghapal? Padahal engkau enggan menerima ilmu islam. engkau enggan menerima ilmu islam meresap dalam dirimu. Kalaulah engkau benar-benar menerima ilmu-islam, tentu, engkau akan sibuk dengan belajar tentang ilmu islam, dan aktifitas selain itu, adalah efek-efek belaka terhadap ilmu islam. Segeralah buka kembali kitab-kitabmu.
Hapal dan laksakanlah dalil-dalilnya. Kalau tidak, maka mengapa engkau terus-menerus mengaji, kenalilah, semakin lama engkau dalam naungan mengaji, maka kelak engkau dituntut untuk mengulang pengjian, kalau tidak, sungguh mengajimu sangat dipertanyakan. Karena engkau tidak mampu mengulangnya.
Mengapa engkau tidak mampu mengulang pengajianmu? Padahal engkau telah mengaji! Berarti ada yang salah dengan dirimu. Maka perbaikilah. Perbaikilah.”
Begitulah, suara yang ganas menyerbu diriku. Kalimat-kalimatnya ganas, dan saya tidak bisa membantahnya, karena itu berada di dalam diriku. Saya berusaha mengusir, malah semakin menjadi dan semakin kasar. Katanya,
“Masih mending kalau aku mengatakan kepadamu: bodoh. Bagaimana kalau ada anak kecil bertanya kepadamu dalilnya. Sementara banyak orang tua yang menyaksikan kamu bersama anak-kecil. Dan gelegat orang-tua yang banyak itu, benar-benar mengharapkan jawabanmu, karena pertanyaan anak-kecil tersebut pertanyaan yang dibutuhkan oleh mereka. Gelegat orang tua itu, memandangmu, sangat mengharapkan keluaran kata-katamu. Bagaimana kalau kau menjawab tidak tahu? Memang tidak ada yang salah, kalau kau jujur mengatakan apa yang kau tidak tahu: tapi kenalilah, ia bertanya tentang agama. Harusnya engkau mengetahui itu, terlebih lagi, engkau berstatus pelajar. Engkau berstatus hari-harimu adalah belajar. Sangat jarang waktumu kecuali belajar. engkau katakan dengan mudah: saya tidak tahu, dengan dalil, ilmu agama itu luas, ilmu agama itu banyak, ilmu agama itu banyak cabangnya, manalah mungkin saya bisa menjawab apa yang anak-kecil itu tanyakan, itu bukan keahlian saya. Itu bukan bidang saya.
Alasan yang masuk akal. Namun, kalaulah anak-kecil yang bertanya, harusnya engkau tahu, karena kualitas anak-kecil bukanlah pertanyaan yang nyecer dan menunggu jawaban yang hebat-hebat. harusnya memang kamu hafal garis besar tentang pengetahuan islam. harusnya begitu. Kalau tidak begitu. Mengapa engkau tidak begitukan pengetahuanmu? Engkau cecer dirimu untuk belajar dan belajar: karena engkau mengetahui kelemahanmu, maka engkau harus menguatkan.”
Begitulah, suara itu. Suara yang menyerang diriku. Dan aku tidak bisa menghelak.
Dan kedatanganku kepadamu adalah pengabaran diri, tentang sesuatu yang sulit diungkapkan lewat kata-kata atau suara. Sebab, seringkali aku dipatahkan oleh kalimat ringkasmu dan aku terdiam sambil berkata: oh memang begitu, lalu pulang saya mendapatkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih seram dari sebelumnya. Seperti yang telah kusebutkan.
Akhir kata, mohon doa dan restu…
--
surat buat pak guru: teks-shalat dan aktivitas-shalat
surat buat pak guru: tentang referensi shalat: shalat yang berpikir
surat buat pak guru: menjalankan apa yang diajarkan
Belum ada Komentar untuk "Surat Buat Guru: Realitas Muslim: Tidak Memahami yang Dilakukan Secara Pasti"
Posting Komentar