Surat buat Guru: SHALAT DAN BAHASA YANG MENYERTAI




Kalau shalat sekedar melafadkan teks yang dihapal sejak kecil, tanpa memahami maksud dari teks, maka teks menjadi sekedar teks, yang tidak didengar oleh diriku, yang tidak dimengerti oleh diriku, itulah mengapa saya berusaha memahami makna teks shalat. 

Ternyata, banyak buku terjemahan tentang teks shalat. Orang-orang telah mampu mengartikan teks shalat. Namun, apakah mereka mampu memahami apa yang telah teks diketahuinya? 

Memasukkan ‘pengertian’ menjadi ‘pemahaman’ teks tidak mudah. Saya berusaha mengamat-amati, maka shalat menjadi dua bahasa. Bahasa arab dan bahasa Indonesia. 

Shalat menggunakan dua bahasa, yang keluar adalah bahasa arab, yang tersimpan bahasa Indonesia. 

Sesekali saya berusaha mengartikan bahasa shalat dengan ala-ala guru tatkala membacakan kitab. Jadi, saya membaca bahasa arab dan itu berperan layaknya guru yang membacakan kitab selanjutnya saya mengartikan bahasa arab ke bahasa jawa. 

Apakah orang-orang yang telah ahli bahasa arab tatkala shalat telah memposisikan bahasa arab sebagai bahasa utama dalam lisan maupun pikiran? 

Apakah orang-orang yang telah mengetahui makna teks sholat memposisikan bahasa arab lebih dalam benak pikirannya? 

Apakah dengan surat yang saya tawarkan ini, saya bakal diklaim orang yang deras menggunakan akalnya, terpengaruh kencang oleh arus filsafat barat yang ‘mendewakan’ akalnya? 

Jawabku, ‘Tidak. Tidak ada kaitanya saya dengan hal itu. Saya menjalankan itu, karena saya mempertanyakan keilmuan yang saya miliki. Saya hanya berusaha mengonsentrasikan pengetahuan yang saya miliki saat shalat: saya gunakan pengetahuan tentang sejarah islam, sejarah pengetahuan islam, sejarah para nabi dalam al-quran, kisah-kisah dalam al-quran, dan juga tentang bahasa-arab saya. 

Jikalau hal itu salah. Mengapa disekolahan diajarkan hal itu, dan mengapa juga guru-guru agama mengajarkan pengetahuan tentang keislaman. Bukankah pengetahuan islam disebarkan untuk dijalankan, dan tatkala terus menerus mengaji harusnya kualitas ilmunya bertambah, dan tatkala bertambah maka akan menjadi seperti itu.” 

Saya berpikir, bahwa apa yang saya alami ini adalah apa-apa yang telah dialami para ulama (dan harusnya seperti itu) sehingga beliau senantaisa menjaga kesadarannya: pendek kata, tujuan menjadikan hal ini karena saya ingin mengerangkeng pengetahuanku, supaya pengetahuanku meningkat. Supaya naik kelas pengetahuan. Caranya menghapalkan. 

Kalau hapalan sekedar hapalan, mungkin bisa, namun kalau hapalan lalu dipraktekkan itu hal yang berbeda. Memang di kelas-kelas, sering diadakan praktek tentang pengamalan ibadah. Di cek tentang bacaan-bacaan shalat. Namun sekedar di cek tentang bacaan shalat, kalau ada pembenaran maka pembenaran tajwid (lihat tentang membaca) soal paham tidak paham, itu urusan lain. Soal ditanya: apakah kamu paham? Maka jawabnya gampang, ya, saya paham. 

Coba uraikan. 

Maka si pelaku mampu menguraikan, karena si pelaku telah mengetahui makna dari apa yang dibacakan. Si pelaku mampu membaca teks-teks shalat yang telah diberi makna. 

Bahasa arab telah menjadi akrab. Sangat akrab. Bahkan lafadnya hafal. Bisa jadi, sangat hapal. Namun tatkala menerapkan dalam pikiran, apakah mereka telah menerapkan ‘pengetahuan’ guna memahami apa yang dibacanya? 

Itulah sebabnya, tujuan memahami adalah tugas individu itu sendiri. Syukur kalau paham, kalau tidak paham, ia telah melaksanakan shalat. Sebab, tatkala shalat benar-benar mengaktifkan nalar maka shalat bukanlah perkara yang sebentar, melainkan proses berpikir yang lama, sebab mengaktifkan nalar adalah mengenang-kenang pengetahuan yang tersimpan di dalam diri, atau bahasa lainnya, menguji diri terhadap ‘pengetahuan’ yang dimilikinya. 

Selanjutnya, tentang bahasa yang menyertai. 

Kalau saya bahasa yang menyertai adalah dua bahasa. Hal itu didasari dengan pertanyaan: 

Memangnya kalau berpikir itu menggunakan bahasa apa? 

Haruskah shalat sibuk dengan pemikiran? 

Shalat kok berpikir! Shalat ya shalat. Shalat itu ya ibadah. 

Jawabku, bahasa berpikir itu akan lebih mudah dengan bahasa ibunya. Namun, karena bahasa-shalat adalah bahasa arab, maka untuk mengerangkeng pengetahuan maka yang digunakan berpikir dengan bahasa arab, maka tentu, akan mengaitkan dengan kisah-kisah dengan bahasa arab, teringat kisah Nabi Ibrahim dengan teks arab, teringat kisah Nabi Musa dengan bahasa arab. Secara otomatis akan menambah pengetahuan dengan bahasa arab. 

Wal-hasil, shalat, sarat dengan pemikiran bahasa, interaksi dengan teks-teks yang lain. Shalat sarat dengan pemikiran. 

Dan saya berpikir, orang-orang yang berpengetahuan, dan berupaya untuk mengetahui bahkan memahami tentang agama islam, shalatnya, kalau ditinjau ulang, laksana komik-komik, yang bertebaran kata-kata di atas kepalanya. Dan itu, saya. 

Mohon doa dan restunya…

Belum ada Komentar untuk "Surat buat Guru: SHALAT DAN BAHASA YANG MENYERTAI "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel