Nasihat: GELORA KEILMUAN
Jumat, 23 Desember 2016
Tambah Komentar
Ketahuilah taufik, tidak semua orang mendapatkan gelora keilmuan. Tidak semua orang diberi kesempatan untuk berenang pada samudera keilmuan. Tidak semua. Hanya orang-orang yang terpilih yang mempunyai gairah keilmuan, sehingga mereka benar-benar berenang dalam lautan keilmuan. Di dalam pikiran mereka menyantol sesuatu yang penting untuk di raih.
Tatkala engkau telah sampai pada masa itu, maka engkau termasuk dalam tataran gelora keilmauan. Menyantol itu pertanyaan itu, sebagaimana telah engkau kenali, adalah tentang sesuatu yang dikehendaki dan tidak bisa dilepas.
Suatu fakta, dulu, engkau termaktub pertanyaan yang tidak keluar jawabannya kan? tidak bisa dengan mudah pertanyaan itu puas dalam dirimu. Hingga pada akhirnya, dengan berjalannya waktu, pertanyaanmu perlahan-lahan tergerus dan dengan sendirinya luntur dari pikiranmu namun masih membekas, sampai sekarang. Jika sekali lagi kutanyakan, apa jawabanmu: maka engkau sendiri yang tidak puas dengan jawabanmu sekalipun engkau telah mengetahui jawabannya, dan hatimu puas dengan jawaban tersebut.
Namun engkau tidak memahami rangkaian-kalimat tentang jawabanmu. Oleh karenanya, engkau membutuhkan kitab demi kitab, atau buku demi buku, pendek kata, engkau membutuhkan referensi untuk mengungkapkan jawabanmu. Padahal engkau telah mengetahui bahwa jawabannya simpel. Namun seni dari kehidupan adalah prosesnya, Taufik. Proses itulah yang menjadikan manusia sebagai manusia.
Sekarang, engkau mulai membaca ranah-ranah filosof musilm, engkau membaca sekilas-sekilas tentang Ibnu Rusd, Abu Hamid, Al-Farabi. Engkau laksana berkitar-kitar mengawasi mereka, mengawasi pemikiran mereka, dan mengamati detail-detail, mengapa mereka melakukan hal tersebut? Engkau terpancing kuat denga hal itu, namun dirimu senantiasa berkata:
“Ternyata. Aku belum siap untuk membaca hal tersebut. Ternyata, untuk membaca tentang mereka membutuhkan proses yang tidak mudah. Membutuhkan proses yang tidak simpel. Jika tidak seperti itu, maka pembacaanku adalah sekedar pembacaan kosong, dan tidak ada ketertarikan sungguh untuk benar-benar membaca.
Benar-benar membaca yakni, sesuai dengan diriku, dan diriku yakin berkata: ya! Aku layak membaca. Rupanya, sekarang, diriku belum siap. Masih membutuhkan pengetahuan yang lebih untuk mengawasi mereka.
Memang, mengawasi permukaan adalah mudah. Membaca mereka, di zaman informasi ini, sangat mudah. Namun rasa cocok di dalam diri, inilah yang tidak mudah. Rasa cocok di dalam diri sangatlah tidak mudah. Mendadak saya disertai pertanyaan: Taufik, bagaimana engkau membuktikan bahwa allah itu ada? Jawablah dengan secermat-cermatnya, laiknya filsuf yang memberi alasan detail.
Oleh karenanya juga, aku membutuhkan data-data filsuf tentang analisis mereka tentang ‘allah’, tujuannya, tentu supaya saya paham dengan allah. Sebab allah itu adalah kunci tentang keislaman dan esensi dari keagamaan.”
Kalimat-kalimat itu menyerangmu, keras dan kasar. Setiap saat, saat kau menyendiri dan teringat akan teks ‘allah’ engkau langsung dibuai: ‘bagaimana engkau membuktikan bahwa allah itu adalah maha esa?’ dan sederet-deret kalimat lain tentang hal itu.
Engkau ingin membuang bahwasanya pertanyaan itu, tidak bisa dijawab dengan akal. Tapi engkau tidak bisa melepaskan keakalanmu. Engkau tidak bisa melepaskan tentang pemikiranmu. Tentang bagaimana engkau berpikir. Engkau berada dimasa galau yang super.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyarankanmu untuk lebih banyak banyak. Lebih banyaklah membaca. dari pembacaanmu itu, kelak, akan menghasilkan efek-efek dari pembacaan. Tujuannya, tentu untuk lebih meringkankan jawabanmu itu.
Sebab kenalilah, pertanyaanmu itu, adalah pertanyaan kuno, yang telah dijawab oleh filosof muslim. Telah ditelaah dengan cermat oleh para filosof. Dan aku tidak menyalahkan dirimu, mengapa engkau mendapati pertanyaan tentang hal itu.
Ketahuilah, bahwasanya tidak semua orang mendapatkan pertanyaan itu dan terngiang didalam dirinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu: pikir mereka, tinggal membaca apa-apa yang telah dipaparkan oleh ahli ilmu kalam. Pikir mereka, tinggal membaca dan meniru orang-orang yang telah memberikan jawaban terhadap itu.
Sekarang taufik, untuk menjadi ‘mereka’ itu, ada prosesnya, ada prosesnya, yakinilah bahwasanya mereka juga pada mulanya melalui apa yang sekarang engkau lalui, hingga pada akhirnya, tatkala realitas atau dunia-nyata berkata lain, maka mereka lebih memilih untuk menerima jawaban yang telah dipaparkan.
Pikir mereka, sudahlah jangan lebih lama membahas tentang itu, lebih baik memandangnya sebagai realitas, kanjeng nabi membawakan ‘Allah’ dengan mudah, yakni, Tuhan Yang Absolut. Kenanglah surat al-ikhlas. Dan Allah yang real buat mereka, yakni yang menciptakan langit dan bumi, juga yang menciptakan manusia. Lalu dijelaskan dengan surat-surat seperti al-alaq dan lain-lainnya.
Allah adalah yang menciptakan. Sesimpel itu. manusia melakukan sesuatu, Allah menguasai. Manusia melakukan sesuatu, Allah memutuskan. Manusia berusaha, Allah yang mempunyai ketetapan.
Namun, untuk mendapatkan itu, manusia membutuhkan proses, Taufik. Jika sekarang engkau merasakan ingin dan berhasrat ingin mencari, itulah masamu. Kalau engkau digiring untuk lebih-lama dalam epistemology islam, tentu hasrat itu akan menggiringmu untuk lebih lama, lebih dalam, menggali keislaman. Menggali lebih, dan berdialektika dengan islam. Lebih lama. Dan waktumu akan lebih banyak, untuk kajian, untuk mengkaji dan realitasmu mungkin terkurangi, mungkin engkau akan mengerti tentang waktu. tentang efisien waktu. tentang pencarian yang terus menerus. Hingga akhirnya, engkau jenuh terhadap pencarianmu, lalu engkau mengalami ibadah yang terus menerus. Mungkin.
Kalau tidak, tetaplah menjadi manusia-biasa pada umumnya, syukurilah kalau engkau tergelorakan akan pencarian. Yang jelas, jangan lupakan tentang realitas. Pahamilah, ilmu islam itu selaras antara praktek dan pengetahuan. Praktek tanpa pengetahuan hampa, pengetahuan tanpa praktek adalah sesuatu dalam pikiran. Maka, nyatakanlah apa-apa yang engkau ketahui. Kalau engkau keberatan hal itu, maka geloramu itu diobat-abit angin. Bisa-bisa padam.
Pilihannya, sekarang padamu. Awalnya aku berkata, bahwa gelora di beri, ditetapkan, namun kalau engkau tidak ada daya dan upaya, maka engkau akan padam. Sebab belum saatnya engkau menerima kalimat, ‘diberi,’ ‘ditetapkan’.
Selamat berproses…
Tatkala engkau telah sampai pada masa itu, maka engkau termasuk dalam tataran gelora keilmauan. Menyantol itu pertanyaan itu, sebagaimana telah engkau kenali, adalah tentang sesuatu yang dikehendaki dan tidak bisa dilepas.
Suatu fakta, dulu, engkau termaktub pertanyaan yang tidak keluar jawabannya kan? tidak bisa dengan mudah pertanyaan itu puas dalam dirimu. Hingga pada akhirnya, dengan berjalannya waktu, pertanyaanmu perlahan-lahan tergerus dan dengan sendirinya luntur dari pikiranmu namun masih membekas, sampai sekarang. Jika sekali lagi kutanyakan, apa jawabanmu: maka engkau sendiri yang tidak puas dengan jawabanmu sekalipun engkau telah mengetahui jawabannya, dan hatimu puas dengan jawaban tersebut.
Namun engkau tidak memahami rangkaian-kalimat tentang jawabanmu. Oleh karenanya, engkau membutuhkan kitab demi kitab, atau buku demi buku, pendek kata, engkau membutuhkan referensi untuk mengungkapkan jawabanmu. Padahal engkau telah mengetahui bahwa jawabannya simpel. Namun seni dari kehidupan adalah prosesnya, Taufik. Proses itulah yang menjadikan manusia sebagai manusia.
Sekarang, engkau mulai membaca ranah-ranah filosof musilm, engkau membaca sekilas-sekilas tentang Ibnu Rusd, Abu Hamid, Al-Farabi. Engkau laksana berkitar-kitar mengawasi mereka, mengawasi pemikiran mereka, dan mengamati detail-detail, mengapa mereka melakukan hal tersebut? Engkau terpancing kuat denga hal itu, namun dirimu senantiasa berkata:
“Ternyata. Aku belum siap untuk membaca hal tersebut. Ternyata, untuk membaca tentang mereka membutuhkan proses yang tidak mudah. Membutuhkan proses yang tidak simpel. Jika tidak seperti itu, maka pembacaanku adalah sekedar pembacaan kosong, dan tidak ada ketertarikan sungguh untuk benar-benar membaca.
Benar-benar membaca yakni, sesuai dengan diriku, dan diriku yakin berkata: ya! Aku layak membaca. Rupanya, sekarang, diriku belum siap. Masih membutuhkan pengetahuan yang lebih untuk mengawasi mereka.
Memang, mengawasi permukaan adalah mudah. Membaca mereka, di zaman informasi ini, sangat mudah. Namun rasa cocok di dalam diri, inilah yang tidak mudah. Rasa cocok di dalam diri sangatlah tidak mudah. Mendadak saya disertai pertanyaan: Taufik, bagaimana engkau membuktikan bahwa allah itu ada? Jawablah dengan secermat-cermatnya, laiknya filsuf yang memberi alasan detail.
Oleh karenanya juga, aku membutuhkan data-data filsuf tentang analisis mereka tentang ‘allah’, tujuannya, tentu supaya saya paham dengan allah. Sebab allah itu adalah kunci tentang keislaman dan esensi dari keagamaan.”
Kalimat-kalimat itu menyerangmu, keras dan kasar. Setiap saat, saat kau menyendiri dan teringat akan teks ‘allah’ engkau langsung dibuai: ‘bagaimana engkau membuktikan bahwa allah itu adalah maha esa?’ dan sederet-deret kalimat lain tentang hal itu.
Engkau ingin membuang bahwasanya pertanyaan itu, tidak bisa dijawab dengan akal. Tapi engkau tidak bisa melepaskan keakalanmu. Engkau tidak bisa melepaskan tentang pemikiranmu. Tentang bagaimana engkau berpikir. Engkau berada dimasa galau yang super.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyarankanmu untuk lebih banyak banyak. Lebih banyaklah membaca. dari pembacaanmu itu, kelak, akan menghasilkan efek-efek dari pembacaan. Tujuannya, tentu untuk lebih meringkankan jawabanmu itu.
Sebab kenalilah, pertanyaanmu itu, adalah pertanyaan kuno, yang telah dijawab oleh filosof muslim. Telah ditelaah dengan cermat oleh para filosof. Dan aku tidak menyalahkan dirimu, mengapa engkau mendapati pertanyaan tentang hal itu.
Ketahuilah, bahwasanya tidak semua orang mendapatkan pertanyaan itu dan terngiang didalam dirinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu: pikir mereka, tinggal membaca apa-apa yang telah dipaparkan oleh ahli ilmu kalam. Pikir mereka, tinggal membaca dan meniru orang-orang yang telah memberikan jawaban terhadap itu.
Sekarang taufik, untuk menjadi ‘mereka’ itu, ada prosesnya, ada prosesnya, yakinilah bahwasanya mereka juga pada mulanya melalui apa yang sekarang engkau lalui, hingga pada akhirnya, tatkala realitas atau dunia-nyata berkata lain, maka mereka lebih memilih untuk menerima jawaban yang telah dipaparkan.
Pikir mereka, sudahlah jangan lebih lama membahas tentang itu, lebih baik memandangnya sebagai realitas, kanjeng nabi membawakan ‘Allah’ dengan mudah, yakni, Tuhan Yang Absolut. Kenanglah surat al-ikhlas. Dan Allah yang real buat mereka, yakni yang menciptakan langit dan bumi, juga yang menciptakan manusia. Lalu dijelaskan dengan surat-surat seperti al-alaq dan lain-lainnya.
Allah adalah yang menciptakan. Sesimpel itu. manusia melakukan sesuatu, Allah menguasai. Manusia melakukan sesuatu, Allah memutuskan. Manusia berusaha, Allah yang mempunyai ketetapan.
Namun, untuk mendapatkan itu, manusia membutuhkan proses, Taufik. Jika sekarang engkau merasakan ingin dan berhasrat ingin mencari, itulah masamu. Kalau engkau digiring untuk lebih-lama dalam epistemology islam, tentu hasrat itu akan menggiringmu untuk lebih lama, lebih dalam, menggali keislaman. Menggali lebih, dan berdialektika dengan islam. Lebih lama. Dan waktumu akan lebih banyak, untuk kajian, untuk mengkaji dan realitasmu mungkin terkurangi, mungkin engkau akan mengerti tentang waktu. tentang efisien waktu. tentang pencarian yang terus menerus. Hingga akhirnya, engkau jenuh terhadap pencarianmu, lalu engkau mengalami ibadah yang terus menerus. Mungkin.
Kalau tidak, tetaplah menjadi manusia-biasa pada umumnya, syukurilah kalau engkau tergelorakan akan pencarian. Yang jelas, jangan lupakan tentang realitas. Pahamilah, ilmu islam itu selaras antara praktek dan pengetahuan. Praktek tanpa pengetahuan hampa, pengetahuan tanpa praktek adalah sesuatu dalam pikiran. Maka, nyatakanlah apa-apa yang engkau ketahui. Kalau engkau keberatan hal itu, maka geloramu itu diobat-abit angin. Bisa-bisa padam.
Pilihannya, sekarang padamu. Awalnya aku berkata, bahwa gelora di beri, ditetapkan, namun kalau engkau tidak ada daya dan upaya, maka engkau akan padam. Sebab belum saatnya engkau menerima kalimat, ‘diberi,’ ‘ditetapkan’.
Selamat berproses…
Belum ada Komentar untuk " Nasihat: GELORA KEILMUAN "
Posting Komentar