Tentang Guru (bagian 2)
Kamis, 29 Desember 2016
1 Komentar
Saya ditekan dengan kalimat sederhana: kamu harus ngajar! Bagikan ilmumu. Kata orang-orang di sekitarku. Mendadak saya menjadi orang peragu, sangat ragu, bahkan kualitas ilmuku, yang kalau dipikir-pikir, sebenarnya cukuplah kalau mengajar kelas-kelas tingkat SMP atau SMA atau SD. Akhirnya saya berpikir: karena tidak mau mengajar, maka saya harus diajar.
Dan saya memilih Pak Guru—sebuah istilah yang melekat padaku, dia adalah Mashudi Al-Jilani, Kiai kampong di desa, berpakaian ala Kiai, sentiasa bersikap layaknya Kiai, dan aku lebih memilih kepadanya: kenapa dia? Karena dia dekat. Kenapa dia? Karena dia penyembunyi—inilah sosok yang sering saya banggakan tatkala menjadi guru, dia mengajariku dengan sabar, dia mengajariku sangat pelan, sangat hati-hati, terlebih lagi sangat disiplin, jarang sekali dia absen: dia membacakan tentang kitab fikih. Dan saat bersamanya, hawa untuk praktek fikih kuat sekali, hawanya senantiasa menuntutku untuk menjalankan, walau faktanya, bibir beliau senantiasa diam. Tidak menuntut. Tidak berkata apa-apa.
Sekedar membacakan kitab.
Di bacakan kitab.
Di nasihati kitab.
Dan saat awal-awal mengaji dengannya, saya sering bertanya (masih terbawa hawa-tanya dan olah pikir yang diberikan Haidar Buchori: sebab saya tidak lepas komunikasi dengan beliau. Tidak lepas. Entah mengapa dengan begitu ringan saat berkomunikasi dengannya. Tanpa ada aling-aling kata-kata. Transparan. Sampai-sampai, mengerti jadwalnya. Paham kegiatannya) setiap mengaji, bertanya. Setiap mengaji bertanya. Beliau, Pak Guru, berbeda dengan Haidar Buchori, tatkala ditanya, menjawabnya simpel. Dan saya selalu tidak terpuaskan, malah menciptakan hawa pertanyaan yang lain.
Setiap pertemuan bertanya.
Setiap pertemuan bertanya.
Setiap pertemuan tidak ada kepuasan.
Saya semakin liar bertanya.
Entah mengapa, saat itu, saya tidak mengajuhkan Tanya kepada Haidar-Buchori, saat itu rasa rindu itu memudar untuk bertanya dengan Haidar Buchori, karena jawaban beliau, mendadak berubah, menjadi jawaban yang ringkas dan tepat sasaran. Saat mendengar jawaban, Haidar Buchori, saya menerima, namun saat proses mengaji lalu muncul lagi pertanyaan yang baru. Mendadak dengan mudah saya kucurkan pertanyaan buat Pak Guru.
Pak guru menjawab. Aku bertanya lagi.
Pak guru menjawab. Aku bertanya lagi.
Dijawab. Aku dapat pertanyaan baru lagi.
Entah mengapa, setiap jawaban yang diberikan Pak guru memancingku, dengan mudah, mendapatkan pertanyaan baru. Terlebih lagi, saat aku mengeluarkan-suara kalimat Tanya, disaat itu, saya menemukan jawaban, dan dari jawaban itu, saya mendapatkan bahan tambahan pertanyaan. Telah dipancing untuk bertanya, ditambah kalimat-tanya lagi. Tambahlah saya semakin bertanya.
Berhari-hari saya bertanya. Berhari-hari selalu saja mendapatkan kalimat Tanya. Bahkan saya sendiri pun merasa heran: mengapa hal itu bisa mencuat? Mengapa? Dan kalimat itu, tidak bisa terjawab.
Berjalannya waktu, saya harus menahan kalimat Tanya. Itu godaan. Terlebih lagi, seringkali beliau berkata: jangan banyak bertanya, belajar saja. masih banyak bumbu-bumbu yang harus dipenuhi. Parahnya lagi, jawaban beliau selalu tidak memuaskan apa yang kutanyakan, malah menimbulkan pertanyaan yang baru, baru dan lagi. Akhirnya saya memilih diam. Diam yang super. ‘Jarang’, malah hamper tidak pernah berkomunikasi dengannya. Sering malu kalau bertemu dengannya. Sering malu kalau dia mengetahui aktifitasku. Sering malu kalau dia melihatku. Walau pada dasarnya, saya sangat ingin melihatnya, dan berinteraksi dengannya: sayangnya, seakan beliau selalu menjawab:
untuk apa?
untuk apa?
Untuk apa?
Sejak saat itu, sesuatu terjadi kepadaku, tatkala beliau membacakan kitab ‘hadist’, pikiranku berfantasi tentang kronologi hadist, tentang kejadian-kejadian di era 700 Masehi. Pemikiranku lebih riuh dari sebelumnya. Bergentayangan tentang imajenasi tentang pengetahuan demi pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuanku bertaut-taut satu sama lain: kisah-kisah al-quran bergentayang, sosok Kanjeng Nabi diterka-terka, sosok-sosok yang lain diterka-terka dengan gaya setidaknya seperti orang-orang jazirah arab. Yang lebih hebohnya lagi, saya merasa ditekan dengan kalimat, ‘laksanakan ilmumu’ ‘laksanakan!” “Belajarlah!” kalimat-kalimat itu memacuku.
Tiada jawaban yang pasti kecuali saya memastikan katanya itu. Kalau tidak, ketiga kalimat itu, malah berintonasi semakin seram. Semakin galak. Padahal, realitasnya, beliau tidak berkata apa-apa. Beliau tidak bicara apa-apa.
Kemudian kami harus berpisah. Karena jarak menjadikan rindu, itulah tambahan rindu yang aneh menyelimutiku. Karena statusnya saya masih dekat dengan beliau, maka saya sering berinteraksi dengannya. Di kampus, saya mengkaji pemikiran-pemikiran, di rumah saya mengkaji praktek-praktek agama islam.
Dan melalui keduanya, saya laksana dihantarkan kepada jalur-jalur islam yang ‘indah’: jalur yang harus melalui dirinya. Tidak bisa tidak, harus melalui dirinya. Tatkala aku memanuti Kiai yang lain, maka pasti teringat di antara keduanya: kalau tidak Haidar Buchori, maka Mashudi al-Jailani.
Bagiku, mereka adalah guru yang menginspirasi untuk lebih mengenalkanku kepada guru-guru yang lain, yang kemudian akan kembali lagi kepadanya.
Jika kau bertanya, “Mengapa selalu kembali padanya?”
Jawabku, karena dia yang selalu cocok buatku.
Jika kau bertanya, “Bukankah masih banyak guru yang lain?”
Jawabku, aku tahu masih banyak guru yang lain, dan saya juga mengidolakan mereka, namun bagi kapasitasku, semakin lama saya meniru guru yang lain, saya semakin sulit menerapkan, karena bagiku yang mudah dituruti adalah dari keduanya. Sebuah contoh: saya tahu bahwa Haidar Buchori adalah muridnya Mbah Maimun Zubair Sarang. Saya pun memuliakan beliau, namun tatkala saya ikuti beliau, saya pikir tidak cocok buatku. Kurang sreg denganku. Guruku, Haidar Buchori, tentu cocok dengannya, tapi saya tidak. Saya cocoknya dengan Haidar buchori.
Katamu, “Jadi kamu mengklaim bahwasanya guru itu cocok-cocokan, kalau ini tidak cocok maka cari yang lain. Kalau tidak cocok lagi, maka cari yang lain lagi, begitu?”
Jawabku, jangan salah tanggap. Ketahuilah, saya itu tidak memilih untuk berguru pada awalnya, saya dipertemukan. Setelah saya bertemu, lalu saya ‘digiring’ untuk ditemukan guru yang membahas tentang keilmuan, dialah Pak Guru.
Jika kau bertanya, “Di antara kedua gurumu itu, mana yang paling istimewa?”
Jawabku, saya akan menjawab dengan kalimat dan kamu yang memutuskan, yakni “Pemikiran tanpa pelaksaan, angan-angan. Pelaksaan tanpa pemikiran, asal-asalan.” Menurutmu, mana yang lebih istimewa?
keren mas artikelnya
BalasHapus