Tentang Istilah ‘God is Dead’ Nietzsche


Saya selalu menganggap istilah ‘God is Dead adalah istilah positif, bahkan sebelum saya lebih lanjut membaca tek-teks tentang uraian ‘God is Dead’, di dalam pikiran saya selalu tertampang begini:

Bukan tuhan yang absolut yang mati, tapi orang-orang telah membunuh tuhan di dalam dirinya, sehingga dia tidak menjalankan apa-apa yang diperintahkan tuhan. Manusia telah sibuk dengan kemanusiaannya. Telah sibuk dengan sistem-sistem yang telah dibuat manusia. Manusia lalai dengan apa-apa yang diperintahkan agama, manusia menjelma rakus dan ambisius, rebutan dan serakah, seolah-olah dia tidak memahami bahwa Tuhan adalah yang menciptkan semesta raya. Manusia persis buta dengan istilah itu, namun sayang, manusia tidak sepenuhnya layak untuk dikatakan buta, karena ada sebagian yang benar-benar taat. Namun budaya populer lebih condong kepada sana. Data-data ilmiah, pengetahuan sains, menjadikan manusia lalai terhadap sesuatu yang disebut dengan tuhan. Lebih baik dinyatakan bersama: Tuhan telah mati.

Bukankah dengan klaim Tuhan telah mati menjadikan kita manusia-manusia bebas dari hukum agama? bukankah itu lebih baik daripada kita menodai tentang keagaaman dan atas nama kemanusiaan universal? Oleh karenannya, jadilah manusia yang sakti. Manusia yang mampu bertahan di dunia yang seperti sekarang ini: nilai moralitas tidak karuan-karuan. Malah bahkan tidak begitu diperdulikan. Itulah alasan mengapa dia tuliskan tentang moralitas, karena sebenarnya dia perhatian dengan sesuatu yang bernama moralitas.

Lalu berakhir dengan ajaran-ajaran tentang unsur kemanusiaan. Tentang banyak hal, dari karakteristik penyair atau pengembara, dengan nada-nada puitis atau permainan kata-kata, karena dengan mengembera akan mengerti bagaimana penampakan-penampakan tentang kemanusiaan. Itulah zarathustra, dan selanjutnya, dia bertapa lagi. Lalu mengembara lagi.

Menjelma sosok layaknya socrates, mengajak dialog masyarakat, namun hal itu menyerupai teks: tentu kalau nietzsche mengikuti pola socrates tidak sepenuhnya benar, karena dia juga mempublikasn teks, maka dia juga terpengaruh dengan plato.

Apa yang dicita-citakan Nietzsche dengan membunuh Tuhan? Yakni menjadi Nabi baru, yang bersumber pada pengalamannya, menjadikan nabi baru yang mengjarkan tentnag moralitas. Moralitas yang sesuai dengan zamannya.

Dan sesungguhnya apa-apa yang ditawarkan nietzche memang tidak seusai dengan realita. Dalam hal ini status Nietzche layaknya socrates, mengetuk kesadaran, selanjutnya layaknya Plato, menggunakan metode dialog untuk menyampaikan maksudnya.

Apa maksud dari Nietzche sesungguhnya? Yakni perbaikan moralitas yang telah ada dengan landasan, bahwa Zarathustra telah mengajarkan moralitas tersebut. Pendek kata, orang-orang akan mempercayai zarathustra, dan akan mengikuti ajarannya. Persis layaknya seorang nabi.

Sayangnya hal itu tida terwujud. Hal itu sekedar menjadi issue atau kabar berita. Tidak terjadi secara realitas. Andai kata, mungkin, kalau saat itu, respon masyarakat menerima baik tentang nietzsche, dan selanjutnya nietzsche menjadi pembicara filsafat dimana-mana. Kalau populer saat itu terjadi pada tubuh nietzche, tentu dia akan menjadi laksana khotib yang sedang berkhotbah, dan tentu akan menyampaikan kegalauan.

Dan kalau karya-karyanya sampai menemubus seluruh bangsa, dan sangat populer, dari semua kalangan. Dan disini, nietzsche akan menjadi sesautu yang normal dan akan mengajarkan tentang kebaikan-kebaikan. Yang selanjutnya, kebaikan demi kebaiakan keluar dari mulutnya. Karena tujuan dasar agama adalah baik.

Kalau orang-orang memahami ‘tuhan masih hidup’ baiknyalah mereka mematuhi dan takut bahwasanya tuhan masih hidup. Tujuannya, moral yang baik.

Ingat, Tuhan masih hidup...

Belum ada Komentar untuk "Tentang Istilah ‘God is Dead’ Nietzsche "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel