Surat Buat Guru: Teks-Shalat Dan Aktivitas-Shalat
Senin, 19 Desember 2016
Tambah Komentar
Saya baru menyadari, bahwa orang-orang beragama, guru-guru beragama, orangnya pasti hebat-hebat. Mereka mengenal jelas tentang makna-makna teks dalam shalat. Shalat baginya adalah pusat pengetahuan yang awalnya bersarat tentang pemikiran; detail-detail tentang pengetahuan yang mereka dapatkan dari belajarnya. Semakin mereka belajar, shalatnya semakin banyak merenungkan tentang sesuatu yang berada didalam teks, atau sesuatu di balik teks, atau sesuatu yang tersimpan di dalam teks.
Saya baru menyadari, bahwa shalat itu sarat akan makna-makna teks, yang merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan yang lain. Pertama-tama, mereka hapal makna teks. Kemudian, mengetahui makna teks. Selanjutnya, memahami makna teks.
Teks bagi orang yang shalat memerlukan pemahaman. Dan orang yang tidak memahami makna teks, harusnya mengejar makna shalat. Selanjutnya, shalatnya bertalian dengan pemaknaan teks.
Itulah mengapa, betapa hebatnya sebuah hadist yang berarti, belajarlah, belajarlah.
Setiap muslim diwajibkan belajar. Karena belajar tidak akan ada habisnya.
Tentang shalat memang perkara yang berada di dalam. Tentang pemaknaan individu kepada apa yang dikatakan. Tentang apa yang dikerjakan.
Mungkin, kurang tepat kalau tidak mengetahui apa yang dikatakan, kurang tepat kalau tidak memahami apa yang dikerjakan. Karena alasan kemudahan berislam, maka tidak-salah orang yang shalat sekedar shalat. Yang pasti menjalankan shalat, soal dia tidak mengetahui makna-makna shalat itu adalah perkara lain.
Itu perkara nanti yang bakal diajarkan. Perlahan-lahan.
Sebab tujuan akhir dari pemaknaan teks shalat, berguna untuk memahami ke ber-agama-an tersebut. Memahami ke ber-agama-an individu. Kalau tidak seperti itu, maka shalatnya sekedar shalat.
Shalat sekedar menjalani sesuatu yang disebut shalat. Maka harusnya orang terus menerus belajar.
Namun, sekarang saya memahami, bahwa tentang hal-hal diatas ditunjukan kepada orang-orang yang statusnya belajar. ataukah hal-hal diatas layak diumumkan?
Saya berpikir, kalaulah hal-hal diatas tidak layak diumumkan kecuali umum buat para pelajar. Umum buat orang-orang yang lebih dalam mengenal keagamaan. Para pelajar semestinya mengalami hal tersebut.
Saya berpikir, banyak santri yang mengalami hal tersebut: kalaulah mereka menyangkal apa yang kukatakan, maka mungkin, mereka tidak melaksanakan tiap-tiap yang dia dapatkan dari pelajarannya. Sebab pelajaran akan menetap kalau diamalkan.
Bagi para yang belajar konsentrasi dengan bahasa arab, atau ilmu nahwu dan shorof, maka mereka bisa mempraktekkan dengan cara menerapkan keilmuannya di dalam shalat. Mungkin, katanya, belajar Nahwu dan Shorof gunanya untuk membaca kitab: namun itu juga mampu diterapkan dalam keadaan shalat.
Ah mungkin saya terlalu memihak atau mengunggulkan satu dengan nama shalat. Atau cerita besar-besaran terhadap sesautu yang disebut shalat, bahwasanya shalat itu harus dipahami. Shalat itu harus paham dengan shalat.
Saya berpikir, bahwa apa yang saya sampaikan, adalah apa yang saya alami. Itu memang perkara yang berat. Mungkin memberatkan agama. Lebih menteoritiskan kan tentang agama. Bahkan shalat diteoritiskan lebih lanjut.
Jawabku, “Bukankah sesungguh shalat adalah sarat akan teoritis keislaman?”
Pikiran saya, jika itu memberatkan saya, maka saya anggap biasa saja apa yang menyerbu pemikiran saya. Saya berpikir shalat bukan sekedar merenungkan tentang sesuatu yang berada di dalam shalat. Namun ada sesuatu yang lain di luar waktu pelaksanaan shalat.
Ada wudhu sebelum melaksanakan shalat.
Ada pekerjaan setelah melakukan shalat.
Ada pelajaran yang lain yang perlu dihapal dan bakal dinilai.
Shalat adalah sesuatu yang lain, tentang kepercayaan kepada Allah, yang mungkin tidak diupah secara terang-terangan. Namun kalau ingin memahami bagiamana sesungguhnya shalat, maka perlu mengerti tentang hal yang saya sebutkan.
“Apakah teks-shalat lebih utama dibanding aktifitas-shalat?”
Saya berpikir, kalau teks lebih diunggulkan di dalam shalat, maka saya memberatkan orang-orang lain untuk melaksanakan aktifitas-shalat. Aktifitas-shalat, adalah gerak-gerik jasad yang menyerahkan kepada sesuatu yang maha segala, dialah Allah, yang mengusai semesta raya. Gerak-gerik lebih diutamakan, karena untuk memahami shalat harus memahami bahasa arab. Dan orang yang bukan arab, tentu akan keberatan kalau-kalau harus memahami bahasa arab secara langsung, terlebih lagi, bahasa yang digunakan shalat harus menggunakan bahasa arab.
Tujuannya, bahasa arab, teruntuk kesatuan, penganut agama islam. Sehingga tidak ada yang bisa mengurangi atau menambahi teks-shalat. Oleh karenanya, seorang muslim, diajari tentang makna shalat, namun penekanannya tetap pada aktifitas-shalatnya, dengan harapan: lilahitangala. Shalat karena allah. Jangan beratkan shalat dengan alasan shalat menggunakan bahasa arab.
Dan kedatangan saya kepadamu, tentu, menyerahkan apa yang terpikirkan olehku, yang sulit diungkap tatkala mengaji secara langsung. Mungkin ini salah, tapi bagiku lebih salah kalau saya memendam itu di dalam pikiranku. Hal itu menjadi sesuatu yang tambah berat bagi diriku.
Mohon restu dan restunya…
Saya baru menyadari, bahwa shalat itu sarat akan makna-makna teks, yang merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan yang lain. Pertama-tama, mereka hapal makna teks. Kemudian, mengetahui makna teks. Selanjutnya, memahami makna teks.
Teks bagi orang yang shalat memerlukan pemahaman. Dan orang yang tidak memahami makna teks, harusnya mengejar makna shalat. Selanjutnya, shalatnya bertalian dengan pemaknaan teks.
Itulah mengapa, betapa hebatnya sebuah hadist yang berarti, belajarlah, belajarlah.
Setiap muslim diwajibkan belajar. Karena belajar tidak akan ada habisnya.
Tentang shalat memang perkara yang berada di dalam. Tentang pemaknaan individu kepada apa yang dikatakan. Tentang apa yang dikerjakan.
Mungkin, kurang tepat kalau tidak mengetahui apa yang dikatakan, kurang tepat kalau tidak memahami apa yang dikerjakan. Karena alasan kemudahan berislam, maka tidak-salah orang yang shalat sekedar shalat. Yang pasti menjalankan shalat, soal dia tidak mengetahui makna-makna shalat itu adalah perkara lain.
Itu perkara nanti yang bakal diajarkan. Perlahan-lahan.
Sebab tujuan akhir dari pemaknaan teks shalat, berguna untuk memahami ke ber-agama-an tersebut. Memahami ke ber-agama-an individu. Kalau tidak seperti itu, maka shalatnya sekedar shalat.
Shalat sekedar menjalani sesuatu yang disebut shalat. Maka harusnya orang terus menerus belajar.
Namun, sekarang saya memahami, bahwa tentang hal-hal diatas ditunjukan kepada orang-orang yang statusnya belajar. ataukah hal-hal diatas layak diumumkan?
Saya berpikir, kalaulah hal-hal diatas tidak layak diumumkan kecuali umum buat para pelajar. Umum buat orang-orang yang lebih dalam mengenal keagamaan. Para pelajar semestinya mengalami hal tersebut.
Saya berpikir, banyak santri yang mengalami hal tersebut: kalaulah mereka menyangkal apa yang kukatakan, maka mungkin, mereka tidak melaksanakan tiap-tiap yang dia dapatkan dari pelajarannya. Sebab pelajaran akan menetap kalau diamalkan.
Bagi para yang belajar konsentrasi dengan bahasa arab, atau ilmu nahwu dan shorof, maka mereka bisa mempraktekkan dengan cara menerapkan keilmuannya di dalam shalat. Mungkin, katanya, belajar Nahwu dan Shorof gunanya untuk membaca kitab: namun itu juga mampu diterapkan dalam keadaan shalat.
Ah mungkin saya terlalu memihak atau mengunggulkan satu dengan nama shalat. Atau cerita besar-besaran terhadap sesautu yang disebut shalat, bahwasanya shalat itu harus dipahami. Shalat itu harus paham dengan shalat.
Saya berpikir, bahwa apa yang saya sampaikan, adalah apa yang saya alami. Itu memang perkara yang berat. Mungkin memberatkan agama. Lebih menteoritiskan kan tentang agama. Bahkan shalat diteoritiskan lebih lanjut.
Jawabku, “Bukankah sesungguh shalat adalah sarat akan teoritis keislaman?”
Pikiran saya, jika itu memberatkan saya, maka saya anggap biasa saja apa yang menyerbu pemikiran saya. Saya berpikir shalat bukan sekedar merenungkan tentang sesuatu yang berada di dalam shalat. Namun ada sesuatu yang lain di luar waktu pelaksanaan shalat.
Ada wudhu sebelum melaksanakan shalat.
Ada pekerjaan setelah melakukan shalat.
Ada pelajaran yang lain yang perlu dihapal dan bakal dinilai.
Shalat adalah sesuatu yang lain, tentang kepercayaan kepada Allah, yang mungkin tidak diupah secara terang-terangan. Namun kalau ingin memahami bagiamana sesungguhnya shalat, maka perlu mengerti tentang hal yang saya sebutkan.
“Apakah teks-shalat lebih utama dibanding aktifitas-shalat?”
Saya berpikir, kalau teks lebih diunggulkan di dalam shalat, maka saya memberatkan orang-orang lain untuk melaksanakan aktifitas-shalat. Aktifitas-shalat, adalah gerak-gerik jasad yang menyerahkan kepada sesuatu yang maha segala, dialah Allah, yang mengusai semesta raya. Gerak-gerik lebih diutamakan, karena untuk memahami shalat harus memahami bahasa arab. Dan orang yang bukan arab, tentu akan keberatan kalau-kalau harus memahami bahasa arab secara langsung, terlebih lagi, bahasa yang digunakan shalat harus menggunakan bahasa arab.
Tujuannya, bahasa arab, teruntuk kesatuan, penganut agama islam. Sehingga tidak ada yang bisa mengurangi atau menambahi teks-shalat. Oleh karenanya, seorang muslim, diajari tentang makna shalat, namun penekanannya tetap pada aktifitas-shalatnya, dengan harapan: lilahitangala. Shalat karena allah. Jangan beratkan shalat dengan alasan shalat menggunakan bahasa arab.
Dan kedatangan saya kepadamu, tentu, menyerahkan apa yang terpikirkan olehku, yang sulit diungkap tatkala mengaji secara langsung. Mungkin ini salah, tapi bagiku lebih salah kalau saya memendam itu di dalam pikiranku. Hal itu menjadi sesuatu yang tambah berat bagi diriku.
Mohon restu dan restunya…
Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Teks-Shalat Dan Aktivitas-Shalat "
Posting Komentar