Surat buat guru: Tentang Sejarah Pengetahuan Indonesia


Saya membuka sekitar di zaman 1968, zaman disaat orang ayahku berusaha menukarkan padi dengan uang, di kecamatan pardasuka: padinya bertumpuk-tumpuk namun baginya padi laksanat tidak punyaa nilai lebih kecuali untuk dimakan.

Uang baginya tidak begitu berharga, hari-harinya sibuk dengan menjalani waktu demi waktu demi waktu, dari waktu itu, maka beliau tidak begitu memikirkan uang. Uang memang penting, namun hidup dengan bisa makan adalah cukup. Dan pendidikan, memang penting, untuk menjadikan pandai.

Namun sejarah telah mencatat, eropa, dengan pendayaan akalnya—sebut sains – sekarang, beralih dari zaman modern menjadi zaman postmodern. Apa itu postmodern? Yakni zaman karena efek-efek dari modern. Apa itu efek dari modern? Yakni melejitnya pengetahuan-pengetahuan ilmiah, manusia gencar belajar, dan manusia menciptakan alat-alat teknologi, berguna bagi kelangsungan hidup manusia, berguna untuk mempermudah kehidupan manusia. Karena sibuknya itu, sibuknya sains, orang-orang menjadi individu, dan dunia menjadi carut-marut karena teknologi, dunia menjadi keterbukaan secara menyeluruh: sependek kata, zaman modern adalah zaman pendewaan rasio, pendewaan akal. Efeknya, kebebasan individu, kebebasan berpikir, kebebasan dan individualis tingkat tinggi, dan bisa jadi orang-orang menjadi saling pamer, dan orang-orang menjadi sombong, karena temuan-temuannya.

Menjadi sombong, wajar, karena mereka telah berusaha untuk mendapatkan apa yang selama ini mereka perjuangkan. Pamer adalah kawannya. Sikap egoisme tentu seperangkatnya. Dan pemikir, filsuf zaman itu, menyebutnya zaman ini adalah zaman postmodern: yakni zaman setelah suksesnya modern. Efek-efeknya yang sekarang terang, tentu, seperti teknologi, televise, handphone, gadget dan internet.

Orang-orang mulai menjadi kaum konsumeris, kaum kepemilikian, inginan: dan zaman postmodern, mengkritik tentang orang-orang seperti itu, tujuan kritik tentu untuk mengupayakan kehidupan yang lebih manusia. Dibilang, orang-orang modern, melampaui kemanusiaannya, dan orang-orang postmodern berharap mengajuhkan saran untuk menjadi manusiawi. namun, itu adalah sekedar isu, untuk menjadikan manusiawi.

Zaman modern telah terjadi. Zaman modern masih berlangsung. Kelak, bisa jadi, menjadi zaman komputerisasi. Orang-orang sibuk, lebih sibuk dengan zaman komputerisasi, dan orang-orang yang tidak bisa bekerja di depan computer adalah pelangkap dan menjadi konsumen untuk apa-apa yang ditawarkan dari computer.

Mau tidak mau, computer mewabah di Indonesia! Hal itu terjadi, wajar. Sangat. Karena kecanggihan teknologi, kecanggihan informasi orang-orang menerima gampang pemberitaan isu dunia.

Kiblat dunia selalu kepada eropa. Karena eropa senantiasa mementingkan sesuatu yang namanya, dunia. Ukuran tersebut adalah sains. Dengan sains maka orang-orang akan maju.

Bibit-bibit sains telah mencuat sejak abad pertengahan—sebenarnya, bibit sains telah ada sejak zamannya Socrates, Plato dan Aristoteles—pemikir seperti Galileo Galile membuat geger orang-orang gerejawan. Kenalilah, bahwa pada abad pertengahan, dengan segala konfliknya, agama berkuasa, sayangnya agama disetel oleh kekuasaan. Agama disetel oleh pemerintahan. Sehingga, agama benar-benar menentang sesuatu yang namanya akal. Sementara akal, penggunaan akal, adalah sangat manusiawi. Sangat manusiawi. Akhirnya, karena tidak menerima pendapat Galileo, dia di bunuh. Itulah kekuasaan.

(Sesungguhnya, saya mau menyampaikan tentang pengetahuan yang bersarang di tubuh Indonesia, namun prosesnya harus melalui barat (eropa) lalu ke timur (Arab-india-cina), karena dari barat melesatnya teramat cepat, sebab orientasi barat, telah saya sebutkan, dunia dan sains.)

Selanjutnya, pada masa sesudah masehi, orang-orang hindu datang ke nusantara—masa itu, masih masanya kerajaan, statusnya kerajaan—saya tidak mengetahui secara pasti tentang bagaimana proses hindu, namun diindikasikan hindu berjaya di nusantara, namun penting dikabarkan, bahwasanya ajaran hindu juga tidak begitu menekankan tentang sesuatu yang disebut dunia. Terlebih lagi, agama hindu, kemudian berproses dan ada Nabinya (bahasa mudahnya untuk menyebutkan Sindrata Gautama) Budha. Beliaulah yang menyebarkan. Mari sejenak ingat tentang sosok Budha, dia adalah anak kerajaan yang merasa jenuh dengan kehidupan kerajaan lalu dia bermeditasi, menyepi, lalu mendapatkan pencerahan. Ia mempaparkan tentang keakhiratan dan sifat-sifat dunia, namun cenderung ajarannya adalah tentang kebaikan, dan cocok untuk orang-orang yang berstatus mapan, seperti orang-orang nusantara—Manusia nusantara, seringkas kata, adalah manusia yang mapan karena keberlimpahan alamnya.

Agama hindu-budha diterima dengan lapang oleh kerajaan-kerjaan nusantara. Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun manusia nusantara memeluk agama hindu-budha, lalu saat islam hadir, sekitar tahun 700 Masehi (Saya tidak bersibuk dengan debat kapan islam masuk di Indonesia), islam masuk berbagai cara dengan mengajarkan secara kelenturan.

Kalau dipertimbangkan, kalau dipikir-pikir, maka tekanan agama islam dan agama hindu-budha tidak jauh berbeda, dan yang paling mencolok perbedaannya adalah adanya wudhu dan shalat. Kedua obejek itu menjadikan agama islam yang sangat istimewa dan mengikat.

Islam mengajarkan secara lentur.

Hingga kemudian, islam masuk ke tubuh politik, kerajaan-kerajaan. Di saat itulah islam semakin berkuasa, islam semakin meluas. Cakupannya semakin lebat dan drastis.

Selanjutunya, masa era colonial, masa-barat mulai melesat dengan modern, melejitnya sains. Seringkas kata, manusia-eropa mulai bersinggah di pulau nusantara, mereka menawarkan budaya baru, bila pun tidak menawarkan, mereka melangsunkan budayanya di Indonesia, dengan cara, tentunnya berdialog dengan orang-orang yang memang kerjaannya minim, yakni orang-orang pembesar negeri layaknya raja-raja.

Mereka interaksi. Mereka melalukan dialog—ingatlah, sejarah pengetahuan lahir karena adanya dialog, omong-omong, pembicaraan, dan itu berpusat pada Negara yunani.

Seringkas kata, belada telah datang. Belanda membuat sekolahan. Orang-prang yang mapan, kaum priyayi sekolah. Kaum priyayi mengenal huruf-huruf capital. Huruf-huruf latin. Dan orang-orang akan dikatakan goblok kalau tidak bisa membaca huruf-latin. Sementara tradisi orang nusantara adalah belajar tentang huruf-huruf kawi dan huruf-huruf arab.

Zaman infomasi melejit. Kebutuahan materi melejit. Orang-orang berkiblat pendidikan kepada eropa. Gencar terhadap pengetahuan, dan masih didominasi yang dikatakan pandai adalah orang-orang yang mempunyai pemahaman tentang pengetahuan eropa, sebab tawaran yang diajuhkan oleh pengetahuan eropa adalah materi. Dan kelengkapan materi selanjutkan aakan didayakan untuk mengosumsi temuan-temuan orang barat.

Sementara di tahun 1970, orang-orang kecamatan Pardasuka masih banyak buta huruf latin, tapi tidak buta terhadap kawi dan arab. Semakin tatanan pemerintahan memperkokoh, undang-undang pendidikan yang bersains melejit. Menyamaratakan kemanusiaan: tujuannya memang mempercerdas kamunisaan. Manusia Indonesia.

Hasilnya, sekarang, mereka harus mengalami derasnya informasi, derasnya pengetahuan yang dimiliki anaknya, pengatahuan yang dimiliki anak, sebenarnya anak-anak masih minim pengetahuan. Zamannya saja yang melejit. Penampakannnya saja yang terkesan indah.

Begitulah uraian ringkas tentang pengetahuan Indonesia.

Mohon doa dan restunya…

Belum ada Komentar untuk " Surat buat guru: Tentang Sejarah Pengetahuan Indonesia "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel