Surat Buat Guru: Tentang Sejarah Membaca


Dalam perjalanan waktuku, manusia Indonesia, minim sekali membaca kecuali membaca yang namanya kitab, jarang sekali membaca buku. Kitab terasa akrab dan bersahabat buat aku, manusia Indonesia, karena sejak dini di ajari alip-bak-tak, dengan durasi waktu yang lama, mulai dari sore, sampai habis magrib, selain itu bermain, dan paginya sibuk dengan aktivitas bermain:

(Orang-orang dulu sibuk dengan bertani, dan bekerja petani aktifitas tubuh bekerja total, langkahnya banyak, setiap petak bisa diputar berkali-kali, kalaulah dihitung langkahnya maka langkah kaki para petani setiap hari melampaui seribu langkah, belum lagi tubuhnya disengat panas. Udara adalah biasa. Angin adalah biasa. Dan dengan aktifitas itu menjadikan tubuhnya terasa lelah, letih, lesu, dan saat malam tiba, rasanya ingin mengamburkkan diri, dan terlelap. Syukur-syukur kalau belajar agama.

Agama adalah nomer dua. Kebutuhan pokok adalah yang utama. Kebutuhan pokok tentu mencukupi tentang kehidupannya, sementara agama adalah peraturan akan norma-norma kehidupan. Tatkala orang melanggar norma, kalau tidak mempunyai kebutuhan pokok, maka hidupnya akan kewalahan. Para pengajar agamalah yang menomer satukan agama: para pengajar agama menjadikan dirinya laksana cermin untuk etika rakyat yang mendominasi petani.

Tatkala panen, tiba, para pengajar agama dibagikan hasilnya. Entah itu lewat shodaqoh atau pembayan karena mengajar. Atau pemberian zakat. Terhadap rezeki yang diterima petani itu. para agamawan sibuk membaca, sibuk belajar, bertani pun secukupnya, bertani pun sekedarnya saja.

Di sawah, mereka tidak ngoyo bekerja. Mereka tidak ngoyo melangkahkan kaki. Kebutuhan pokok dipikirannya, adalah urusan dunia, dan dunia adalah tompangan belaka. Maka para pengajar agama memandang kebutuhan pokok sebagai langkah untuk mengerti kaumnya. Betapa setiap hari murid diselimuti rasa lelah dan letih. Dengan begitu para pengajar, mempunyai cara ajar yang ringkas.

Shalat begini. Wudhu begini. Bacanya begini. Bacanya begini.

Memberikan esensi dari keagamaan. Memberikan esensi dari ajaran agama:

Shalat itu ibadah kepada gusti allah.

Gusti allah itu yang mempunyai langit dan bumi.

Jagat ini milik allah.

Berbuat baiklah kepada orang tua.

Yang mudah menghormati yang tua, dan yang tua meyayangi yang muda.

Bacalah al-quran, karena al-quran petunjuk untuk hidup bahagia.

Bahagia itu bukan serta merta tentang kaya, harta, dan penampilan, tapi bagiamana kita mampu menyikapi hidup.

Ada rukun iman dan rukun islam. ingat itu, syukur-syukur bisa haji.

Haji adalah kumpulan umat muslim beribadah.

Kalau kamu berbuat kebaikan masuk surga.

Janganlah berbuat keburukan, nanti masuk neraka. Apa itu neraka? Api yang menyala-nyala.

Sementara anak-anak petani itu, dididik untuk belajar agama. Membaca alip-bak-tak. Orang tua telah mengetahui baiknya agama. Pentingnya beragama. Yakni menjaga tata-krama. Dengan membaca alip-bak-tak. Semoga mereka terikat dengan tali agama gusti allah.)

Proses pembacaan buat anak-anak tidak mudah. Membutuhkan waktu untuk menghapal terhadap lekukan-lekukan huruf. Perlahan-lahan, dengan bacaan turutan, anak-anak terlatih untuk mengetahui cara-cara membaca al-quran.

Dan sejak dini, anak-anak dipertimbangkan belum mampu ‘membaca’, namun masih proses membaca kitab. Masih proses membaca. Karena dalam proses membaca al-quran dipentingkan juga pengetahuan hokum-hukum tajdwid bacaan. Jadi anak-anak mengulang-ulang waktunya, untuk membaca, dan kelak, kalau dewasa akan membantu orang tuanya untuk bekerja di sawah atau diladang.

Karena memang alamnya tercukupi untuk itu.

Orang-orang tidak harus dagang. Orang-orang tidak harus menjual lidahnya. Tidak perlu berorasi lidah. Orang-orang arab terlatih itu berorasi lidah, mereka para pedagang dan para pedagang pastinya akalnya akan bekerja cepat, karena mereka belajar kepada kesimpulan-kesimpulan pendapatan dari dalam jiwa manusia. Sementara, orang Indonesia, bertani, bekerja, karena dengan bekerja, mereka mampu mencukupi kebutuhannya. Dan bekerja di sawah, percakapan mereka sedikit. Sedikit sekali. Jarang sekali. Paling banter, kalau istirahat, sekali atau dua kali.

Kalau banyak istirahat, maka pekerjaan sawah atau ladang jatuh temponya lama. Karena pekerjaan itu dilakukan secara kuno, belum menggunakan alat-alat canggih—saya belum berbicara dengan datangnya alat-alat canggih—

Mereka jangan sekali berkata-kata, jarang sekali berbicara. Berbicara bagi petani adalah merugikan waktu, karena harusnya utuk istirahat, untuk tidur, karena lelah yang menyinggah, maka pertemuan mereka dengan orang-orang adalah sejenak saja, minim waktu, dan aktifitas membaca:

Bagi para petani, adalah suatu pekerjaan yang tidak mendapatkan hasil yang pasti. Belum jelas kepastiannya, terlebih lagi, tubuh mereka telah dulu capek dengan keadaan yang terjadi. Wal-hasil, pembacaan ditunaikan sejak dini, tatkala dewasa, syukur-syukur membaca al-quran. Membaca kitab. Dan itu pun didukung oleh ulama-ulama, atau kiai setempat, kiai setempat dengan ceramahnya, dengan keterikatan agama, melalui mimbar jumatanya, mengingatkan manusia untuk ingat kepada gusti allah:

Bertakwalah kalian dengan sebenar-benarnya takwa.

Hidup itu ringkas, 80 atau 90 tahun itu sebentar, maka kelak akan ada surga.

Bekerjalah kalian, namun jangan lupakan ibadah.

Jangan lupa membaca al-quran, ganjarannya itu besar.

Begitulah kata kiai di mimbar jumatnya. Menyampaikan esensi dari agama. Sebab kalau agama disampaikan secara gamblang dan diterangkan tentang bahasa asalnya, bahasa arab, dan mereka harus mengetahui maknanya, maka mereka beragama terlalu payah.

Saya menyadari bahwa dengan mengetahui makna-makna al-quran bukanlah hal yang simpel dan mudah. Menerapkan teks al-quran ke dalam pikiran, bukanlah hal yang mudah. Menjadikan al-quran sebagia panutan akhlak, bukanlah hal yang mudah. Menerapkan keimanan yang sungguh-sungguh bukanlah hal yang mudah. Keimanan juga membutuhkan pengetahuan. Sementara al-quran adalah sarat akan pengetahuan. Dan islama adalah sarat akan pengetahuan. Namun kiai menyampaikan esensi-esensi agama. Kiai menyampaikan sesuatu yang klise demi melangsungkan umatnya menjalankan agama, dan percaya kepada Gusti Allah:

Shalat harus menggunakan bahasa arab.

Yang pasti, bacalah al-quran. Jangan lupakan al-quran

Ingatlah kepada gusti allah, dia itu yang menciptakan jagat ini.

Akhir kata, pembacaan teks, bagi orang-orang yang telah mampan dan disediakan pemapanan alam, tidak akan berkutat ketat dengan pembacaan, kerena materi mendahulu esensi. Tatkala materinya tercukupi, barulah mereka memikirkan agama. Bagi para petani, agama menjadi nomer dua, yang pertama adalah bekerja. Waktunya, disibukkan di lahan-lahan. Di sawah dan menyendiri. Sendiri.

Jangan interaksi. Interaksi kepada jiwanya sendiri. Kecuali dalam waktu yang sedikit mereka berinteraksi kepada manusia lainnya. Dan kenalilah, tatkala ada komunikasi dengan manusia lain, maka disana akan memunculkan issue atau berita yang baru, yang dengan itu akan melahirkan pengetahuan.

Begitulah sejarah pengetahuan pengetahuan, di yunani, orang-orang saling berdialog, perlahan-lahan dengan dialog menjadikan orang-orang berpikir dan memikirkan sesuaut yang didialogkan, sehingga turun temurun orang-orang menulis, dan membaca, dialog mereka terus berjalan. Wal-hasil, senantiasa kalau berbicara tentang sains ukurannya adalah eropa. Sumbernya tentu, dari orang-orang yunani, dan orang-orang telah memaklumi itu. para sejarawan telah memaklumi itu.

Sementara orang Indonesia, dengan kelimpahan alamnya, dengan tawaran alamnya, mereka sibuk dengan alamnya, dan berinteraksi dengan jiwanya, sendiri. Tatkala mempunyai waktu, maka mereka sering mendapatkan ceramah. Mendapatkan siraman rohani. Sejak saat itulah, yang namanya ceramah berlaku, sampai sekarang.

Dan membaca, masih minim, sangat, begitu jugalah yang saya alami.

Begitulah laporannya, mohon doa dan restunya….

Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Tentang Sejarah Membaca"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel