Tentang Data ‘Pengetahuan’ Yang Melintasi Pikiran
Rabu, 28 Desember 2016
Tambah Komentar
Katamu, kemana perginya ilmu-ilmu yang telah dipelajari sejak kecil? Kemana perginya ilmu-ilmu itu, dan mengapa ilmu-ilmu tidak senantiasa bertahan dalam benak pikiran? Apakah memang kita tidak mampu mengikat pengetahuan dalam diri kita? Apakah pengetahuan harus selalu dikenang dan dihapalkan?
Jawabku, saya akan menjawab pertanyaanmu satu persatu:
Pertama, ilmumu tidak pergi, namun engkau tidak benar-benar menyimpan ‘pengetahuanmu’ dengan benar, artinya, engkau tidak berusaha menjalankan ‘pengetahuanmu’ secara sempurna, hasilnya ilmumu tidak melekat. Andai kata tatkala engkau disodorkan pengetahuan dan itu langsung dipraktekkan, maka engkau akan mengetahui, dan itu belum memahami. Karena untuk memahami perlunya kau mengetahui, lalu kau paham.
Kedua, ilmu tidak pergi, namun daya-otakmu, kala itu, belum siap untuk mengetahui macam-macam sodoran pengetahuan. Kalau sejak dini, sejak kecil, engkau ditekankan pada suatu ilmu, digiring kepada ilmu itu, maka bisa jadi engkau akan konsentrasi terhadap ilmu tersebut, namun kamu mempunyai realitas. Realitas itulah yang menjadikan ‘pengetahuanmu’ kabur, karena disodori data-data realitas yang beragam, dan itu mempengaruhi penangkapan pengetahuanmu. Pendek kata, pengethuan yang disodorkan orang-orang adalah sekedar selingan perjalanan waktumu.
Ketiga, mempertahankan dalam benak pikiran, bahasa lainnya, menghapal: karena system pendidikan tidak menganjurkanmu untuk menghapal, tentu engkau tidak hapal. Coba kalau system pendidikan sejak kecil ditekankan untuk menghapal, besar, pastilah engkau banyak hapalan, dan tentu kurikulum yang dibangun adalah bakal menguatkan tentang hapalan seperti: mengapa harus mengapal, motivasi menghapal, tujuan menghapal, dan praktek-praktek tentang ilmu yang dihapalkan, maka jadilah penerus-penerus yang memahami. Dan tentu, diperlukan pilihan guru-guru yang telandan: system ini, bisa diterapkan secara penuh bila di pondok pesantren. Saya tidak menemukan cara lain, kecuali penyatuan: ‘pikiran dan praktek’, yakni tentang fikih.
Keempat, pengikatan pengetahuan dalam diri, tentu bisa, seperti yang telah saya paparkan di atas, bahwa kita tidak terlatih untuk ‘menghapal’ namun seringkali kita disuguhi tentang ‘proses’: jika sekarang tekanannya ‘memahami’ dan itu melalui jalan ‘menghapal’ maka harusnya sejak dini, telah diajari tentang bagaimana menghapal, oleh karenanya, setiap pelajar, bakal ditekan untuk menghapal, sehingga pengetahuannya melekat tajam di dalam dirinya. Hal ini sering terlihat dari ‘pengetahuan-islam’, anak-anak muslim, jazirah arab, yang lebih menekankan anak-anaknya hafal al-quran, atau hadist, tentu bantuannya adalah dukungan dari lingkungan sekitar, keluarga, kerabatan dan lingkungan. Perlahan-lahan, dari menghapal, dilanjutkan memahamkan, jadilah kamu memahami, dan jadilah paham. Pendek kata, untuk mendapatkan itu dibutuhkan kondisi lingkungan tetang penghapalan.
Kelima, pengetahuan tentu harus dikenang dan dihapalkan. Harus. sejauh ini, engkau telah mengetahui bahwa orang-orang yang terklaim pengetahuan, orang yang tahu, selalu mengenang dan menghapal data-data. Senantiasa seperti itu. dari itu, mereka mengetahui-mengetahui yang lain: dari itu, mereka mendapatkan temuan-temuan baru. Ya! Efek dari semakin kamu mengetahui data demi data, maka kamu akan menemukan data yang baru. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan Filsuf Jerman, Hegel: dari tesis ditarungkan anti-tesis, jadilah tesis yang baru. Maka ditarungkan lagi, menjadi yang baru. Begitulah, dan seterusnya. Demikianlah jawabanku.
Katamu, lantas, bagaimana kita menjalani kehidupan yang sekarang ini? tentang pengetahuan-pengetahuan yang semrawut di dalam diri, bagaimana solusinya? Saya akan menyontohkan diri saya: saya telah mahasiswa, tapi mendadak saya seperti terlupakan akan kajian di masa lalu, sebenarnya apa yang terjadi dengan pengetahuanku, jangan-jangan saya dulu tidak benar-benar memahami.
Jawabku, jalanilah kehidupan dengan belajar data-data pengetahuan, hapalkanlah perlahan-lahan dan disertai dengan dijalankan. Itu pun sebagai solusinya. Kalau tidak seperti itu, maka kamu akan tetap menyatakan bahwa pengetahuan tetaplah semrawut. Hapalkan, lalu dijalankan, bersamaan dengan itu: adalah proses memahami ilmu pengetahuan. Syaratnya begitu, yang selanjutnya, engkau akan menjadi pengajar, mengajari mereka-mereka yang tidak-tahu, begitulah:
Sebenarnya pengetahuan itu dikaruniai kepada mereka yang bakal ditinggikan derajatnya, dimuliakan kedudukannya, oleh karenanya seorang pencari ilmu, harus berjuang keras untuk mendayakan diri tentang luasnya pengetahuan: hapalkan dan dipahami. Keduanya adalah sesuatu yang sukar, bukanlah sesuatu yang kebanyakan orang-orang mampu. Jika seluruh negeri menghendaki orang-orang untuk cerdas, maka begitulah caranya: harus membuat tradisi lingkungan terhadap kecerdasan. Oleh karenanya, jenis pengetahuan, harus diketahui juga bagaimana kondisi sosial dan bagaimana keterpengaruhan geografi. Itu penting.
Karena cuaca, kondisi alam, bakal menutut manusia menurut tabiat aslinya.
Sekarang, jika kamu telah mengetahui bagaimana tabiat aslimu dari kondisi cuacamu, kondisi alammu, maka kamu akan mengerti bagaimana kapasitasmu, kapasitas otakmu.
Dan untuk membangun paradigma baru, layaknya Jazirah Arab atau bahkan eropa, maka tentu, butuh proses. Bersabarlah.
Jawabku, saya akan menjawab pertanyaanmu satu persatu:
Pertama, ilmumu tidak pergi, namun engkau tidak benar-benar menyimpan ‘pengetahuanmu’ dengan benar, artinya, engkau tidak berusaha menjalankan ‘pengetahuanmu’ secara sempurna, hasilnya ilmumu tidak melekat. Andai kata tatkala engkau disodorkan pengetahuan dan itu langsung dipraktekkan, maka engkau akan mengetahui, dan itu belum memahami. Karena untuk memahami perlunya kau mengetahui, lalu kau paham.
Kedua, ilmu tidak pergi, namun daya-otakmu, kala itu, belum siap untuk mengetahui macam-macam sodoran pengetahuan. Kalau sejak dini, sejak kecil, engkau ditekankan pada suatu ilmu, digiring kepada ilmu itu, maka bisa jadi engkau akan konsentrasi terhadap ilmu tersebut, namun kamu mempunyai realitas. Realitas itulah yang menjadikan ‘pengetahuanmu’ kabur, karena disodori data-data realitas yang beragam, dan itu mempengaruhi penangkapan pengetahuanmu. Pendek kata, pengethuan yang disodorkan orang-orang adalah sekedar selingan perjalanan waktumu.
Ketiga, mempertahankan dalam benak pikiran, bahasa lainnya, menghapal: karena system pendidikan tidak menganjurkanmu untuk menghapal, tentu engkau tidak hapal. Coba kalau system pendidikan sejak kecil ditekankan untuk menghapal, besar, pastilah engkau banyak hapalan, dan tentu kurikulum yang dibangun adalah bakal menguatkan tentang hapalan seperti: mengapa harus mengapal, motivasi menghapal, tujuan menghapal, dan praktek-praktek tentang ilmu yang dihapalkan, maka jadilah penerus-penerus yang memahami. Dan tentu, diperlukan pilihan guru-guru yang telandan: system ini, bisa diterapkan secara penuh bila di pondok pesantren. Saya tidak menemukan cara lain, kecuali penyatuan: ‘pikiran dan praktek’, yakni tentang fikih.
Keempat, pengikatan pengetahuan dalam diri, tentu bisa, seperti yang telah saya paparkan di atas, bahwa kita tidak terlatih untuk ‘menghapal’ namun seringkali kita disuguhi tentang ‘proses’: jika sekarang tekanannya ‘memahami’ dan itu melalui jalan ‘menghapal’ maka harusnya sejak dini, telah diajari tentang bagaimana menghapal, oleh karenanya, setiap pelajar, bakal ditekan untuk menghapal, sehingga pengetahuannya melekat tajam di dalam dirinya. Hal ini sering terlihat dari ‘pengetahuan-islam’, anak-anak muslim, jazirah arab, yang lebih menekankan anak-anaknya hafal al-quran, atau hadist, tentu bantuannya adalah dukungan dari lingkungan sekitar, keluarga, kerabatan dan lingkungan. Perlahan-lahan, dari menghapal, dilanjutkan memahamkan, jadilah kamu memahami, dan jadilah paham. Pendek kata, untuk mendapatkan itu dibutuhkan kondisi lingkungan tetang penghapalan.
Kelima, pengetahuan tentu harus dikenang dan dihapalkan. Harus. sejauh ini, engkau telah mengetahui bahwa orang-orang yang terklaim pengetahuan, orang yang tahu, selalu mengenang dan menghapal data-data. Senantiasa seperti itu. dari itu, mereka mengetahui-mengetahui yang lain: dari itu, mereka mendapatkan temuan-temuan baru. Ya! Efek dari semakin kamu mengetahui data demi data, maka kamu akan menemukan data yang baru. Hal ini persis seperti apa yang dikatakan Filsuf Jerman, Hegel: dari tesis ditarungkan anti-tesis, jadilah tesis yang baru. Maka ditarungkan lagi, menjadi yang baru. Begitulah, dan seterusnya. Demikianlah jawabanku.
Katamu, lantas, bagaimana kita menjalani kehidupan yang sekarang ini? tentang pengetahuan-pengetahuan yang semrawut di dalam diri, bagaimana solusinya? Saya akan menyontohkan diri saya: saya telah mahasiswa, tapi mendadak saya seperti terlupakan akan kajian di masa lalu, sebenarnya apa yang terjadi dengan pengetahuanku, jangan-jangan saya dulu tidak benar-benar memahami.
Jawabku, jalanilah kehidupan dengan belajar data-data pengetahuan, hapalkanlah perlahan-lahan dan disertai dengan dijalankan. Itu pun sebagai solusinya. Kalau tidak seperti itu, maka kamu akan tetap menyatakan bahwa pengetahuan tetaplah semrawut. Hapalkan, lalu dijalankan, bersamaan dengan itu: adalah proses memahami ilmu pengetahuan. Syaratnya begitu, yang selanjutnya, engkau akan menjadi pengajar, mengajari mereka-mereka yang tidak-tahu, begitulah:
Sebenarnya pengetahuan itu dikaruniai kepada mereka yang bakal ditinggikan derajatnya, dimuliakan kedudukannya, oleh karenanya seorang pencari ilmu, harus berjuang keras untuk mendayakan diri tentang luasnya pengetahuan: hapalkan dan dipahami. Keduanya adalah sesuatu yang sukar, bukanlah sesuatu yang kebanyakan orang-orang mampu. Jika seluruh negeri menghendaki orang-orang untuk cerdas, maka begitulah caranya: harus membuat tradisi lingkungan terhadap kecerdasan. Oleh karenanya, jenis pengetahuan, harus diketahui juga bagaimana kondisi sosial dan bagaimana keterpengaruhan geografi. Itu penting.
Karena cuaca, kondisi alam, bakal menutut manusia menurut tabiat aslinya.
Sekarang, jika kamu telah mengetahui bagaimana tabiat aslimu dari kondisi cuacamu, kondisi alammu, maka kamu akan mengerti bagaimana kapasitasmu, kapasitas otakmu.
Dan untuk membangun paradigma baru, layaknya Jazirah Arab atau bahkan eropa, maka tentu, butuh proses. Bersabarlah.
Belum ada Komentar untuk " Tentang Data ‘Pengetahuan’ Yang Melintasi Pikiran "
Posting Komentar