NASIHAT: Tentang Paham
Minggu, 25 Desember 2016
Tambah Komentar
Taufik, tidak mudah untuk paham. Ingatlah, sebelum paham, kamu penting mengetahui. Padahal seringkas itu kan, sekali lagi saya ulangi: sebelum paham, kamu penting mengetahui.
Kenalilah, sejauh engkau belajar filsafat, melihat lintasan sejarah panjang mulai dari sebelum masehi, sampai kepada sekarang, lalu engkau mengenal tentang nama demi nama, lalu engkau menempelkan nama nama itu di dalam cangkang pikiranmu, lalu engkau kenang tahun demi tahun, engkau jabarkan tahun demi tahun itu, engkau petakkan kelompok demi kelompok, engkau petakan lagi kelompok itu lebih mengerucut, lalu engkau membaca pemikiran demi pemikiran, belum selesai membaca pemikiran demi pemikiran, kamu telah disuguhi realitas, lalu kamu mempunyai kendala pada realitas. Kamu dituntut untuk menjawab realitas. Sementara kajian filsafatmu belum sempurna. Kajian filsafatmu masih bolong-bolong. Lalu kamu bertemu dengan orang-orang muslim, kamu dipertanyakan tentang keislamanmu, kamu dipertanyakan tentang sejarah keislaman, kamu berdialog dengan mereka tentang hal-hal islam. Lalu kamu bertemu dengan manusia yang lain, manusia yang bodoh, dan kamu berdialog dengan mereka. Otakmu terusik, karena mereka menyampaikan yang tidak sesuai dengan apa yang telah orang-orang ilmuan sepakati. Diam-diam, kamu ingin protes, tapi kamu senantiasa terpikirkan: untuk apa aku protes kepada orang yang tidak tahu, sama halnya saya seperti mereka. Selanjutnya, kamu dihadapkan ulang dengan teman-teman belajar filsafatmu. Lalu azan melolong dan hatimu tergerak, hatimu protes sambil berkata: ayo tunaikanlah shalat. Ayo ibadah.
Sementara itu, akalmu mulai menyadari tentang kekuranganmu terhadap agama. Kamu mulai mengerti tentang kurangnya ilmu pengetahuanmu tentang islam. Kamu mulai di tampar kalimat-kalimat:
Kamu shalat yang tidak tahu. Dasar bodoh!
Kamu shalat sekedar jengkang-jengking!
Siapa tuhanmu! Apa buktinya kalau kamu bertuhan!
Lalu kamu menjawab, “aku ibadah seperti yang lainnya. Pokoknya ibadah.”
Jawabnya, “Kamu samakan dirimu yang tahu, dengan orang yang tidak tahu. Oh betapa sia-sia kau mencari ilmu.”
Lalu kamu merasa terberatkan dengan mencari ilmu. Di satu sisi, cangkang pemikiranmu menarik-tarik dirimu untuk lebih giat mencari ilmu. Di sisi lain, kondisi lingkunganmu tidak mendukung engkau benar-benar dalam lintasan ilmu. Di sisi yang jauh lebih lain, kamu tidak merasakan gairah sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang disebut ilmu.
Kamu ingin marah, kepada siapa. Kamu berdoa—dirimu tak kuasa merantaikan kalimat-kalimat: karena kamu masih ragu tentang objek yang kau doakan. Kamu ragu kepada Tuhan yang kau sembah. Lebih parahnya lagi, kamu tertawan inginnya diam. Karena setiap kalimat-doa adalah mempunyai unsure Tuhan, sementara dirimu: tidak mengenal apa itu tuhan, dan kamu masih pedekatean dengan Tuhan. Kamu mencari-cari cara bagaimana upaya termudah untuk mendapatkan cinta-Nya. Kamu berusaha merayu dengan menggelapkan kertasmu dan mencurahkan pemikiranmu lewat kata-kata, tujuannya demi mendapatkan cinta-Nya. Tujuannya lagi, supaya engkau paham dengan esensi kehidupan.
Paham! Itulah yang engkau incar.
Proses! Itulah yang engkau jalani.
Paham! Itulah yang engkau incar.
Jawabku, bersabarlah Taufik, untuk mendapatkan pemahaman membutuhkan proses, sekali pun telah kugamlang-jujurkan tentang hal-hal yang sebenarnya dan itu adalah jawabannya, namun kalau Dia belum menghendaki untuk dibukakan tabir-Nya, bagaimana mungkin engkau bisa menerima jawaban itu. Inilah maknanya: Allah memberi petunjuk kepada siapa yang ingin di beri petunjuk.
Tetaplah belajar Taufik, dan jangan lalaikan tentang ibadah secara syariat, Taufik. Kamu tahu apa yang harus kamu kerjakan. Kamu tahu apa yang menjadi larangan-larangan. Kamu tahu dasar-dasar dari keislaman. Kamu tahu dasar-dasar keimanan. Latihlah itu semua! Kenalilah itu semua. Upayakan dirimu mengerti tentang itu semua. Orang tahu belum tentu kenal, Taufik. Maka kenalilah itu semua. Setelah kenalan, biarkan dirimu laksana komik yang berjalan, seorang yang berjalanan sarat referensi di dalam cangkang pemikirannya.
Kamukah lihat, ulama-ulama Indonesia, lidahnya tidak selalu berkata tentang keislaman: apakah setiap dalil harus diungkapkan melalui lidah? Pahamilah kalimat itu. Bahasa lainnya, apakah para tamu layak diberitahu tengan bagaimana cara membuat ikan yang sedap. Kalau dia bertanya, barulah engkau beritahu. Pahamkan dia menutur ilmunya. Kalau dia semakin bertanya, giringlah dia dalam lintasan epistemology islam yang kau ketahui itu, keluasan espistemolgy islam. Kalau dia bertanya tentang realitas keislaman masa kini, giring juga dia melalui pengetahuan filsafatmu, paparkan dia secara terang dan gamblang, dengan berbagai metode-metode kekikinan, sampai kepada strukturalisme hingga dekontruksi, atau malah perlihatkan tentang dunia-yang-porak-poranda akibatan filsafat-modern, akibat gencaran sains. Perlihatkanlah tentang dunia dengan analisis dunia menjelma simulasi dan dunia sarat akan konsumerisme. Kalau tidak bertanya, sampaikanlah agama secara esensinya. Jangan diberat-beratkan tentang agama. Kenalilah, untuk mendapatkan pemahaman itu membutuhkan proses. Sebab, urusan paham dan tidak, itu berguna buat siapa, Taufik?
Kepemahaman sesungguhnya berguna untuk dirinya sendiri. Tatkala dia telah paham, maka sudah. Tidak ada yang perlu diuraikan lebih lanjut. Tak perlu dijabar-jabarkan lebih lanjut. Dia sudah paham. Namun, engkau telah mengetahui, bahwa untuk mendapatkan pemahaman bukanlah perkara ringan. Bukanlah perkara simpel. Bukankah tujuan tentang semua ini adalah bagaimana engkau meraih kepahaman di dalam dirimu?
Padahal ulama-ulama telah menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, Taufik, (Bisa jadi mereka-mereka adalah menjawab pertanyaannya sendiri kan?) namun bagaimana engkau mampu mengetahui rasa kopi kalau kamu tidak minumnya sendiri? Tentang hal ini, kamu harus mencobanya sendiri.
Pendek kata, tak ada cara mudah untuk menjawab pertanyaanmu kecuali sabar dan teruslah berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang disebut paham.
Bersabarlah…
Belum ada Komentar untuk " NASIHAT: Tentang Paham"
Posting Komentar