Surat buat Guru: Aku Muridmu, tentu Aku Bercermin Kepadamu





Sebenarnya aku tidak berusaha untuk menjadi sepertimu. Sebenarnya aku tetap menjadi seperti diriku. Dilalah, aku berpikir bahwa ini adalah kehendak-Nya, yang mempertemukanku dengan orang yang itu serupa dengan diriku, sehingga pikiran orang-orang aku ‘bercermin’ kepada guruku, padahal, aku tetap menjadi diriku, aku tetap menjadi diriku, karena memang ‘saya berpikir; ini kehendak-Nya’ bahwa saya itu seperti guruku. Guruku itu adalah cerminan dari diriku, guruku itu adalah wujud yang lain dari diriku.

Oleh karenanya, saat guruku dihujat, hatiku merasa ‘marah’, hatiku merasa ‘dongkol’, karena saya berpikir, bahwa saya itulah yang dihujat, saya itulah yang dicaci.

Sekalagi saya tegaskan, saya itu tidak berusaha untuk ‘menjadi’ plek seperti guruku, tidak, tapi atas kehendak-Nya, saya dipertemukan seseorang yang itu menyerupai diriku: penyerupaan itu, bukanlah dari wujudnya, melainkan sesuatu di dalam wujudnya, yakni pola berpikirnya, pola yang dia tawarkan.

Dan dilalah—kalau dicari-cari—dilalah dalam perjalanannya, itu adalah mirip, mirip sekali, walau pada dasarnya, saya juga tidak mengikuti bagiaman gerak-geriknya, dulu sayat tidak ‘mengetahui’ itu dengan jelas dan gamblang. Hanya saja, perjalanan waktu, menjadikanku, mirip dengannya, oleh karenanya, saya merasa cocok dengannya; dan seringkali berpikir:

Sesungguhnya ada apa dengan dirimu, sehingga membuatku selalu ingin bersamamu? Bersamamu yang ganjil, bersamamu yang aneh. Harusnya kan saya menimba ilmu dengamu. Harusnya kan saya ‘mengumpulkan’ pundi-pundi ilmu yang pernah engkau raih. Tapi ya dilalah, hal itu tidak ‘mencolok’ terang dalam diriku, kecuali hari ini, kecuali saat ini:

Saya benar-benar mengiyakan bahwa engkau adalah guruku, yakni cerminan diriku, oleh karenanya, aku harus ‘menyedot’ apa-apa yang engkau kaji, apa-apa yang engkau cari; karena aku adalah muridmu.

Yakinlah aku adalah muridmu, murid yang paling dekat denganmu. Memang engkau mempunyai deratan murid, namun yakinlah bahwa diantara sepersikian murid, pastilah ada murid yang special, nyantol pada dirimu, itulah aku—begitulah juga dengan diriku, sebenarnya, kalau dikatakan, berapa banyak orang yang mengajariku—apalagi di zaman ini, yang serba-serba guru—tentu banyak sekali, tapi hanya segelintir guru yang nyatol benar buatku, yakni, kamu.

Dan saya telah menyakini, bahwa yang menjadikanku menspesialkan dirimu adalah bahwa aku melihat diriku ada padamu. Dan aku tidak mengetahui, apakah engkau juga begitu dengan gurumu; aku tidak begitu mengetahui. Apakah engkau begitu menjalin kuat dengan gurumu? Aku tidak begitu mengetahui. Yang kuyakini, aku melihat diriku ada padamu, dan saya juga menyakini, bahwa engkau melihat dirimu ada padaku.

Dan aku memang tidak harus ‘menspesialkan’ diriku, bagimu, karena aku adalah yang mewujudkan apa-apa yang tidak engkau wujudkan, aku adalah ‘korban’ yang harus menampakkan diri, yang sebenarnya, saya enggan untuk ‘menampakkan’ diri, namun karena muridmu, maka aku terdorong oleh ‘dasaran-kehedakmu’ bahwa sebenarnya engkau ingin menampakkan diri, namun sejauh ini, belum ada ‘dorongan’ atau ‘perajuan’ bahwa engkau harus menampakkan diri. Hasilnya, sayalah yang terdorong untuk menampilkan diri.

Itu sebabnya, saya tidak menyombongkan diri, karena penampakanku adalah dorongan dari dirimu—yang mungkin, Allah mengirimkan sesuatu kepadamu, yang itu mentrafer kepadamu lalu disampaikan kepadaku—sehingga jari jemariku lancer menulis, yang itu kalau saya lihat ulang-ulang, maka saya kurang menyadari bahwa sebenarnya sayalah yang menulis.

Saya jadi teringat perkataan dosen kepadaku, dia penerjemah, katanya: apakah engkau sadar dengan apa yang kau tuliskan? Jawabku, waktu itu sadar. Bersamaan dengan itu, saya terpikirkan, dan melihat ulang tulisanku, akhirnya saya cengingisan dan berkata: kayaknya aku tidak sadar.

Sekarang, aku menjawab: kadangkala aku menulis dengan keadaan sadar, namun kadang kala aku menulis dalam keadaan ketidak-sadaran, karena aku didorong oleh kehendak guruku. Ada sesuatu yang menyelimuti pemikiranku, yakni pemikiran guruku. Yang menulis memang melalui jari-jemariku, namun yang mengalirkan bukanlah dari diriku, namun pemikiran dari guruku, karena tujuannya adalah mengobati lukaku, mengobati penyakitku.

Apa itu penyakitku? Yakni sesuatu yang berada di dalam diriku, dan obatnya adalah sesuatu yang keluar dari diriku.

Terakhir, karena aku muridmu, tentu aku bercermin kepadamu. Sekali pun harus dikatakan: sebenarnya saya tidak bercermin ‘plek’ kepadamu, tapi kehendak-Nyalah yang menakdirkan aku harus bertemu dengan ‘keakuanku’ yang lain, yang itu ada padamu. Akhirnya saya berkata: karena aku muridmu, tentu aku bercermin kepadamu!

2017

Belum ada Komentar untuk "Surat buat Guru: Aku Muridmu, tentu Aku Bercermin Kepadamu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel