Pahamlah Statusmu








Engkau harus senantiasa mengenggam tentang statusmu, siapa dirimu, dari mana asalmu, dari mana lingkunganmu, siapa-saja orang-orang yang kau temui, bagaimana interaksimu, bagaimana kedudukmu, bagaimana mulutmu bicara, bagaimana keluarnya apa yang kau pikirkan, dan apa yang telingamu dengar, apa yang kau kata-katakan: itulah dirimu. Itulah statusmu.

Jika engkau ditekan oleh praduga sebelum itu, apakah itu adalah status asalmu? Apakah itu ada karaktermu: maka ‘kenallah’ tentang karaktermu, pahamilah tentang rajutan waktu yang menyinggahimu, dan begitulah kehidupanmu, begitulah tentang kedirianmu; sudah! Berhentikan keliaran-keliaran dirimu, hentikan pengembaraanmu—dan penting dikabarkan, sesungguhnya pengembaraanmu adalah tentang pengembaraan pemikiran, bukan tentang pengembaraan secara jasad; namun pengembaraan ruhani dan jasadmu senantiasa di ikat oleh keluargamu, begitulah dirimu.

Engkau laksana layangan, Taufik.

Laksana layangan yang dikat, Taufik.

Layangan yang terikat, Taufik.

Yang mempunyai mata, telinga, dan menerima segala macam pemandangan, macam pertemuan, dan perkunjungan antara jiwa-jiwa manusia dan jasad-jasad manusia: itulah sebabnya, aku bertanya kepadamu:

Apa tujuanmu?

Tujuanmu apa?

Sesungguhnya apa tujuanmu?

Dan engkau kelabekan sendiri dengan kalimat yang diulang-ulang dan ditegaskan, dan hal itu terjadi, karena engkau tidak memahami dirimu, tidak mementingkan dirimu, tidak menilaikan dirimu, seakan engkau adalah layangan transparan, layangan tanpa ragangan atau tanpa bentuk, padahal telah jelas bahwa ada tali yang mengikatmu, ada tali yang menjeratmu.

Yang kemudian berjalannnya waktu, engkau laksana filsuf perancis, Rene Descartes mendendangkan penuh tentang kekakuanmu dan mengklaim: aku berpikir maka aku ada! Yang mana engkau dibayang oleh filsuf jerman, Freidrich Nietzche, si peragu itu. Dan jadilah engkau:

Pengakuan yang meragukan keakuannya. Itulah masamu, setelah bertemu denganku. Dan sekarang, engkau menemukan lagi, bahwa Nietzsche itu pun melekat padamu—karena engkau berbackrone agama; dan kritikan Nietzsche adalah tentang orientasi keagamaan, yang sejauh ini engkau lihat dari sisi-kecil dari orang-orang beragama, bahwa kebanyakan orang beragama lalai untuk menjalankan keagamaannya, padahal itu adalah dirimu sendiri. Dirimu sendiri yang kurang ‘menjalankan’ tentang agama, sehingga ‘sudut penghlihatanmu’ adalah orang-orang yang tidak menjalankan agama.

Bahasa lainnya, engkau mengaburkan ‘statusmu’: harusnya yang engkau pentingkan adalah melambungkan ‘individu’mu dan disaat itu, pastilah engkau akan menemukan tentang ‘penglihatan’ yang indah-indah, dan engkau akan berkumpul tentang keindahan-keindahan dan bersibuk dengan pengetahuan.

Namun, bersamaan dengan kekuranganmu itu, engkau dikenalkan dengan filsafat postmodern, yang mana manusia sibuk dengan ‘keilmuan’; yang merajut-rajut tentang ilmu, makalah, sidang, penelitan demi penelitian demi penelitian, dan lalai bahwa tujuan keilmuan adalah tentang praktek keilmuan. Mereka sibuk secara ‘subjektif’, sibuk individual, lalai bahwa manusia itu satu kesatuan, dan saling membutuhkan; orang pandai menjadi contoh untuk orang tidak-pandai, tapi yang menjadi sorotan orang pandai malah sibuk-berdebat dan asyik diskusi, lalai bahwa orang pandai adalah yang dibutuhakan orang yang tidak pandai. Namun, zaman postmodern adalah zaman kesamaran, zaman yang gulita, zaman informasi, zaman meledaknya tentang pengetahuan, dan bahkan zaman yang membunuh ‘tuhan’ dalam pikirannya: itulah ketemunya, dan mengapa orang-orang sering menyebut bahwa Nietzsche adalah pendahulu zaman postmodern. Karena kebenaran menjadi realatif; namun, engkau lalai ‘memahami’ bahwa dimana Nietzsche berkata, untuk siapa dia mendendangkan: untuk orang-orang eropa, Taufik, itu pun secara umum, Taufik.

Tapi sudahlah, kenanglah statusmu, ingatlah statusmu: dan engkau tidak harus tertekan mengurusi sesuatu yang umum, tapi statusmu mengajarkanmu untuk mengurusi yang khusus. Sudahlah, jangan protes tentang apa yang terjadi secara keumuman, jalanilah realitasmu dan terimalah realitas yang terjadi: dan ingat, engkau mempunyai tanggung jawab, maka selesaikanlah tanggung jawabmu. Itulah yang penting buatmu. Sudah! Jangan ribet-ribet memikirkan yang besar:

Damaikanlah dirimu!

Damaikanlah dirimu!

Dirimu penting didamaikan!

Jika ilmu yang menjadi kebutuhanmu, tunaikanlah.

Jika nilai-materi yang menjadi kebutuhanmu, tunaikanlah.

Jika ilmu menjelma sesuatu yang sukar, tenang dan bersabarlah.

Jika nilai-materi menjelma sesuatu yang sukar, tenang dan bersabarlah. Yang pasti, tenangkan dirimu, ingatlah dirimu sekali lagi, ingatlah dirimu: statusmu, perjalanan waktumu. Dan engkau telah tahu tentang dirimu, dan engkau telah tahu tentang statusmu:

Pahamilah!

Pahamlah!

2017-03-02

Belum ada Komentar untuk "Pahamlah Statusmu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel