Nasihat: Al-Quran itu bukan Cerita Masa Lalu




Kamu pikir, al-quran itu adalah cerita masa yang telah berlalu; cerita orang-orang dahulu. Sekedar cerita. Sekedar tentang ‘bacaan’ yang dari membaca itu mendapatkan pahala. Sungguh al-quran itu ‘turun’ dari Allah, Fik. Yang berguna sampai sekarang, Fik. Masih berlaku sampai sekarang:

Kalau kamu mengatakan bahwa al-quran adalah cerita orang-orang terdahulu, maksudnya cerita tentang para nabi dan cuplikan kisah-kisah orang dahulu, maka sungguh: kamu telah ‘mendustakan’ kepercayaanmu kepada kitab-Nya! Kamu tidak percaya benar dengan kitab-Nya.

Kenanglah, saat engkau tidak-percaya dengan kitab-Nya, maka engkau gugur dalam mata-rantai keimanan. Sebab keimanan itu adalah mata-rantai yang saling berkaitan, saling menyaling, Fik.

Jika katamu, tapi al-quran itu bukan dari bahasa Indonesia atau bahasa jawa!

Jawabku, bukankah engkau mampu menggerayangi makna dari bahasa al-quran.

Jika katamu, tapi al-quran itu berbahasa arab dan selalu berbahasa arab, sementara bahasa asliku bukanlah bahasa arab, bahasa kami adalah bahasa Indonesia.

Jawabku, kenanglah Taufik, setiap umat itu telah diutus dengan bahasa aslinya, bukankah engkau mampu membaca tentang makna bahasa arab, bukankah engkau mampu mengetahui bahasa arab. Apalagi di zaman seperti sekarang ini, di zaman orang-orang yang telah lanyah berpengetahuan, dan pengetahuan yang telah diobral; bukankah engkau mampu membaca apa-apa yang telah orang-orang tawarkan.

Sungguh! Tugasmu adalah menyampaikan bahwa:

Al-Quran itu bukan cerita masa lalu, Al-Quran itu bukanlah dongeng.

Jadi seluruh ayat-ayat itu berlaku, berlaku buat orang-orang mukmin. Ingatlah, engkau orang mukmin, Taufik. Sungguh, saya menyampaikan ini kepadamu, berguna mengokohkan keilmuanmu, berguna menambahkan modal-modal keimananmu. Kenanglah, Kanjeng Nabi itu mendapatkan wahyu usia 40 tahun. Jadi, sekarang, ini adalah proses engkau menuju 40 tahun.

Maka kuatkanlah ‘pengetahuan’ dan ‘kedirianmu’ menuju 40 tahun tersebut. sekali pun engkau belum 40 tahun, namun al-quran itu adalah sesuatu yang nyata, Taufik. Sesuatu yang sangat realistis. Al-Quran bukanlah cerita masa-lalu Taufik.

Dan engkau telah mengkaji Hermeunetik, engkau adalah penyair: tidakkah engkau memahami diksi-dikis al-quran, setidaknya untuk dirimu sendiri, untuk menyelamatkan pemikiranmu, tidakkah engkau memahami itu, Taufik?

Engkau juga membaca teks-teks yang berkaitan dengan al-quran, membaca teks-teks yang berhubungan dengan kajian al-quran: tidakkah engkau menangkap itu dan menerangkan buat pemikiranmu sendiri?

Tidakkah engkau paham, inti dari islam adalah tentang universal, yakni semua adalah milik-Nya. Menyembahlah kepada-Nya, Dialah yang mengusai semesta raya. Tidakkah engkau paham dengan hal tersebut, Taufik? Dan sungguh, cuplikan tersebut, kalau engkau cari dalam al-quran, pastilah ada, pastilah ada redaksinya. Dan aku memang tidak menyebutkan teks-arabnya. Tidak! Tapi hal itu ada dalam al-quran, dan kamu mengetahui itu. artinya, apakah begitu adalah tentang sesuatu cerita masa lalu?

Kenanglah, cerita masa lalu yang ditawarkan dalam al-quran adalah teladan untukmu, begitulah harusnya engkau berpikir, seperti para nabi itu:

Jika ada yang berkata, itu para nabi, itu tingkatan buat para nabi, sementara kamu, kamu apa? Kamu adalah manusia biasa.

Jawabku, tidakkah mereka bukan manusia biasa, yang diberi gelar atau berstatuskan ‘nabi’; dan aku sering membaca tentangnya, mengapa aku tidak meniru seperti dengannya.

Jika ada yang berkata, kalau kau mau mengikuti tentangnya, maka engkau harus membaca sejarah para nabi, tentang seluk beluk tentang para nabi.

Jawabku, katakan kepadaku, mengapa aku harus membaca sejarah para nabi, tentang seluk beluk tentang para nabi: aku telah ‘puas’ membaca mereka menurut redaksi al-quran, sebab bagi ‘pemikiranku’ membaca redaksi al-quran lebih-ringan dibanding membaca ‘biografi’ yang itu ‘biasanya’ berkaitan dengan tanggal, tahun, tempat, sementara diriku belum pernah ke tempat sana, dan itu membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui itu; terlebih lagi, aku telah puas dengan membaca al-quran, mengapa aku harus membaca sejarah para nabi? Menurutmu, ‘sesungguhnya’ ilmu itu untuk siapa? Bukankah pada dasarnya ilmu itu adalah untuk dirinya sendiri. Selain itu, ketika saya menelusuri tentang hadist-hadist, saya berpikir, bahwa kanjeng Nabi, tidak sibuk-sibuk dengan ‘sejarah para Nabi’ tidak sibuk-sibuk dengan tanggal, tempat, dan hal-hal lainnya: tugasnya adalah mengingatkan tentang para nabi, dan zaman sekarang, saya pikir banyak orang yang telah mengetahui hal tersebut, dan tawaran saya adalah sekedar mengingatkan tentang keberadaan mereka. Sekedar mengingatkan; mengingatkan guna ‘menempelkan’ prinsip-prinsip yang diterapkan para nabi: yakni, iman kepada Allah. khususnya lagi, mengingatkan kepada diriku. Sungguh, diriku adalah manusia yang penting diingatkan terlebih dulu.

Begitulah, Taufik, tugasmu sekarang adalah lebih menanamkan dalam-dalam dalam cangkang pemikiranmu, bahwa al-quran itu bukan cerita-masa-lalu, bukan dongeng: namun, tetaplah ingat, Kanjeng Nabi itu menyampaikan keimanan bukanlah dalam waktu yang ringkas Taufik. Kanjeng Nabi mengingatkan keimanan bukanlah waktu yang ringkas, Taufik. Maksudnya, kamu, jangan menyegera-segerakan hal itu dalam pemikiranmu. Ringankanlah. Engkau masih membutuhkan ‘keimanan’ yang kokoh, maka kokohkanlah. Kokohkanlah pondasi keimananmu. Kokohkanlah.

2017

Belum ada Komentar untuk " Nasihat: Al-Quran itu bukan Cerita Masa Lalu "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel