SURAT BUAT GURU: KEGEMBIRAAN YANG TIDAK TERTAHAN







‘Kegembiraanku’ kepadamu menjadikan diriku tidak mampu menahan ‘deraan’ rasa yang bergelayut di dalam benakku, maka sampailah lidahku mengutarakan, tentang perasaanku, tentangmu, dan kukatakan:

“Aku tidak tahu bagaimana dia mengajar kepada yang lain, karena yang kutahu dia mengajariku sangat lembut, dan aku laksana ‘seorang’ bayi yang penting ditumpahi kasih-sayang dan aku persis ‘dititah’ dengan penuh kesabaran dan kelembutan. Dan menurutku, baru kali ini mendapati seseorang yang benar-benar mendidik dan bagus dalam mendidik, sejauh ingatanku, dia jarang absen, jarang ditimpa sakit, hanya sedikit sekali aku mengetahui dia berhalangan ‘mulang’ kecuali memenuhi undangan, dan sakit, jarang sekali. Pernah, memang. Tapi hanya sedikit sekali. Karena kerajinan beliaulah juga, aku terdorong untuk selalu berangkat. Aku khawatir dia menungguku, itulah alasan-alasan yang menjadikanku senantiasa untuk datang kepadanya. Karena keterbiasaan itu, kadang aku datang bukan lagi tentang ilmunya, namun tentang jalinan-ikatan keberadaan dan kelangsungan sebuah pertemuan. Dan inilah sejauh pengalamanku, menjadi pengalaman yang paling berbeda dengan pelangaman-pengalaman saat belajar. Dan itu, aku tidak mendapatkan kecuali kepadanya.”

Jika ada yang bertanya, bagaimana aku mengatakan laksana seorang bayi?

Jawabku, karena dia membacakannya dengan sangat pelan, seakan-akan aku tidak mempunyai pengalaman tentang pengetahuan-islam dan aku gembira dia menyikapi seperti itu, wal-hasil, hatiku merasa nyaman bahwa ada yang mengasihiku yang itu laksana seorang yang kosong; karena dia beranggapan begitu, maka aku pun menghendaki menjadi seorang yang kosong. Hasilnya, tatkala mendengarkan maka aku bersikap layaknya bayi, yakni sekedar menerima apa yang dikatakan orang tua.

Jika ada yang bertanya, bagaimana aku mengatakan aku laksana di tuntun?

Jawabku, karena si bayi pun tumbuh menjadi sosok yang membesar, menjadi anak-anak yang penting untuk diajari berjalan. Maka dia, dengan tangan-kasihnya menuntunku pelan-pelan. Pelan-pelan, sangat hati-hati, sangat perduli. Juga menjalin gembira, karena aku masih juga merengek dengan pertanyaan-penyataan yang ‘mendasariku’ yakni, pertanyaan-pertanyaan yang menganjal hatiku; ringkas kata, kami menjalani dengan gembira. Kami menjalani hari-hari sarat ikatan.

Hingga kemudian, si anak mulai berjalan. Mulai berjumpa dengan orang-orang. Mulai mengerti dunia luar. Mulai bertambah pengetahuan. Lidahnya mulai bicara. Telinganya mulai mendengar. Akalnya semakin lanyah bekerja. Sementara ikatan, terus dijaga; sampai-sampai ia bertanya-tanya dalam dirinya.

“Apa yang terjadi denganku? Mengapa dulu aku memilihnya? Memang, secara ringkas aku memilihnya karena dia adalah penyembunyi. Tidak menampakan diri. Selain itu, dia juga dekat. Selain itu, yang kubutuhkan bukan tentang ‘perkara’ ilmu, melainkan perkara eksistensi (wujud) kemanusiaan, yang kalau tidak mengajar maka diajar. Pilihan yang gampang buatku, yakni diajar. Maka aku memilihnya. Yang ternyata, lamat-lamat, benarlah, bahwa yang kubutuhkan bukan tentang ‘perkara-ilmu’ namun tentang eksistensi jalinan kemanusiaaan: antara ngajar dan diajar. Dan lebih nyatanya, saat bersamanya, aku malah benar-benar diajari—walaupun pada dasarnya tujuan saya adalah eksistensi kemanusiaan—yakni saya malah ditawari sesuatu yang lain: maksudnya, saat dia mulai membacakan kitab, di saat itulah akal dan hatiku semakin giat bekerja, akal dan hatiku malah mbelandang dari apa yang diajarkan, dan hal itu terjadi, ini pun karena lidahnya. Yang tidak setiap lidah, mampu menjadikan akal dan hatiku merasa seakan bekerja.

Aku laksana disulutkan tentang bagaimana berpikir. Dia memang membacakan kitab. Namun, saya membaca lebih dari kitab. Saya jarang menghapal kitab yang dibacakannya, namun akal dan hati saya, bekerja mengait-kaitakan pengetahuan yang saya dapatkan sebelumnya,.

Ringkas kata, dia adalah penyulut tentang ilmuku. Karena dia yang menyulutkan, maka efeknya, aku selalu ditekan untuk menjalankan ilmu yang ditawarkan, yakni tentang keislaman. Memang sebelumnya aku telah menjalankan keilmuan islam, namun sekedar menjalankan, dan saat aku intens dengannya: langkahku adalah langkah untuk mengerti. Perjalanan untuk memahami. Perjalanan untuk mengerti langkahnya. Sehingga, dia laksana berkata: jalanlah. Jalankanlah ilmumu. Jalankanlah.

Walaupun secara nyata, dia diam, tidak berkata tentang itu. Tidak menyuruh tentang itu. Dia minim penjelasan, dan faktanya aku memang kurang suka kalau dijelaskan; mungkin inilah alasan aku cocok dengannya, dan ternyata, pilihanku memang pas, bahwa dia memang cocok untukku.

Wal-hasil, saat didekatnya, aku merasa kewalahan sendiri terhadap keislaman, aku malah semakin galau terhadap keislaman, sebab, saya kuliah yang itu sarat dengan pemikiran-filsafat, sarat dengan renungan yang mendalam; sementara bersamanya, saya seakan-akan baru menginjakkan kaki pada keislaman.

Jika ada yang berkata, sudah banyak orang yang pandai, janganlah memaksakan diri!

Jawabku, aku memang tahu banyak orang yang pandai, dan memangnya, siapa yang memaksakan diri? Aku tidak memaksakan diri, namun ada dorongan-hati untuk menjalani itu semua. Begitu.

Jika ada yang berkata, dorongan-hati bagaimana maksudmu?

Jawabku, aku merasa, guruku, merasuki diriku, dan aku adalah korban untuk mewujudkan apa yang dia mau sampaikan.

Jika ada yang berkata, jadi maksud dari gurumu merasukimu itu bagaimana?

Jawabku, seakan-akan dia bersinggah di dalam diriku dan memaksa tubuhku untuk melakukan. Dan penting engkau ingat, ada kata kunci, yakni ‘aku merasa’ dan ‘seakan-akan’. Ini adalah kata kunci. Sebab, bisa jadi, guruku tidak merasukiku dan memang inilah karakterku. Begitu. yang pasti, aku menspesialkan dua guru utamaku: bukan berarti aku menyepelekan atau membanding-bandingkan, atau ‘menspesialkan’ guru demi guru yang mengajariku. Namun, dua guru pertama itulah yang kuat mempengaruhiku.

Jika ada yang bertanya, mempengaruhi bagaimana?

Jawabku, yang satu mempengaruhiku tentang kepasrahan dan yang satu mempengaruhiku tentang tindakan-kepasrahan. Lebih mudahnya, yang satu menawarkan tentang mencintai-Nya dan yang satu tentang mencintai Kanjeng Nabi.

Jika ada yang berkata, jika kamu harus memilih, manakah yang paling special buatmu?

Jawabku, agak payah menjawab itu, sebab ikatan itu semakin kuat karena saat aku menemui guru yang kedua. Namun yang pasti, jika dikerucutkan dan aku disudutkan, maka yang special adalah yang pertama. Sebab apa? Dari yang pertama itulah, saya jadi banyak pikiran. Dialah guru yang pertama, seperti teman, karib, sekaligus guru. Yang kedua itu adalah efek, karena aku jauh dari guru yang pertama; yang semakin memuncak di dalam diriku, wal-hasil, maka ditemukanlah aku pada guru yang kedua.”

Selanjutnya, anak itu kini menjadi remaja, mulai mengenal arti cinta, dan dia kini mulai diajari tentang cinta. Cinta yang agak berhasrat dan bernafsu. Cinta yang agak berkepemilikan dan takut kehilangan. Itulah yang terjadi dengan anak itu; karenanya, anak itu, kini mulai merasakan sesuatu yang mana para manusia merasakan itu:

Kadang sedih

Kadang gembira

Kadang nestapa

Kadang bahagia

Kadang galau

Kadang tertawa

Kadang aneh

Kadang menakjubkan

Kadang menerima

Kadang menolak

Itulah yang terjadi pada anakmu, yang perlu engkau tahu—walau mungkin engkau telah tahu-- karena anakmu kerap mengabarkan diri kepadamu. Entah secara terang-terangan, lewat surat atau isyarat. Itulah anakmu, mulai mengenal cinta, yang berharap selalu disandarkan atas nama-Nya, dan berharap tidak lalai akan-Nya dengan perantaramu.

Jangan lepaskan anakmu, sekali pun dia mulai memabandel, itulah masanya ‘mbandel’.

Jangan lepaskan anakmu, sekali pun dia mulai terkesan ‘ngelunjak’ padamu, itulah anakmu, bersabarlah.

Jangan lepaskan anakmu, sekali pun dia mulai pergi dari bolamatu, sungguh dia membutuhkan bimbinganmu. Dia membutuhkan dukunganmu.

Hatinya masih rentah.

Akalnya masih dungu.

Eksistesi-kemanusiaan belum benar-benar sempurna.

Doakanlah anakmu, semoga menjadi anak yang soleh, mendoakanmu, membagikan ‘harta’ yang dimilikinya, menjadikan sejuk dari pandangan matamu, jadilah anak yang berbakti kepadamu, lebih-lebih meneruskan perjuanganmu, tidak melalaikan teman-temanmu, dan tetap mengokohkan imannya kepada Tuhan yang maha esa.

Itulah yang diharapkan anakmu, yakni, kasih-sayangmu, bukan tentang paksaan atau kehendakmu, melainkan limpahan sayangmu sebagaimana engkau mengasihi tubuhmu.

2017

Belum ada Komentar untuk "SURAT BUAT GURU: KEGEMBIRAAN YANG TIDAK TERTAHAN "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel