Nasihat: Pemikiran Yang Dasar








Engkau tidak harus pesimis dengan apa yang kamu miliki, jika pemikiranmu adalah pemikiran layaknya orang-orang desa: mengapa engkau resah dengan pemikiranmu? Apakah buruk menjadi pemikir kelas desa? Kenanglah kanjeng Nabi Muhammad: apakah dia langsung menjadi ‘pemikir’ kelas internasional, memang status pemikirannya adalah internasional, namun tetap saja, beliau memulai dari lingkungannya: beliau mengabarkan keimanan atau tentang ketunggalan Allah pada lingkungannya: tidak keburu-buru langsung lintas internasional.

Engkau telah membaca sejarah kanjeng Nabi Muhammad—walau sekilas, walau datanya kurang jelas—namun begitulah kira-kira tentang penyebaran Kanjeng Nabi dan orang-orang mengetahui kok, bahwasanya kanjeng Nabi menyebar dari lintas desa dan membesar, meluas, dan meluas. Namun, tetap saja lintasnya adalah dari lingkungannya (Sudah! Jangan dipayah-payahkan tentang istilah ‘desa’ atau lainnya, yang pasti, kanjeng nabi menyebarkan ‘keimanan’ atau landasan ketunggalan, ada pada lingukungan hidupnya; yakni mekah)

Dan sebelum itu, kenanglah, bahwa beliau mengokohkan tentang individunya: jadi, sebelum sampai desa, beliau mengokohkan ‘sesuatu’ di dalam dirinya, sehingga tatkala dia keluar, dia tetap mengokohkan ‘sesuatu’ di dalam dirinya. Ringkas kata, lingkungan beliau adalah dirinya sendiri.

Semakin kediriannya atau keimanan kepada yang esa kuat, maka dia akan memancarkan ‘kecintaan’ kepada semuanya, karena dia meyakini bahwa semua adalah milik-Nya, bahwa semua adalah kuasa-Nya.

Jadi, janganlah engkau pesimis dengan apa yang kamu pikirkan atau pola-pola pemikiranmu, yakni pemikiran desa: yang bersibuk pada orang-orang desa, atau berpikir ‘dangkal’ terhadap keduniaan: kenganlah semakin orang itu berilmu, maka pemikirannya akan menjadi semakin dangkal; dangkal adalah hal-hal yang dasar: bukankah engkau mengetahui, bahwa bersoalan yang ribet karena interkasi kedangkalan terharap cabang-cabangnya? Bukankah engkau memang digiring menjadi pemikir yang dangkal: ingat, belajar filsafat adalah belajar tentang sesuatu yang dangkal atau dasar.

Jika kehidupan sekarang telah menjelma system yang pelik dan ribet, maka tugasmu adalah mengikuti gerak-gerik system dan tetap memancarkan kedasaranmu, dan menyelamatkan kedirianmu.

Jika kehidupan sekarang telah menjelma system yang ribet dan sangat ribet, maka tugasmu adalah meneguhi tentang pemikiranmu, dan jadilah tetap seperti dirimu.

Kenanglah, semakin engkau melanyahkan tentang kedirianmu, atau engkau semakin memahami tentang ‘dirimu’ tentu kehidupanmu menjadi ‘gampang’ dan ‘mudah’, menyenangkan dan menerima alur yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Bukankah landasan utamamu adalah engkau percaya kepada-Nya? Maka tanam-kokohkan sekali lagi tentang landasanmu tersebut.

Semakin engkau menguatkan tentang landasanmu tersebut, maka engkau akan menerima hidup yang memang harus diterima; segala soal yang menyerbu ‘jasad’ atau ‘ruh’mu adalah sebuah kepastian yang telah ditakdirkan. Sebab segala soal yang datang kepadamu adalah godaan masihkan engkau kuat memegang landasanmu tersebut? Atau, disaat engkau ‘tercerahkan’ apakah engkau menjadi ‘sombong’ dan berbangga diri, karena merasa tercerahkan, padahal engkau belum mati, jasadmu belum mati, yang bisa saja, setelah detik ini, ‘pencerahanmu’ dicabut dan digantikan dengan takdir yang ‘menggelapkan’, yang kelak tempatmu adalah neraka; maka engkau harus memohon kepadanya: masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar, dan keluarkan aku ke tempat keluar yang benar.

Artinya, jangan lalaikan tentang-Nya: jangan bunuhkan ‘konsep’ tentang-Nya dalam pemikiranmu karena engkau lalai atau tergoda oleh kemilau dunia.

Yang pasti, teguhkanlah dirimu, kedirianmu: jika engkau ditetapkan menjadi pemikir kelas desa. Kataku, memangnya salah kalau pemikiran kelas desa? Bukankah ini lebih ‘meringankan’ bebanku: dan bukannya semakin engkau memikirkan sesuatu yang besar, maka disitu tanggung jawabmu semakin besar. Sekarang saja, tatkala engkau berpemikiran kelas-desa, ingatkah bagaimana tanggung jawabku terhadap desa tersebut? maka, kembalilah menjadi pemikir buat diri sendiri. Itulah yang penting saat ini: menyelamatkan kedirianmu, menyelamatkan kejiwaan, keragaan dirimu sendiri dengan cara meminta bantuan orang-orang pendahulumu, yakni orang-orang yang telah ‘masuk’ ke ranah ‘islam’ terlebih dulu. Mintalah dukungan lagi bantuan kepadanya, dan katakan: sungguh aku orang yang belajar beriman, maka teguhkanlah aku menjadi orang yang beriman dengan cara, bantu dan dukunglah aku dalam seluruh hal yang memberatkan beban pikiran dan kenyataanku.

Sungguh! Sebelum ini, kenyataanku teramat buruk. Lintasan pengetahuanku adalah acak; lintasan pengetahuanku tidak sistematis. Maka bantulah aku dalam seluruh ‘perjalanan waktuku’.

Jika kau bertanya, apa arti hidup buatku?

Jawabku, hidup adalah menjalani tentang takdir yang ditetapkan dan kita penting berusaha yang terbaik sebelum kembali kepada-Nya.

Jika kau bertanya, mengapa aku membutuhkanmu?

Jawabku, karena aku merasa tidak mampu melaksanakan hidup secara sendiri. Itulah sebabnya aku membutuhkanmu.

Terakhir, berpemikiran dasar itu tidak buruk, Taufik. Teruskanlah, pertahankanlah…

2017

Belum ada Komentar untuk " Nasihat: Pemikiran Yang Dasar "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel