Fardu Wudhu: Mari Dikonfirmasi ‘Pengetahuan’ Wudhu Kita.










Hari ini kita mengingat ulang tentang mengaji fardunya wudhu, dan kita kemarin telah menerangkan pembagian hukum-hukum dari islam: ada fardu, ada sunah, mubah, makruh dan haram, itulah hukum islam, dan wudhu ini ada pada bagian fardu dan sunah, dan yang sebenarnya kita telah mengetahui, namun acapkali kita ‘lalai’ untuk menjerit yang kita ‘tahu’ itu. sebab memang umumnya, zaman sekarang ini, masalahnya bukan pada tentang-ketidaktahuannya, namun pada mau nggak mencari tahu, atau malah bukan tentang itu, yakni, mau nggak kita ‘mengonfirmasi’ pengetahuan kita.

Bahasa ‘konfirmasi’ ini sering saya sebutkan, karena memang kita kurang mengonfirmasi pengetahuan yang sebenarnya telah kita ketahui. Dan kita agak males untuk itu, dan kita kadang malah lebih memilih hal yang praktis, yakni mendengar ceramah. Mendengar ceramah itu bagus, tapi juga penting untuk mengonfirmasi pengetahuan yang telah kita miliki. Caranya, membaca ulang tentang kitab yang menjadi rujukan. Jika kemarin-kemarin menggunakan terjemahan, atau teks terjemahan, maka hari ini penting untuk membaca yang itu bukan kitab terjemahan.

Apakah bisa membaca? Jawabnya, tentu bisa, kalau kitabnya adalah kitab-kitab yang dasar; menurut saya, kitab dasar itu berusaha mensistematiskan pemikiran kita yang memang telah tidak tersistem, karena memang zaman mengajak untuk ‘mengacak-acak’ pengetahuan. Lho kok bisa? Zaman mengajak untuk mengacak-acak pengetahuan.

Lha pengetahuan sekarang berada dimana-mana. Informasi adalah wujud dari pengetahuan. Dan itu kita dapatkan, entah itu pengetahuan islam, atau pengetahuan non-islam, yang pasti itu adalah pengetahuan. Kembali ke kitab:





Berapa fardu wudhu?

Fardu wudhu itu enam, pertama niat hendak membasuh wajah, Kedua, membasuh wajah. Ketiga, membasuh kedua tangan. Keempat membasuh sebagian kepala atau rambut. Kelima membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Keenam, tertib.





Hal seperti itu, atau fardunya wudhu, kita telah mengetahui, yang kadang kurang kita ketahui biasanya redaksi teksnya, karena kita seringnya menjalankan langsung, bukan ribet untuk menghafalkan teks. selain itu, karena memang ‘bukan’ tradisi kita hapalan teks, seperti tradisi orang-orang arab. Tradisi hapalan, itu memang dimiliki oleh orang-orang arab, yang memang, mungkin, otaknya cerdas-cerdas, oleh karenanya tidak mengherankan jika anak-anak mereka, kecil sudah hapal al-quran; di tempat kita. Hehe berbeda tempat, memang berbeda keadaan. Namanya juga berbeda, tentu tidak bisa disamakan. Tidak bisa di plekkan.

Kita sering menjalankan fardunya wudhu, tapi, kadang, kalau ditanyakan secara langsung, kadang kita grogi dan lupa: berapa fardu wudhu? Padahal kalau kita menjalankan kita bisa. Kok bisa begitu? karena backgrone kita adalah menjalankan islam, bukan ribet tentang ‘teoritis’ islam. namun, bagi orang-orang yang katakanlah ‘kiai’ pastinya mengetahui atau harusnya mengetahui atau hapal tentang hal-hal tersebut.

Jika kamu bertanya saya? Jawaban saya, saya tidak hapal. Alasannya, karena saya mengonfirmasi pengetahuan saya. Saya laksana memasuki dunia baru yang itu masuk pada tataran sistematis keislaman, dan saya melalui jalur ilmu fikih. Sebagaimana telah saya bicarakan, yang kemarin-kemarin, dulu saya mengaji ini secara langsung di masjid: bahwa sebenarnya kitab ini adalah untuk anak-anak, namun bagi saya, kitab ini penting, untuk mensistematiskan pengetahuan yang telah kita miliki.

Oke, ke kitab:

Pertama niat, untuk madhab imam syafi’I ini, niat itu sangat penting—apa-pun itu harus niat. Begitu ya? Hehe saya itu tersenyum karena kita sering mengetahui bahwa baiknya sebelum mengerjakan sesuatu kita niat, namun, namun, namun

Kita sering lalai untuk meniatkan diri.

Kita sering ‘mengabaikan’ tentang keniatan.

Kita sering ‘menyepelekan’ perkara niat, walau pada dasarnya tidak menyelepelekan.

Dan kita sering ‘males’ untuk meniatkan. Hehe

Yang jelas, dalam madhab imam syafi’I, niat itu penting. Dan kalau wudhu maka saat hendak membasuh. Informasi: kalau niatnya dikeraskan, maka kecepatan niat itu agak lambat. Kalau niatnya di dalam hati atau pikiran, maka lebih cepat. Karena bekerjanya pikiran itu kan sekedar mengingat maksud dari apa yang kita kerjakan.

Kedua, membasuh wajah.

Ketiga, membasuh kedua tangan.

Keempat membasuh sebagian kepala atau rambut.

Kelima membasuh kedua kaki sampai mata kaki.

Keenam, tertib.

Begitu kan, kita sekedar mengulang apa yang telah kita ketahui, mengulang sekaligus mengonfirmasi, sekaligus saya menganjurkan untuk ‘mengaktifkan’ rasio kita, tentang pengetahuan keislaman kita: maksudnya jangan malas untuk berpikir tentang pengetahuan yang telah mendarah daging dalam diri kita. Pengetahuan memang telah mendarah daging, namun kalau ditanyakan, kok gak bisa, berarti darah-daging yang belum sampai pada perkataan. Maksudnya begini: kalau kita mengonfirmasi lagi pengetahuan yang telah meresap di dalam diri kita, maka kita bisa mengatakannya. Artinya, ayo sinau lagi, jangan sampai kita ibadah yang tidak-tahu padahal kita tahu. Begitu ya. Hehehe



Berapa perkara yang membatalkan wudhu?

Perkara yang membatalkan wudhu itu lima: 1, Keluarnya sesuatu dari jalan-dua 2, Tidur yang tidak menetap pantanya di lantainya. 3, Hilangnya akal sebab mabuk atau gila atau ayan. 4. Memegang perempuan lain. 5, Memegang fajri dengan telapak tangan.


Saya menjelaskan di sini ‘yang membatalkan wudhu’ di sini sekedar memberitahu: bahwa kita telah mengetahui tentang perkara yang membatalkan wudhu, masalanya yang sering kita dapati adalah kita tidak tahu kalau secara arab redaksi yang membatalakan wudhu, padahal kalau kita mengetahui seluruh pengetahuan islam, maka kita seenggaknya mampu menghafal kitab-kitab fikih standar. Tapi sekarang, kita sering kemasukan pengetahuan-pengetahuan hadist, sehingga, seakan-akan, kita mampu mengesahkan tentang hadist itu dan memutuskan; inilah zaman sekarang, setiap orang laksana mampu memutuskan hukum buat dirinya sendiri. Dan ini wajar buat zaman sekarang, karena orang pandai itu banyak. Orang pandai itu melimpah, namun entah: apakah yang banyak itu senantiasa menjaga ‘kesuciannya’? menjaga shalatnya? Dan menjaga keislamannya? Allahu a’lam.

Selanjutunya



Makruh dalam wudhu?

1, Berlebihan menggunakan air. 2, Berbicara selain Dzikir Allah. 3, Meminta tolong tatkala wudhu kepada orang lain.




Makruh, perkara yang disunahkan untuk ditinggalkan. Artinya, jangan boros terhadap air—tapi Indonesia kan banyak air, air melimpah-limpah, tapi yang pasti, keterangannya umat muslim, bahkan soal wudhu pun jangan disia-siakan airnya. Karena air itu berguna. Lha kalau di Indonesia itu, airnya melimpah. Tapi ini akan terjadi, kalau kita musim kemarau panjang, jadi kalau wudhu jangan berlebihan mengunnakan air. Lalu jangan bicara kecuali melakukan doa-doa wudhu. Pokoknya wudhu, ya wudhu thok. Jangan omong-omong, itu makruh: makruh hukumnya disunahkan untuk ditinggalkan, maka dapat pahala. Tapi, kalau dikerjakan ya tidak papa, dan itu tidak dapat siksa. Begitu.



Apa perkara yang diharamkan saat orang berhadas kecil?

Haram bagi yang berhadas: 1, Shalat. 2, Tawaf. 3, Dan memegang Al-Quran dan membawa mushaf.



Begitulah yang diharamkan tatkala kita berhadas kecil; haram untuk shalat, jadi sebelum shalat kita harus benar-benar yakin bahwa kita suci, kalau tidak suci maka status shalat di sah, kalau shalat tidak sah, maka tidak dapat pahala. Inilah fikih: fikih itu orang paham terhadap sesuatu perkara, ketika paham, maka pasti kental dengan nuansa hukum. Efek dari hukum adalah pahala dan siksa. Kalau kita melakukan haram, maka kita menabung siksa, kalau melakukan baik mendapatkan pahala. Soal rincian itu, nanti lagi, saya juga kurang tahu tentang perinciannya sampai ke hal tersebut, yang pasti ada kajiannya: telah ada yang mengurai sampai ke hal tersebut.

Kalau madhab imam syafi’in, saat hadas kecil, tawaf tidak boleh. Tapi kayaknya, tatkala kita di mekah, sekarang ini, ada peraturannya sendiri. Agaknya telah ditraining alias dibelajari tentang ‘islam’ menuju mekah al-mukaramah. Kalau dalam sejarahnya, dulu itu, bergiliran madhab, tapi sekarang tidak lagi: entahlah saya tidak tahu, saya belum ke sana.

Yang ketiga, dilarang untuk memegang dan membaca al-quran. Nah sekarang, al-quran itu yang seperti apa? Sekedar buku yang bersusun kertas-kertas itu, atau yang ada di laptop atau, hape, atau gadget: yang pasti, dikembalikan ke niatan awal: kalau berhadas kecil, jangan menyentuh atau membawa mushaf. Jika ada yang membaca apakah menegor? Jawabku, jangan gegabah untuk menegor, jangan-jangan dia males untuk ditegor; tapi kalau ada waktu, maka dibicarakanlah tentang bagaimana menghormati al-quran. Bukankah efek dari diharamkannya memegang dan membawa al-quran adalah kita menghormati tentang wujud al-quran? Menjaga kesuciaan ayat-ayat-Nya. Karena kita beriman kepada-Nya, maka kita menghormati yang itu adalah tanda-tanda-Nya. Tapi masalah zaman sekarang, kadang kita tahu tapi kita menerjang sesuatu yang telah kita ketahui. Mudah-mudahan kita bukanlah termasuk golongan orang-orang yang lain.

Rabbana ‘alaika tawakalna wailaika anabna wailaikal masyir. Amin.

Belum ada Komentar untuk " Fardu Wudhu: Mari Dikonfirmasi ‘Pengetahuan’ Wudhu Kita. "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel