Buat Kekasih: Eksistensi ‘Hidup’ Yang Unik







Cinta harus ‘mewujudkan’ kecintaannya, layaknya seorang yang beriman harus mewujudkan keimananannya; awalnya ada di dalam diri, kemudian bertingkat kepada lidah, yang kemudian kepada nyata. Begitu juga denganku, kepadamu: lewat pengakuan dalam diri, yang diteguhi, yang lamat-lamat ‘berdaya’ untuk keluar lewat lidahku, dan bakal berani menjumpaimu dan mengatakan:

Aku membutuhkanmu.

Sungguh, ini bukan bentuk rayuan, namun bentuk pengakuan yang itu adalah bentuk dari kekurangan, karena kekuranganku kepada diriku yang itu membutuhkanmu, maka aku berani ‘mengakui’ bahwa aku membutuhkanmu.

Jika sekarang, aku belum datang dan masih ‘mengumpat’ untuk menemuimu, kenalilah, bahwa aku mengumpulkan daya untuk menyatakan, bahwa aku membutuhkanmu. Mengumpulkan pundi-pundi untuk datang kepadamu:

Aku enggan datang ditemani kemiskinanku, apalagi kemiskinan ilmu.

Namun ketahuilah, bahwa aku mulai mendatangi orang-orang yang itu berkaitan dengan ilmu, mendatangi mereka dengan alasan sederhana:

Aku membutuhkanmu, untuk menguatkan diriku; sungguh, aku telah melihat berbagai buku-buku yang telah ada, namun bagiku, masuknya ilmu dalam pikiranku teramat payah, karena aku ‘tidak’ menjumpai secara terang kepada mereka, oleh karenanya, aku membutuhkanmu; berikanlah dirimu, berikanlah kejiwaanmu kepadaku, biar aku pelajari, biar aku teruskan perjuanganmu. Bukankah engkau memperjuangkan sesuatu yang itu adalah sama denganku? Hanya saja, saya membutuhkan pentatihan yang perlahan. Membutuhkan belaian kelembutan hatimu; dan sungguh, aku datang kepadamu karena aku membutuhkanmu, mengobati penyakit dalam hati dan akalku. Bukankah engkau tahu bahwa datangku bukan tentang system namun aku laksana membuat system yang ada di dalam system; kataku, ini adalah system kepercayaan. Karena aku telah percaya sungguh kepadamu. Maka sertakan aku dalam perjalananku. Sungguh, tidak semua orang aku dekati seperti mendekatimu. Kedatangaku kepadamu adalah karena berlabel kepercayaan; percaya bahwa kita bertujuan sama, yakni siap-siap kembali kepada-Nya dan berusaha bertahan atas nama ‘hidup’ pada hamparan ‘bumi’ yang kita hidup di atasnya, harus sabar dan tabah menerima ujian dari-Nya. Maka bantulah aku, menyelamatkan ‘penyakitku’ sungguh, bantuanmu betapa sangat kutunggu.

Itulah yang baru-baru terjadi kepadaku—aku mulai berani mendatangi yang lain, namun masih risih dan rikuh untuk mendatangimu. Yang pasti, dalam diri aku berkata-kata:

Oh lihatlah kehidupanku, menjelma sesuatu yang aneh, yang itu sarat pertalian hati dan berlabel kepercayaan, sekeda mempercayai dan aku mulai menyandarkan kepada orang-orang. Mendadak hidupku teramat unik, lucu, seram, dan menantang. Mendadak semuanya laksana terbuka dan seakan-akan aku begitu kurang akan waktu, dan aku selalu ingin datang kepadamu; duduk bersamamu, becanda, dan mengatakan:

Ternyata hidup memang seperti ‘ini’: bahwasanya, kita memerankan sesuatu yang telah diperankan dan kita berdaya diri untuk tabah dengan peran yang telah dititahkan; sekali pun begitu, karena kita mempunyai ‘akal’ maka kita merencanakan dan pada akhirnya, Tuhanlah yang menentukan.

Namun ingatlah, sayangku, terpaan realitas, dan watak-asli kemanusiaan kita, senantiasa mengoda kita untuk lalai kepada-Nya, senantiasa lalai bahwa kita diawasi oleh-Nya; oleh karenanya, ingatkan aku kalau aku melampaui batas. Ingatkan aku, kalau hidupku ‘sarat’ tidak realistis. ingatkan aku, kalau aku melanggar tentang ‘syariat’ agama. Ingatkan aku kalau aku lalai.

Bangunkan aku saat aku asyik ‘bermalas’ dalam ibadah.

Sapalah aku saat aku asyik ‘dalam’ hal-hal penampakan.

Tegurlah aku saat aku berdaya ‘mengakui’ ketuhanan.

Apakah itu ‘keperakuan’ ketuhanan?

Yakni, bahwa ‘aku’ sudah melampaui sifat-sifat dari-Nya, aku sombong dengan waktu yang terjadi, dan aku lalai bahwa aku adalah milik-Nya, aku lalai bahwa Dia adalah sesuatu yang tidak disamakan. Bahwa dia adalah yang mengatur tentang semuanya.

Ketahuilah, merangkai kata-kata—atau dunia kata-kata—bisa jadi, setiap orang bisa, namun untuk meneguhkan apa yang dikatakan, sungguh, itu bukanlah perkara yang mudah. Dan engkau tahu, banyak orang yang mengaku beriman, namun ‘lalai’ bahwa mereka harus menjalankan ‘ibadah’. banyak yang mengaku iman, namun dia tidak mencintai mahluk-Nya, dan malah menaruhkan benci dalam dirinya kepada mahluk-Nya.

Dan kembali tentang eksistensi hidup yang unik. Sekarang, begitulah diriku, menjalani hidup yang bagiku, merasa heran dengan apa yang terjadi dengan diriku; mulai menyambangi orang-orang dan mengatakan:

Aku membutuhkanmu. Menyelamatkan penyakit yang menimpa diriku, tentang keberadaanku, tentang kejiwaanku, tentang pemikiranku.

Dan kalimat-kalimat itu pun, sungguh, berlaku juga buatmu. Jika aku belum mendatangi secara nyata dan menyatakan itu:

Kataku, bohong, kalau aku tidak mau untuk menyapamu.

Bohong, kalau aku tidak mau bercanda denganmu.

Bohong, kalau aku tidak mau bercakap-cakap denganmu.

Sayangnya, saat-saat ini, aku belum mampu secara sungguh untuk menjumpaimu, jika waktu mempertemukan, maka bagaimana aku bisa menolak? Dan bersama ini, aku berusaha sabar dengan apa yang terjadi denganku.

Dan kataku, bahkan mencintaimu, atau mengingatmu, atau menjalin-pemikiran kepadamu, menjadikanku terheran dengan diriku: dan meneguhkan sekali lagi, untuk menyatakan:

Kehidupanku menjelma sesuatu yang unik, yang itu menjalin-jalin, dan engkau adalah focus utamaku. Ini bukan rayuan, karena bersamamu, dengan leluasa aku menyampaikan maksud sungguhku: sebab, jika aku bertemu dengan guru-guruku, maka ada satu maksud, yakni tentang dirinya, namun kepada dirimu, seluruh maksud-maksud dari perkumpulan jalinan guruku tertampung kepadamu secara penuh dan leluasa.

2017

Belum ada Komentar untuk " Buat Kekasih: Eksistensi ‘Hidup’ Yang Unik "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel