Surat Buat Guru: Aku Tidak Mencerminkan Diri, Tapi Aku Dipertemukan Cerminan Diri







Aku tidak mencerminkan diriku, tapi aku laksana dan kataku ‘dipertemukan’ cerminan diri, yakni kepada guruku. Itulah diriku, dan aku pun awalnya tidak memilih-milih untuk lebih dekat, rekat dan akrab dengannya. Tidak! Apalagi sampai mencerminkan diriku kepadanya. Tapi, dilalah, aku seakan, melihat diriku ada padanya.

Melihat diriku benar-benar ada padanya.

Aku tergamblangkan melihat diriku ada padanya.

Ya! Aku memandang diriku ada padanya.

Dan aku persis dihadapkan diriku lewat dirinya, dan bagaimana aku menolak dia menjadi ‘cerminku’ karena memang aku melihat diriku ada padanya?

Ketika melihat diriku lewat dirinya, mengapa aku tidak mencerminkan dirinya untuk diriku? Mengubah apa yang pernah dia laksanakan dan salah, dan saya yang membenarkan tentunya untuk diriku. Dan kukatakan, aku dipertemukan tentang cerminan diri; dan sungguh, aku tidak mampu mereka-reka diriku untuk menjadi plek dengannya, jika pun ada yang sama dengannya, bagaimana aku menolak untuk dikatakan begitu? lha faktanya aku dihadapkan cermin lewat dirinya, tentunya aku menyerupai dirinya.

Perjalanan waktu menyatakan, aku adalah persis dengannya. Baiklah kusebutkan:

Kami kurang mementingkan ‘kepentingan’ sendiri, melainkan kepentingan orang lain.

Kami kurang menghormati ‘kepentingan’ sendiri, melainkan menghormati kepentingan orang lain.

Kami kurang ‘menampakan’ diri sendiri, dan lebih menampakkan kepentingan orang lain yang itu terpengaruh dengan kepentinganku itu sendiri.

Kami kurang memikirkan ‘kepentingan’ sendiri, melainkan memikirkan kepentingan orang lain.

Kami kurang ‘terada’ saat bersama orang lain, karena kami menjadi ‘dia’ dan menyerahkan kepadnya.

Karena itu, kami mengakui, bahwa kami ‘sombong’, dalam arti kami kurang mementingkan kepentingan individu padahal individu itu juga penting untuk dipentingkan; karena kami ‘terburu’ bahwa semuanya adalah milik-Nya, semuanya telah tertakdir oleh-Nya. Ternyata, untuk menyatakan semua adalah milik-Nya membutuhkan eksensistensi kemanusiaan yang bermodal tentang ‘pengetahuan’ dan ‘kepentingan’ individual yang harus mencukupi tentang eksistensi hidup, yakni materi. Nilai-nilai materi.

Materi membenani kami. Materi mengusik kedamaian kami.

Materi mengajak kami, untuk lebih bersikap pasrah dengan prisip kami: semua adalah milik-Nya dan gusar, gelisah, harta, materi, sedih, itu sudah biasa, maka kami berdaya, menerima apa yang telah ditentukan-Nya.

Yang kemudian, ternyata, untuk mengakui ‘penerimaan’ yang ditentukan-Nya, tidak semudah yang dipikirkan. Jalan menuju ‘penerimaan’ bukanlah yang ringan dan gampang, jalan yang payah dan sangat terjal, maka dibutuhkan tentang pengetahuan. Kalau sekedar melakukan perjalanan, setiap kita, bagi yang berjalan, pasti bisa berjalan, akan tetapi, bagi orang yang mempunyai tujuan: yakni kepada-Nya, maka harus mengerti dan memahami jalan tentang-Nya. Ringkas kata, bertujuan boleh saja, melainkan harus mempunyai sasaran dari sebuah tujuan; cara mengetahui dengan ilmu.

Maka aku dipertemukan dengan orang yang ditaruknya ilmu-Nya kepada tubuhnya. Dan lagi-lagi, aku dimiripkan tentangnya:

Kami sama-sama penyuka terhadap ilmu, namun terlalu banyak ilmu yang harus diraih, darimana kita memulainya?

Kami sama-sama penyuka terhadap ilmu, namun mengapa kami tidak tergairahkan sungguh untuk melambungkan diri yang itu sarat dengan keilmuan.

Kami mencari ilmu ke tanah jawa, kami mengharap ada berkah dari guru dan mendapatkan jalan keluar terhadap sesuatu yang menganjal diriku.

Kami begitu mencintai ilmu, sampai-sampai kami lalai tentang realitas, bahwasanya hidup kami pun bergandengan dengan realitas. Hidup kami pun harus berreaitas: ilmu boleh, tapi penting realitas.

Kami begitu mencintai ilmu, sayang, kami kurang ‘merealitaskan’ atau mengokohkan atau mengikatkan tali keilmuan.

Kami kalah terhadap realitas, kami sering ditepikan kepada realitas.

Kami kalah terhadap realitas, kami sering diasingkan kepada realitas.

Kami laksana tak berguna, kami pun punya hati, yang kadang ingin digunakan.

Ternyata, itu godaan hati, itu godaan pujian, itu godaan-godaan atas nama.

Tapi waktu selalu tidak bisa kembali. Sejarah telah terjadi; apa-pun yang terjadi, itu telah terjadi. Itulah kisahku. Itulah catatan waktu. Saat orang mencari, begitulah diriku. Tatkala dia menemukan kekuranganku, maka wajarlah, aku pun manusia. Tatkala ada yang menemukan titik-lemahku, jawabku, wajarlah aku pun manusia.

Tatkala ada yang membenciku, jawabku, wajarlah, karena ada yang mencintaiku.

Tatkala ada yang mencintaiku, jawabku, wajarlah, karena ada yang membenciku.

Begitulah teki-teki hidup. Begitulah esensi dari hidup. Tentang keragaman, yang sebenarnya, kalau dipikir-pikir ulang adalah tentang keseragaman, yakni sesuatu yang berbeda tapi tetap satu.

Dan lagi, aku tidak mencerminkan diriku kepadanya. Jika pun aku mirip dengannya, itu memang aku seperti itu. Jika pun aku laksana seperti dirinya, itu memang aku seperti itu. oleh karena itu, kami merasa akrab, dekat, rekat dan saling menjalin: karena kami merasa, ada ikatan di antara kami. Itulah kami. Inilah kami.

Jika ada yang berkata, kenapa bisa dipertemukan semacam ini? Menjadi jalinan satu-arah dan seakan mirip, malah bahkan terkesan sama?

Jawabku, tapi kami berbeda lho. Kami memang agak mirip, tapi kami pun mempunyai perbedaan. Dan kami, tidak bisa dikatakan ‘plek’, karena kami memang berbeda. Setiap kita adalah manusia yang berbeda, walau pun kita sama-sama mahluk yang bernama manusia.

Akhir kata, karena aku melihat diriku ada padanya, maka tentu aku akan bercermin kepadanya, semampu daya, meniru apa yang baik darinya dan menepikan yang buruk darinya. Dan o betapa beruntungnya diriku, karena dihadapkan oleh yang cermin yang nyata. Alhamdulilah.

Rabbana la tuzigqulubana ba’da idhadaitana wahablana milladunka rahmah. Innaka antal wahab. Amin.

2017

Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Aku Tidak Mencerminkan Diri, Tapi Aku Dipertemukan Cerminan Diri "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel