Surat Buat Guru: Pemikiran Jalinan strukturalisme Islam






Pola pikirku—sebenarnya aku ingin berdaya menyerah dengan sesuatu yang menggerogoti pemikiranku, dan menjalani hidup serealistis mungkin, yang berjadwal dan mengikuti system yang telah disepekati dan aku tinggal mengikuti, namun yang terjadi, saya malah semakin menjadi terhadap sesuatu yang terjadi di dalam diriku, di dalam pemikiranku—benar-benar semakin menjadi dan kini, menjelma suatu ikatan demi ikatan, yang kadang membuatku tertawa, terheran lagi terkejut, sambil membatin:

Wuih… ternyata pemikiranku menjadi seperti ini! unik juga ya menjalani pemikiran yang seperti ini: yakni, menjalinkan ‘pemikiran’ kepada orang-orang lain, yang itu berlabelkan ‘islam’ atau percaya kepada sesuatu yang disebut Allah; seringkas klaim, kami sama-sama satu prinsip dan aku membutuhkan mereka. Yang kemudian, saya persis terhubung kepada jutaan manusia-manusia yang lain, yang masih kabur, karena saya belum mengerti benar terhadap ‘jaringan’ satu prinsip yang sama, yang berlatar-belakang sama: yakni sama-sama mahluk-Nya.

Seperti dalam mimpiku, kepadamu: yakni, saat engkau datang kepadaku, maka engkau berserta rombongan dengan murid-muridnya gurumu, karena mereka adalah muridnya, maka mereka adalah ‘percikan-percikan’ pemikiran dari gurumu, yang kemudian aku lebih serasi atau cocok denganmu, namun tetap saja aku membutuhkan teman-temanmu, karena keberadaan mereka adalah melengkapi terhadap kekuranganmu.

Keherananku adalah, bahwa aku adalah focus utama dalam hal ini, yakni menjadi tokoh utama dalam hal ini—dan tentu itu pemikiranku, karena aku yang berpikir semacam itu. dan aku enggan membicarakan yang lain, karena aku tidak ‘mengetahui’ secara pasti apakah mereka berpikiran seperti halnya aku berpikir? Dan jawabku, itu tidak penting, yang penting aku berdaya menyelamatkan pemikiranku. Karena ternyata juga, berpikiran semacam ini, adalah lebih menenggelamkanku pada pola yang disebut pemikiran dan aku lupa bagaimana keluar, atau memang aku tidak bisa keluar karena terlanjur ‘nyaman’ dengan jalinan semacam ini.

Bagaimana saya tidak nyaman? Sebab saya ditemani oleh jutaaan orang-orang yang sama satu prinsip, dan sama satu tujuan. Itulah yang menjadikan alasan ‘mengapa’ aku selalu betah, dan seakan enggan ditarik untuk keluar dari zona nyaman ini. pikirku, mengapa aku harus keluar? Yang penting bagiku sekarang, adalah merealistiskan tentang ‘jalinan’ tersebut. yang ternyata, tidak gampang, menyatakan jalinan tersebut.

Sebab aku kurang jeli, menyampaikan maksud melalui kata-kata.

Aku kurang pandai, merangkai kata untuk mencapai maksud.

Padahal maksudku begini:

Aku datang kepadamu karena aku memang harus datang kepadamu, yang itu meminta bantuan darimu, karena aku ‘merasa’ ada kecocokan denganmu, dan label utamaku adalah ‘islam’: sungguh, engkau telah mengetahui ‘islam’ yang kumaksud. Andai aku menguraikan, tentu, itu tidak sopan, karena engkau lebih dulu ‘jalan’ pada jalan ini, yang tentu mempunyai banyak pengalaman; sementara aku adalah pejalan yang baru saja menemui teman untuk aku ikuti, dan itu pun sungguh, aku tidak memilih mengapa harus kamu yang kudekati. Setelah aku amati lebih jauh, ternyata, kita memang dipertemukan untuk bertemu dan saling melengkapi; dan ingatlah, pasti ada sesuatu dalam diri saya yang itu engkau butuhkan, begitu juga denganmu, pasti ada sesuatu yang ada dirimu sehingga aku lebih akrab denganmu. Oleh sebab itu, bantulah aku, di jalan ini. jika sejauh ini, aku selalu melangkah dalam ruang-ruang yang gelap lagi samar, tentunya sekarang aku lebih melangkah pada jalan yang terang lagi benderang, karena ada kamu yang menyangking obor dan aku mengikuti. Bahasa lainnya, aku juga yang meneruskan apa-apa yang telah engkau jejaki.

Jika kau bertanya, apakah sebelumnya aku mengharapkan ‘jalan’ seperti ini?

Jawabku, aku tidak tahu hingga kemudian aku memang harus jalan seperti ini.

Yang kemudian, jalinan itu, tidak hanya sampai kepadamu, namun kepada yang lain-lain, kedatanganku, atau prologku adalah serup; hanya sebagian orang yang didekati, yang itu seakan adalah selaras buat oemikiranku, dan pada akhirnya, menjadikan ‘pemikiranku’ semakin unik dan njlimet yang layak dikatakan:

Mengapa engkau lebih tertarik dengan sesuatu yang di dalam dan mengapa engkau tidak sibuk di luar?

Jawabku, sebenarnya aku ingin ‘keluar’ dari sesuatu yang di dalam, namun, itu malah menawarkan ‘damai’ yang lebih, dan mengapa aku harus menanggalkan sesuatu yang di dalam; dan sungguh, aku bertemu dengan mereka, karena aku sibuk di dalam, dan sekarang, aku berdaya mengonfirmasi jalinan secara luar; artinya, mulai sibuk dengan sesuatu yang disebut luaran:

Yang mana kata-kata adalah sarat ambigu.

Kata-kata mampu mempunyai makna ganda.

Dan Kata-kata juga mampu ‘melengcengkan’ maksud sesungguhnya.

Yang dengan itu, lamat-lamat, aku menyakini, mampu memerdekakan atau mensejahterakan diriku, antara teori dan praktek; yang selanjutnya, tentu engkau penting menitah diriku!

Jika ada yang bertanya, mengapa engkau menjalan sesuatu yang ‘belum jelas arah’ adanya?

Jawabku, justru sekarang inilah, itu yang menjadikanku sangat jelas arahnya.

Jika ada yang bertanya, lalu bagaimana dengan realitasmu?

Jawabku, memangnya ada apa dengan realitasku? Namun aku tahu arah pertanyaanmu, maka jawabnya: realitasku cenderung memburuk. Semakin memburuk, namun bersamaan itu ada rangkap kemudahan.

Terakhir, begitulah kehidupanku sekarang: bukankah ini jalinan yang asyik dan menarik? Jawabku, tenang dan sabarlah saat engkau bersama realitasmu.

2017

Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Pemikiran Jalinan strukturalisme Islam "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel