Surat Buat Guru: Bagaimana orang-orang arab-dulu percaya kepada Rasullah, yakni utusannya Allah. Manusia yang diutus Allah; manusia yang menjadi utusan Allah yang mengusai semesta? Heran!





Engkau bersaksi bahwa aku mengkaji hadist, aku adalah pelaksana tentang agama islam, adalah sering melafatkan syahadatain, sering mengucapkan lafad: ashaduanna Muhammadar rasullulllah. Sering mengulang-ulang kalimat itu, dan bahkan saya sering puji-pujian, yakni tentang syair-syair atas nama Muhammad, dan engkau bersaksi bahwa aku adalah vocal dalam grup rebana, adalah pendendang tentang nama ‘Muhammad’ dan mengapa aku baru terheran-terheran, lagi takjub dengan diksi:

Rasul Allah.

Utusan Allah.

Manusia yang diutus Allah, yakni Muhammad.

Padahal aku sering mematai tentang sejarahnya, sering mengamati bagaimana tentang hadist, sering mendengar hadist secara kontekstual, mengapa aku baru terheran-heran dengan diksi:

Rasul Allah.

Utusan Allah.

Manusia yang diutus Allah.

Yang kemudian efek dari keherananku adalah tentang begini: bagaimana orang-orang arab-dulu percaya dan bahkan menggunakan diksi rasullallah: bukankah itu sangat-sangat mengherankan? Apakah engkau telah ‘mempercayai’ dengan sungguh, bahwa Muhammad itu adalah utusannya Allah? maksud saya, apakah ‘percaya’ itu dalam hati dan akalmu, atau sekedar lintasan sejarah, atau sekedar tentang teks belaka, atau tentang ‘terbiasa’ mengucapkan kalimat itu?

Sebab saya belum mampu mendudukkan dengan ‘benar’ rasa percayaku kepada Muhammad:

Jika katamu, tinggal didudukan dengan benar? Yakni, percaya kepadanya. Bukankah percaya adalah sesuatu yang sederhana.

Jawabku,baiklah aku turuti katamu—aku enggan protes. Aku mulai paham, bahwa kalimat yang sederhana itu bukanlah kalimat sederhana; sebab, begitulah para filsuf cina, seringkali menggunakan diksi sederhana, padahal untuk mendapati itu adalah proses yang tidak sebentar.

Aku teringat tentang orang-orang mekah dulu, yang konon, cukup lama mulai percaya kepada Muhammad, sebagai utusannya Allah. Aku teringat perjuangan beliau menyampaikan tentang ketauhitan—walau sekilas-sekilas, yang pasti dalam kerangka akalku, terngiang, laksana menonton film tentang kanjeng Nabi Muhammad, sebab saat aku mengaji hadist atau membaca hadist, kerap juga kugunakan kontekstual, atau saya seaka-akan berperan dalam teks tersebut, wal-hasil, saat mengingat kanjeng nabi Muhammad, laksana menonton film tentang kanjeng Nabi Muhammad, yang wajahnya, untuk zaman sekarang, adalah seperti pangeran-pangeran arab itu, atau tentang para habaib, yang bermata bundar, berjambang, hidung mancung, dan begitulah orang-orang arab pada umumnya.

Dan ketahuilah, efek dari keheranku dengan diksi itu adalah diriku berdaya mencari-cari, manusia, yang diusia 40 tahun, di utus menjadi rasul atau warisan rasul, yang mana sifat-sifatnya menyerupai beliau, atau setidaknya berdaya diri untuk menjelma rasul; sayangnya, saya menyadari bahwa saya berada di daerah yang itu bukan tradisi arab, daerah yang itu bertradisi nusantara; dengan label nusantra menjadi pembeda tentang orang-orang yang saya cari tersebut; dan pada akhirnya, saya tidak mencari-cari orang yang usianya adalah 40 tahun, melainkan saya semampu daya untuk ‘meniru’ sebelum menginjak usia 40 tahun, dengan peniruan sifat-sifat dasar Kanjeng Nabi, yakni: Sidiq, amanah, tablig, fatonah: pokoknya semampu dayaku, untuk lebih menguatkan tentang ketauhidan, tentang bahwa Allah adalah yang menguasai seluruh semesta. Langit dan bumi adalah kuasa-Nya. Manusia adalah mahluk yang digenggam jiwanya oleh-Nya.

Jika pun engkau bertanya, bagaimana dengan study realitasku?

Jawabku, study masih buruk, dukunglah, mudah-mudahan studyku semakin baik, dan semakin indah; dan ingatlah—ya ingatlah—tujuanku kuliah bukan tentang perkara nilai melainkan tentang bagaimana diriku berpikir dan kemudian nilai menyusul, namun sekarang, saya mulai mengerti bahwa nilai itu pun adalah penting, karena manusia selalu menginginkan atau mengunggulkan tentang eksistensi, senang dengan hal-hal yang bersifat sementara, dan senang dengan julukan ‘tahta’; dan permintaanku kepadamu, doakanlah aku, mudah-mudahan ilmuku menjadi ilmu yang bermanfaat. Ilmuku mengantarkankan meraih kebahagiaan yang hakiki, bukan sekedar bahagia yang kemudian dicium ketidak-bahagia, bukan sekedar bahagia yang kemudian datang duka. Dan kepadamu, saya berharap ‘restu’ dukungan; jiwa dan raga; jiwa sebagai pendukung tentang kejiwaanku dan raga sebagai pendukung tentang keragaanku, dan kepadamu, aku mempasrahkan diriku.

Jika secara realitas, aku tidak sepasrah itu, jawabku, ‘mungkin’ masaku masih seperti itu, pasrahnya ‘harus’ seperti itu; dan ukuran harus bukan seperti dalam kamus-kamus bahasa atau kamus-kamus ilmiah, melainkan ‘harus’ dalam arti kekhususan, aku denganmu.

Dan kembali tentang keherananku kepadanya: manusia yang diutus oleh Allah, Muhammad.

Karena aku kepayahan, maka kataku: apakah engkau telah yakin sungguh, dan apa upayamu terhadap keyakinanmu itu? apakah engkau telah percaya sungguh, dan apa upayamu untuk kepercayaanmu?

Jika aku, maka aku berdaya diri untuk menerapkan prinsip tauhi dalam mind-set pemikiranku, dan menjalin-jalinkan pengetahuanku, bahwa aku harus berpikir layaknya Kanjeng Nabi Muhammad: jika itu memberatkanku, maka aku terima dan berkata: aku bukan Kanjeng Nabi Muhammad, aku orang Indonesia.

2017

Belum ada Komentar untuk " Surat Buat Guru: Bagaimana orang-orang arab-dulu percaya kepada Rasullah, yakni utusannya Allah. Manusia yang diutus Allah; manusia yang menjadi utusan Allah yang mengusai semesta? Heran! "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel