Surat Buat Guru: Tentang Kedatanganku







Jika kau bertanya, kenapa aku tidak mendatangimu?

Jawabku, tidakkah engkau dapati hikmah mengapa aku tidak mendatangimu.

Jika kau bertanya, kenapa aku berani mengatakan ini kepadaku?

Jawabku, inilah upayaku, menyerahkan diriku kepadamu.

Sadarilah, bahwa aku selalu menyerahkan diri kepadamu, tak ada niatan aku menolak dan menentangmu, tak ada niatan untuk mendebat atau bahkan melawanmu. Aku adalah murid bodoh yang membutuhkan cengkraman kasih-sayang dan keuletan seorang guru. Adalah murid bebal berpikir dan sombong akan ilmu, sehingga perjalanan waktu, aku tergariskan menjadi orang yang dungu terhadap ilmu, secara individu aku kurang mementingkan terhadap ‘ilmu’ individu, dan kegunaan ilmu itu untuk menyelamatkan ‘hidupku’, untuk menenangkan realitasku, untuk menjalin-hidupku bersama kedamaian ilmu; dan aku telah mendapatkan dampak-dampak dari kesombongan itu, sehingga saat aku mengadu kepadamu: katamu, kamu sombong!

Lalu aku mencari tentang sombong apa yang menyelimuti diriku.

Aku mencari kenapa engkau mengatakan itu kepadaku.

Kenapa engkau melampirkan kata itu, padahal aku tidak pernah diklaim seperti itu. terlebih kamu, yang mengklaim, seorang yang kuanggap dekat dan mengetahui gerak-gerik pemikiran dan juga curahan diriku.

Ternyata, sekarang—walau sebenarnya, sejak saat itu, aku mulai menyadari bahwa kesombonganku terletak pada ilmu, yang itu dulu berprinsip, ‘banyak orang yang tahu tapi tidak menjalankan pengetahuannya. Maka aku harus menjalankan apa yang aku tahu.’ Lalu bersama dengan prinsip dasar itu, menjadikan kepada seluruh komponen jalinan kehidupanku, seperti:

Banyak orang yang tahu memimpin, dan rebutan terhadap kepemimpinan, baiklah saya menjadi pelayan.

Banyak orang yang mengatur, dan rebutan mau mengatur, baiklah saya yang menjalankan aturan.

Banyak orang yang menasihati, dan menceramahi tentang orang-orang, baiklah saya yang menjalankan nasihat dan ceramahnya itu.

Lamat-lamat, aku melihat ada keganjalan serta keganjilan dengan orang-orang yang melimpahkan kata-kata dan bersama dirinya. Perlahan-lahan saya mulai menyindir dan mempertanya tentang orang-orang ‘yang berilmu’ dan menganggurkan keilmuannya; diam-diam yang mendukung dan mendorong dengan bahasa yang ‘rahasia’ untuk menjalankan apa yang dia tahu, tentang apa: yakni tentang islam. karena sejauh ini, garapanku senantiasa condong kepada islam, karena juga, aku terdidik dan didorong lagi didukung untuk lebih aktif menjalankan keislaman: siapa itu? Yang paling kuat adalah orang-tua. Yang selanjutnya, ‘waktu’ menempaku, atau bahasa lainnya, Allah telah menggiringku menjadi diriku yang seperti sekarang ini: mengapa saya katakan Allah yang menggiringku? Karena aku berusaha meneguhkan bahwa apa-pun telah dikehendaki oleh-Nya, dan seperti katamu: Kita bisanya berusaha dan Allahlah yang menentukan.—saya menyadari sungguh, bahwa kendala terbesarku adalah tentang kurangnya ilmu. Kalimat sombong yang kau sematkan kepadaku adalah:

Betapa sombongnya ‘akalku’ mengumpulkan pundi-pundi pengetahuan.

Betapa sombongnya ‘hatiku’ untuk mengahafalkan pengetahuan.

Namun, saya tidak kecewa dengan perjalanan waktu yang menyinggahiku, itulah takdirku. Itulah garisku. Karena aku tahu, bahwa letak soal yang sesungguhnya adalah tentang tujuan. Dan sejak dulu saya tidak memahami secara pasti tentang tujuanku; sehingga, sekali pun berjalan:

Adalah langkah yang tidak bertujuan.

Adalah langkah yang sekedar melangkah.

Adalah langkah yang kosong tentang perjalanan.

Dan sekarang, kedatanganku kepadamu adalah mengabarkan bahwa aku membutuhkanmu, siap mendengar tentang perkataanmu, tentang sesuatu yang aku butuhkan—apakah dalam hal ini saya adalah yang seakan mengaturmu?

Jawabku, aku tidak mengaturmu namun aku meyakini Dia telah menurunkan ilmu-Nya melaluimu dan aku harus mengambil kepadamu. Ada sesuatu yang Dia berikan untukku namun itu melaluimu.

Bukankah dengan hal itu, maka semakin nyata dan terang: bahwa aku adalah senantiasa menjadi muridmu, menjadi pengikutmu—dan saya berlindungan dari godaan tentang kelembutan yang menyusup pemikiran tentang kesombongan diri, tentang pembanggaan diri—menjadi sesuatu yang mengekorimu.

Apakah dalam hal ini saya adalah sesuatu yang menekanmu?

Jawabku, aku tidak menekanmu, namun aku meyakini ‘keberadaanmu’ adalah dokter buat penyakitku, yang mana aku adalah pasien yang engkau selamatkan. Aku adalah pasien yang mendatangi dokter. Pasien yang miskin mendangati dokternya.

Kataku, aku tidak tahu apa yang kuharap sungguh dirimu. Aku tidak tahu! Namun aku meyakini, ada sesuatu yang kuharapkan dirimu. Sesuatu yang itu menyelamatkan penyakit diriku. Aku tidak tahu sungguh ‘penyakit’ apa yang menyerangku; namun aku menyakini engkau mempunyai obat yang mampu menyembuhkan lukaku. Aku tidak tahu bagimana aku mengeluh ‘sungguh’ kepadamu, sebab setiap kata mampu menjadi ambigu, namun aku meyakini engkau ‘terang’ menangkap maksudku. Dan aku tidak tahu mengapa aku harus datang kepadamu, karena aku sangat tahu, sangat yakin: bahwa aku harus datang kepadamu. Aku harus datang kepadamu.

Jika memang keadaan memang menyiksa, mendera, untuk sebuah pertemuan: aku denganmu. Saya berpikir, sekarang mungkin belum saatnya aku bertemu denganmu, namun aku meyakini, lagi sangat mengetahui bahwa aku mampu menjumpaimu, sekali pun itu dalam diriku atau itu dalam angan-anganku. Karena selepas shalat-fardu, kudayakan, menghadiakan fatihah untukmu: sungguh, ini bukan tentang dirimu, namun tentang diriku, yang memang membutuhkanmu.

Hormat kami, si murid.

Belum ada Komentar untuk "Surat Buat Guru: Tentang Kedatanganku "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel