Buat Kekasih: Alhamdulilah, segala puji di serahkan kepada-Nya





Jika engkau tidak ada, bagaimana aku menjadi seperti ini? Maka terima kasih karena ‘keberadaanmu’; dirimu yang bersanatkan ‘pasrah’ menjadikanku dengan segera mengikuti langkah-langkah yang ditempuh para pendahulumu, yang memang aku pun berlabelkan ‘pasrah’ hanya saja, sejauh ini menjadi kata-kata atau label tentang ‘pasrah’, dan saat mengingatmu, menjadikanku harus mengokoh-kuatkan tentang label yang telah dititahkan untukku.

Bersama dengan labelmu, maka itulah menyulutkanku tentang api ‘kepasrahanku’ dan yang itu diperlukan tentang ‘ilmu’ dan wujud dari keilmuan, karena engkau ada, maka aku harus lebih ada, harus lebih ‘mengada’, dan ternyata, menjelma ‘mengada’ bagiku, tidak segampang menyatakan:

Aku melakukan sesuatu, maka aku ‘mengada’.

Apalah artinya diriku, kalau sekedar mengada dan tidak mengetahui usul mengapa harus ‘mengada’? Bersama diam, aku terima kekuranganku.

Apalah artinya diriku ‘mengada’ kalau sekedar mengada dan pamer tentang ‘keadaan’? maka aku kencangkan tentang sesuatu sebelum keberadaan.

Dan hal itu, semakin terbuka, semakin gamblang, saat aku mengingatmu, saat aku menatap wajahmu; dan tentunya, itu terjadi karena kekosonganmu, karena ‘kehampaanmu’ disitulah aku mengisi sesuatu yang itu adalah tentang kosong dan hampamu; jadilah engkau berdesak-desak pengetahuan, kencang motivasi pengetahuan, yang semakin ‘aneh’ menjalani sesuatu yang disebut hidup.

Harus menyatakan, alhamdulilah, sekali pun belum yakin benar tentang ‘keallahan’

Kataku, Allah itu yang menciptakan langit dan bumi. Allah itu yang mengusai seluruh jagad semesta raya.

Maka, ringankanlah pemikiranmu tentang-Nya, yakinlah dengan apa yang telah engkau ketahui: bukankah engkau mengetahui diksi Allah itu yang menguasai semesta raya? Allah itu yang menggenggam tiap-tiap jiwa? Maka yakinlah dengan apa yang telah engkau ketahui: sungguh keimanan itu adalah sesuatu yang sebenarnya ringan, yang kemudian, tatkala dipikirkan semakin dalam, maka menjadi sesuatu yang berat dan sangat berat; maka ringankanlah pemikiranmu. Sungguh, aku menasihatimu, yang itu juga berlaku buatku.

Jangan kau pikir aku adalah manusia yang sarat dengan nilai-nilai kepasrahan total, kenanglah, diriku termasuk golongan penyair, golongan seni, yang limpahan cintanya menjelma kata-kata, dan mengudari tiap-tiapan jiwa, namun kurang ‘nyata’ terhadap sesuatu yang disebut kenyataan.

Mengingatmu, menjadikanku lebat harus menjelma ‘nyata,’ karena kau benar-benar ada, dan terasa benar ‘angin’ sejukmu dalam cangkang pikiranku; ya! Melihatmu saja aku merasa bahagia—dan aku berharap cintaku bukanlah cinta yang buta, yang memuja lagi menyanjungmu saat aku ditimpuk angin-bahagia, atau angin cinta.

Aku berharap cintaku langeng dan kita tetap tabah menjalani ‘hidup’ untuk kembali kepada-Nya: bukankah engkau membacai, kecintaanku kepadamu adalah tentang aku membutuhkanmu, yang bersama itu, aku semakin ‘melejit’ tentang keakuanku.

Dan aku enggan, cintaku terseret oleh nafsu-manusia yang melimpah-limpah, dan kita bertukar-kata lalu sibuk dengan diksi-diksi yang membahas tentang keduniaan yang renyek dan menjadi nenek-peot.

Aku enggan kita geger-gegeran terhadap ‘diksi-diksi’ jiwa-jiwa manusia, karena aku berharap kita melihat lebih-jauh, mengapa jiwa itu mampu menjadi seperti itu; dan aku berharap, kita berdaya sungguh untuk selalu terikat dengan-Nya.

Dan ketahuilah, tantanganku selanjutnya adalah tentang eksistensi dari kecintaaku, artinya aku harus mulai sibuk dengan sesuatu yang disebut ‘keberadaan’, sebab engkau terlalu nyata buatku, engkau telalu terang buatku, dan sebelum kita berjumpa-sungguh, maka aku penting mengokohkan pundi-pundi tentang ‘eksistensiku’: apa itu eksistensiku? Yakni mewujudkan seluruhnya tentang diriku, tentang hasrat-hasrat kemanusiaanku, yang itu dibatasi atas nama-Nya.

Dan kejadian ini adalah sesautu yang baru buatku, yang dimana godaannya semakin besar dan lebat, yakni, saat aku sibuk pada dunia luar, maka sesuatu yang berada di dalam ‘berkurang’ dan aku berdaya sungguh, menyeimbangkan. Berdaya sungguh menyelaraskan. Kenapa? Karena engkau benar-benar ada dan sangat nyata buatku.

Jika dulu aku tidak mempunyai cinta yang benar-benar, memunculkan kegairahan, sungguh, kali ini, dengan ‘perantara’mu, maka kudapati suatu tujuan yang terang, yakni langkah-langkah untuk lebih akrab denganmu, langkah-langkah untuk melebur kepadamu.

Jika kau berkata, bagaimana dengan gurumu?

Jawabku, guruku tetap menjadi sebuah tujuan bagiku, namun saat bersamamu, bahkan menujumu adalah menuju kepadanya. Bahkan menunju guruku, kali ini, terduselkan dan engkau seakan turut untuk menghadapnya. Dan bahkan kepadamu, mereka pun turut menyerataimu.

Dan pada akhirnya, serahkan seluruh puji kepada-Nya, karena memang segala puji adalah milik-Nya, karena memang semua adalah milik-Nya. Puji-pujian atau rayu-rayuan, kembalikan kepada-Nya. Sekali pun aku merayumu, tetap saja, aku menyerahkan penuh kepada-Nya, karena Dia juga yang menggenggam jiwamu.

2017

Belum ada Komentar untuk " Buat Kekasih: Alhamdulilah, segala puji di serahkan kepada-Nya "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel