Jangan Abaikan Pengetahuan Fikihmu








Jika engkau menginginkan pertambahan ilmu, tentunya, jangan lalaikan tentang ilmu-ilmu yang meresap padamu, jangan ‘tolak’ atau enyahkan ilmu-ilmu yang telah mendaging olehmu. Jika engkau menyangkal itu, maka sudah pasti engkau menyangkal itu, dan buktipenyangkalan yang paling utama adalah saat engkau tidak melaksanakan sesuatu yang telah engkau ketahui—dan ingatlah tentang seluruh epistemology, andai engkau menggarap hal itu, yakni mempraktekkan tentang sesuatu yang engkau ketahui, maka bisa jadi itu adalah tentang nafsu dirimu, tentang ambisimu, oleh karenanya agak persempitkanlah pada sesuatu yang engkau praktekkan, dan ketahuilah fikih itu untuk mempermudah engkau menjalani hidup, lebih ringan engkau menyikapi tentang hidup. Andai engkau lanyah benar dengan pengetahuan fikih, pastilah engkau akan ringan menanggapi hidup dengan rumus-rumus fikih tersebut; sebab fikih menjadi prinsip dalam diri individu setiap muslim, atau umumnya tentang manusia—dan ingatlah, pengetahuan fikihmu itu telah banyak, hanya saja, betapa sering engkau melanggar tentang pengetahuan yang meresap dalam dirimu, oleh karenanya, pakailah sistematis fikih, dan jalankanlah perlahan-lahan.

Dan aku tidak mengajurkanmu untuk ‘berkokoh-ria’ dalam pengetahuan fikihmu, karena ingatlah, pengetahuan fikihmu atau sistematis fikihmu belum sempurna, maka ringankanlah dirimu dengan pengetahuanmu. Karena itu, maka segeralah mengkaji tentang fikih-fikih hingga sampai puncaknya (jangan mengatakan lagi: telah banyak yang telah mengkaji fikih, dan begitu banyak yang mengkaji fikih. Namun katakanlah: aku membutuhkan fikih, guna menyelamatkan keakuanku, guna menyelamatkan pemikiranku)

Di zaman informasi ini, sering-seringlah membaca, lebih banyak, lebih banyak, terlebih lagi tentang konsentrasi kajianmu, tentang filsafatmu: sungguh, filsafat adalah induk dari pengetahuan; pengetahuan yang umum, maka sekali lagi, lebih dalam untuk mengenali itu. sekali lebih lanyah, hafal tentang diksi-diksi tersebut: tancapkan bahwa filsafat adalah cara untuk melihat dunia, maka dengan filsafat tentu engkau akan menjadi bijak dan lebih adil menilai sesuatu; adil yang itu sesuai dengan kapasitas manusia. Ingatlah dakwah kanjeng nabi atau Para Wali di Indonesia: mereka mengajarkan esensi, dan saat ensensi telah kokoh mereka mengajarkan tentang detail-detail eksistensi. Dan para wali, tidak gegabah memberikan ‘jubah’ atua pakaian kepada para santri, kecuali santri itu benar-benar mumpuni dalam ilmu; hal itu seperti Sunan Giri yang memberikan jubah kepada Sunan Kali Jaga, yang kemudian dengan lembut sunan kali jaga ‘menolak’ dan mengatakan lebih memilih menggunakan pakaian ala dirinya, pakaian kejawen, dan Sunan Giri pun tidak memaksa muridnya untuk menanggalkan apa yang dipilihnya. Belajarlah dari itu, Taufik.

Dan kanjeng Nabi, di zamannya, beliau lebih menekankan tentang al-quran dibanding hadist. Lebih memprioritaskan al-quran dibanding hadist. Sebab, tawaran al-quran adalah universal dan umum, sementara hadist adalah tentang sesuatu yang bersifat khusus lalu mengumum. Mengapa demikian? Sebab setiap manusia mempunyai kualitas dan kapasitas yang berbeda.

Dan engkau telah terbiasa membaca kejiwaan atau kedirian, termasuk membaca dirimu, dan sibuk dengan dirimu, maka sekarang, sibukkan tentang eksistensimu, jangan sekedar tentang dirimu atau jiwamu, melainkan ragamu. Perhatikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wujud-wujud; berseimbanglah.

Sungguh, dengan pengetahuan fikih, hidupmu akan lebih tertata dan jelas; khususnya tertata buat dirimu dan jelas kepada dirimu sendiri—jangan begitu dijelaskan tentang perfikihanmu, ingat, konsentrasi utamamu bukan tentang fikih itu; ingatlah, zaman sekarang telah bergeyangan dan epistemoly islam atau sistematika islam sangat kuat dan kokoh, sementara dirimu, masih belajar menjadi manusia. Maka manusiakanlah dirimu, jasadmu.

Jika engkau merasa najis, maka hilangkanlah najismu.

Jika engkau mengetahui hukumnya, jangan diterjang. Ingatlah pengetahuanmu.

Jika engkau merasa tidak-suci, maka bersucilah.

Janganlah malas-malasan, sungguh efek dari malas terhadap ilmu, tentu itu berefek kepadamu, sebab manfaat atau guna ilmu itu, paling cepat dan paling banter ada pada dirimu.

Terakhir, jangan abaikan kefikihanmu; dan aku yakin bahwa kamu ‘paham’ dengan kalimat ini: jangan abikan kefikihanmu, Taufik.



2017

Belum ada Komentar untuk " Jangan Abaikan Pengetahuan Fikihmu "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel