IBADAH DI RUMAH IBADAH






Engkau telah mendapatkan perbedaan antara ibadah di rumah dan tempat-ibadah, telah engkau rasakan kenyamanan, gerak-gerik-pengetahuan, kedamaian, konsenstrasi pengetahuan, konsentrasi teks, penjagaan tentang surat-surat-Nya, penggerayangan makna-makna saat engkau menjalankan ibadah di masjid, maka pertahankanlah dirimu, pukullah rasa malasmu dengan segera melangkah, dan tambahkanlah ‘pengetahuanmu’ setiap harinya, serta ikatkan pengetahuanmu, dan lebatkan tentang bahasa-arab menjelma bahasa ibumu; sungguh, kalau engkau mengharapkan kematangan dalam islam maka engkau harus melanyahkan tentang bahasa arab, sebab bahasa arab adalah bahasa yang dikirimkan oleh-Nya; dan engkau mengetahui mengapa harus bahasa arab, karena keindahan, tradisi persyairan, tradisi kemanusiaan, tradisi sosial, dan karakteritik kemanusiaan; dan memang begitulah ‘agama’ islam harus turun di arab pada jazirah arab; dan tentu, engkau harus lebih melanyahkan pengetahuan tentang bahasa tersebut, khususnya bahasa ke-al-quranan, dan untuk melatihanya, maka pelajari sekali lagi tentang kitab-kitab yang berkaitan dengan hadist dan penjabaran tentang keimanan, dengan begitu; mudah-mudahan nikmatmu semakin ditambahkan sehingga engkau dapat ibadah dimana pun tanpa harus menggunakan ‘sarana’ yang ditempatkan.

Ketahuilah, tempat ibadah adalah sarana yang disediakan, dan engkau masih dalam kedudukan ‘tenang’ kalau berada pada tempat ibadah—dan itu pun kalau ditelisik lebih lanjut, ketenangan dalam arti; proses pengukuhan terhadap keimananmu; yakni penambahan pengetahuan dan pengikatan pengetahuan; sebab dalam shalatmu engkau masih ‘mengetes’ hatimu, tentang perasaan-perasaan yang ada di dalam dadamu, menguji tentang ‘nafsu-nafsu’ kemanusiaanmu meraih itu; dan itulah kedudukanmu—dan engkau belum ‘tenang’ kalau ibadah sendirian, oleh karena itu, hancurkan kemalasanmu dan datanglah ke tempat-ibadah.

Sebab malas itu adalah manusiawi.

Sebab malas itu adalah penyakit.

Sebab malas itu menggodamu.

Sebab malas itu lebih mudah.

Pahamilah, saat engkau lebih mengikatkan dirimu pada jamaah, maka engkau akan terbiasa dan semakin terbiasa, namun kebiasaanmu adalah sangat biasa kalau engkau tidak menambahkan pundi-pundi pengetahuanmu atau engan mengaktifkan ‘rasio’mu untuk mengonfirmasi pengetahuan yang telah merayap dalam dirimu.

Tancapkan, lebih tancap tentang diksi ‘konfirmasi’ berulang-ulang pengetahuan yang bergentayang pada dirimu, sungguh pengetahuanmu telah luas, telah banyak, andai engkau benar-benar mendayakan akalmu, jangan jadikan ‘akalmu’ kosong untuk berpikir tentang kuasa-Nya, tentang pengetauan-Nya, dalam apa-pun, sebab ibadah itu tidak terbatas di tempat ibadah atau tempat-tempat lain.

Ibadah itu, adalah proses menghamba, dan kita senantiasa menjadi hamba-Nya, begitulah Taufik. Dan untuk menancapkan tentang ‘pengetahuan’ penghambaan, maka engkau penting ‘senantiasa’ mengaktifkan ‘rasio’, ingatlah nabi kita, Kanjeng Nabi Muhammad, yang bahkan dalam tidurnya masih berpikir. Artinya, ‘masih’ mendayakan ‘rasionya’, masih ‘mengaktifkan’ rasionya. Oleh karenanya, jangan bermalas-malasan untuk ‘mengaktifkan’ rasiomu; bersamaan dengan itu maka engkau akan menjaga gerak-gerikmu, menjaga lisanmu, menjaga aklakmu, dan berdaya mempasrahkan diri kepada-Nya—ingat, pasrah bukan berarti engkau diam dan menghentikan pemikiran; itu belum kedudukanmu, dan itu bukan tempatmu. Kedudukanmu adalah mengumpulkan pengetahuan, menguatkan pengetahuanmu; bukankah sejauh ini engkau si pengembara yang lalai menumpukkan ‘pengetahuan’?—dengan itu, maka engkau akan didekatkan dengan ayat-Nya yang lain:

Hei orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meniggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Sungguh, Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan. (surat al-mujadalah: 11)

Maksudnya, engkau dengan gurumu: siapa gurumu? Orang yang mengetahui jiwa dan ragamu, yang mengetahui seluk-beluk dirimu—bukankah engkau termasuk orang yang seakan ‘payah’ menjalin keguruan karena engkau dihadapkan pada masa yang bergelimpang guru namun guru itu ‘laksana’ tidak benar-benar membimbingmu sesuai dengan ‘kejiwaanmu’ sementara ‘engkau’ sangat membutuhkan dan bahkan jiwamu berteriak kencang-kencang:

Siapa pun itu, tolonglah aku!

Tolong aku! Lihatlah aku, lebih dalam; penuh dengan tusukan dan kelukaan yang entah.

Siapa pun itu, tolonglah aku! Bantulah aku:

Lihatlah aku! Lihatlah aku, lebih dalam, laksana memikul beban yang berat

Tolonglah aku! Tolonglah aku, yang tidak tahu tujuannya, hendak digiring kemana jasad dan pemikiranku.

Lihatlah aku! Lihatlah aku, seretlah dalam dunia yang indah, sejahtera; yang itu sarat dengan cinta, bukan tentang ‘penghinaan’, ejekan, atau cacian:

Sertakan, aku—dalam hidup yang berkedamaian dan kemilau kesejahteraan

Bukan ‘hidup’ yang membosankan, yang menawarkan wujud-wujud tipuan;

Topeng-topeng kebaikan, topeng-topeng ketulusan, topeng-topeng pertolongan!

Siapa pun itu, tolonglah aku! Tolonglah aku.

Begitulah jeritan jiwamu; tapi ingatlah, bahwa bukannya sejauh ini engkau tidak membuka diri, dan lebih-lebih engkau enggan menyerahkan jiwamu kepada orang-orang yang engkau datangi, dan engkau sendiri yang menopengi-jiwamu; aku tahu engkau menjerit, jiwamu melonglong, tapi longlonganmu itu pun masih palsu, masih menyembunyikan, engkau belum benar-benar menyerahkan jiwamu kepadamu, bagaimana aku bisa menolongmu.

Sesungguhnya, jalinan yang kuat itu adalah saat engkau menyerahkan dirimu sepenuhnya kepada gurumu; engkau patuh benar kepada gurumu. Engkau tunduk benar kepada gurumu. Sehingga engkau tentu, akan disertakan kepada gurumu, tapi tenanglah, engkau bukanlah ditakdirkan menjadi murid yang seperti itu—bukankah pada akhirnya engkau juga mempunyai jaringan guru tersendiri bukan?

Bergembiralah, wahai yang telah dibukakan, kebodohannya, guna melesatkan pengetahuannya.

Berbahagialah, wahai yang ditelah dibukakan dirinya, semakin terang, yang telah dipertemukan dengan guru-gurumu.

Dan sertakanlah ayat-Nya, yang sejak dari dulu kuisyaratkan kepadamu:

Bukankah kami telah melapangkan dadamu? Dan kami pun telah menurunkan beban darimu, yang memberatkan punggungmu, dan kami angkat pemikiranmu. Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh! Bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai, tetaplah engkau bekerja keras. Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (suratan insyirah)

Oleh karenanya, tetaplah engkau beribadah, tetap-kokohkan engkau menghamba, mudah-mudahan perlahan-lahan kenikmatan demi kenikmatan menghampirimu. Bersabarlah...

Belum ada Komentar untuk "IBADAH DI RUMAH IBADAH"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel