Perang




Kau tidak suka dengan peperangan. Tapi siapa yang akan suka peperangan? Agaknya bila ditanyakan kepada seribu orang, maka persentase dominan adalah tidak suka akan adanya peperangan. Demikian juga denganmu. Tapi yang terjadi, perang selalu saja terjadi, selalu saja ada dan tidak akan pernah sudah. Pasalnya, sejauh ini istilah perang masih juga digunakan, masih juga diperdengarkan. Entah itu kepada orang-orang diri sendiri, pacaran, atau rumah tangga, sekali pun cek-cok mulut, kerap sekali istilah perang digunakan.

Huh!

Tapi kenyataannya, perang memang selalu terjadi dan tidak pernah usai dijalani. Kau akan memulai cerita ini dengan menuliskan peperangan pertama yang terjadi, yakni peperangan dirimu. Kepada musuh terbesarmu, yakni aku.

Ini memang terdengar agak aneh dan tabu, apalagi dikatakan di depan umum, di atas mimbar lalu kau katakan, saudara sekalian, ketahuilah, aku perang melawan aku. Bisa jadi para audiens menertawakanmu seraya mencibir, perang melawan dirinya sendiri? Memukul-pukul dirinya.

Ini memang agak tabu, tapi kalau diamat-amati, akan sungguh terjadi; perang tidak secara fisik, tidak saling hantam, tapi saling berkata-kata. Seakan-akan di dalam dirimu membuat interaksi dan melakukan dialog yang tidak berkehenti. Mulai dari keraguan atau tentang pencarian tentang diri; sungguh ini perang yang aneh, apalagi perang melawan hawa-nafsu, yakni keinginan.

Sebab bila keinginan senantiasa dituruti yang terjadi adalah kemiskinan hati, sebab seluruh dunia berserta isinya adalah sangat-sangat kekurangan. Ini benar terjadi kepadamu, sangat terjadi dikala lamat-lamat kau terima dunia dan rupanya disana pula terdapat iming-iming dunia, berupaya hasrat ingin kaya.

Padahal simpel, sekedar hasrat ingin kaya, tapi nyatanya, dikala hasrat itu dituruti, maka menjuntai-juntai ranting dan daun itu bentuk kaya sangatlah akbar. Mulai dari ingin punya rumah, mobil, tabungan banyak, perhiasan, pulau dan bahkan popularitas, ditambah lagi gadget yang baru. Semua mengumpul dalam hati; yang ada betapa dirimu malah larut dalam kemiskinan.

Kau tidak mau itu. Tidak mau dikatakan miskin sekali lagi.

Walau sekarang kau berposisi miskin, tepatnya, miskin hati—apakah kau tahu bentuk miskin hatimu? Yakni masih ada keinginan meraih ilmu lalu bahagia dunia. Bukankah itu sebuah harapan? Atau entahlah, kadang kau merasa sulit-hati menempatkan diri apa bedanya harapan dan kebahagiaan. Apakah kebahagian itu adalah milik orang-orang yang minim harta dan hidup sederhana? Tidakkah orang kaya mampu mendapati kebahagiaan yang tinggi? Kau kira, kau akan mencoba sepakat bahwa orang kaya adalah yang mendapati kebahagiaan. Yakni, kaya secara materi dan hatimu ditompang akan rasa ketidak-punyaan, semua harta yang ada hanyalah titipan belaka, yang penting disumbangkan secara adil dan bergilir.

Kau masih menjalani peperangan kepada dirimu, bersama dirimu, didalam akalmu, melawan hatimu atau melawan realitasmu. Yang pasti, kau masih di dalam kamar, hanya dirimu belaka. Baiknya tidak ada musuh. Baiknya telah berdamai.

“Kukira kau masih sangat miskin. Aku telah membaca apa yang kau inginkan.” Ucap hatimu.

Bagaimana aku tidak miskin, aku masih muda, masih kuliah, kalau aku kaya, maka tidak jadilah aku mencari ilmu tidak jadilah aku mendapati kekayaan.

“Kau kira kaya harus tua dan tinggi ilmu?”

Aku rasa memang itulah aturan mainnya, kekayaan adalah milik merka yang tua, mereka kaya akan pengalamannya, akan pemandangan akan sejarah yang ada. Mereka telah mencicipi garam-manisnya dunia. Betapa keinginan yang ada pada kemanusiaannya berulang-ulang dilewatinya. Ia telah melatih dirinya menjadi pahlawan atas dirinya. Kalau masih mudah begini tentu akan kelabekan sendiri kalau tiba-tiba mengendurkan dirinya, misal, kalau saja aku menguburkan keinginanku; kukira, keinginan adalah teman akrabnya cita-cita.

“Jadi, kau bakal menerima konsekuensi tentang kemiskinan sejak dini? Sementara kau mengetahui tangga menuju kaya!”

Stop...! Berhentilah, jangan membuatku semakin menderita lantaran seakan-akan apa yang kutempuh adalah salah. Kurasa peperangan di antara diri pribadi memang tidak akan pernah selesai, tidak akan pernah padam, apalagi di saat muda—di sanalah mulai terjadi pergolakan akbar. Perjuangan besar-besaran. Aku sangat-sangat merasakan hal itu; sangat-sangat menjalani masa itu.

Setiap malammu, kerap kau habisi demi mendapati sebuah tanya yang mendarat riskan siapa aku? Pertanyaan yang seakan-akan sekedar simpel, tapi rupanya tidak sesimpel itu.

Kau persis melucuti dirimu, tentang kesifatanmu juga perangaimu, tentang aktifitasmu dan banyak hal lainnya yang menyangkut dirimu. Sementara di saat yang sama, kau harus menjalani karakter dirimu yang nyata. Padahal kau belum selesai mencari siapa dirimu.

Ini sebuah peperangan nyata, tapi tidak nyata. Ia ada bersama pikiran dan hati. Ia ada di dalam dirimu. Tidak semua orang tahu, karena tidak ada gelegat peperangan, tidak ada gelegat bagaimana gegap-gempita berteriak penuh rasa kematian. Persis seperti perang sungguhan.

Ini perang yang nyata di dalam diri. Sampai sekarang, masih juga terselip tentang peperangan diri—sampai sekarang, walau pada malam-malam itu telah lama berkurang. Rasa haus akan dirimu telah berkurang, sangat berkurang, karena yang bakal bertemu adalah musuhnya itu-itu belaka. Itu terjadi kalau aku menghendaki akan peperangan. Walau kenyataannya, disaat semangatmu padam; disaat letih, lelah, kembali lagi sebuah perang menyala, untungnya nyalanya tidak begitu ganas. Karena setidaknya, kau telah memahami bagaimana pergerakan musuhmu, yakni pergerakan dirimu. Telah mengetahui strategi seranganmu. Telah terbaca, hasilnya, kau menang kembali.

Kau tahu inilah jurus dimana aku mampu memenangkan peperangan atas diriku, yang disuatu ketika mendadak muncul:

Ingatlah bahwa dari sepersekian manusia yang ada, pada dasarnya menginginkan kebahagiaan dari dalam hatinya. Ingin merasakan apa itu ‘lega’ rasa. Selain itu, ingin berkuasa. Manusia memang memiliki tabiat seperti itu. Tabiat yang tidak akan lepas dari kedudukan kemanusiaannya; tapi lihatlah bagaimana para ulama menyikapi ‘dunia’ : ingatlah ulama-ulama yang hidupnya tidak mata-duitan, ulama yang kau kagumi; bukannya kau pun mengaggumi para ulama: kehidupannya sederhana yang indah, tak usahlah sungkan meminta nasihat darinya. Ketukilah pintunya, mintalah nasihat padanya.

Pikirmu, ketika kau merasa lelah, ketika dirimu terjadi peperangan, kau sendiri yang mengabaikan alim-ulama. Mengabaikan orang yang menurutmu terbijak menyikapi dunia. Bagimu, alim-ulama mempunyai kedudukan tertinggi dalam hal ini: mereka tidak mengingkan dunia lebih dari tangannya. Mungkin kau kurang mengawasi mereka, kurang mendengar nasihatnya. Atau kurang mendengar kata-katanya. Maka, tak lama kemudian, kau larikan dirimu kepada mereka.

Mereka adalah bentengmu dikala kau jatuh dan lelah. Mereka adalah poros dimana kau lebih dekat mengadu. Kau memang tidak harus mengadu tentang bagaimana dirimu, tapi setidaknya, dikala kau lebih akrab mendekati alim-ulama mereka mengetahui bahwasanya kau membutuhkan taburan kata-kata yang menyejukkan hati. Ya, kau dapati siraman rohani yang tenang.

“Kaukah tidak mampu menyirami rohanimu sendiri?” Kata hatimu lagi.

Sungguh, kau mampu, tapi dikala kau telah mengeluarkan dirimu. Ketika kau pernah merasakan kemenangan dirimu, maka lamat-lamat aku semakin menyandarkan hatimu kepada orang-orang, alim ulama adalah termasuk orang yang kuat kau sandarkan. Mereka menjadi penghibur dan menguat tentang segala harapanmu. Karena jauh dilubuk hatimu, telah kau teguhkan:

segala apa yang tampak adalah milik-Nya, telah diseting oleh-Nya dan Dia bersemayam di dada para orang-orang yang dekat dengan-Nya, dan orang-orang yang dekat dengan-Nya ialah alim-ulama, yang dari gelegat-Nya terpancar aura kesifatan-Nya, mengeluarkan buah-buah kebaikan, tidak kemilik akan kekuasaan atau jabatan, tidak meragui akan peristiwa dunia. Dan aku mendekati orang-orang yang sekiranya memiliki sifat-sifat itu. Era modern ini, aku kerap mendekati para pengkaji ilmu-Nya: tujuannya, sekali lagi mengingat akan kuasa-Nya.

“Jadi, kau mampu menyirami rohmu sendiri?” katmu lagi.

Sudah tentu, bagaimana aku tidak bisa menyirami, ia bersayam padaku. Setidaknya aku mengerti akanku, bagaimana mungkin aku tidak mampu menyirami diriku dikala layu dan membutuhkan air ketenangan, walau pun belum sepenuhnya berhasil. Tapi ini masih terus berjuang, memerdekakan diriku, tidak atas bantuan orang lain, perlahan-lahan. Karena aku masih melakukan peperangan. Perang bersama diriku, kepadaku.

**

Keesokan harinya, kau mulai cinta akan sejarah peperangan. Kau lintasi teks-teks bersirat perang. Searcing dunia maya. Muncul beribu-ribu data tentang ‘perang’. Kau menggeleng. Tersenyum. Sejenak kau buka, perang pertama:

kurasa Adamlah pelaku perang pertama, melawan dirinya, melawan setan, lalu kemudian ditambah Hawa, ditambah anak-anaknya. Dan anak-anaknya pun turut berperang, lalu lamat laun membentuk klan demi klan: haus akan kuasa, kepemilikan, pengakuan kerajaan dan masalah-masalah lainnya, jadilah perang antar klan, lalu timbul dendam, ditambah klan semakin banyak, dibalas lagi; saling bunuh, tikam, menujah dan seterusnya. Zaman berkembang, perang masih terus dilangsungkan, mulai dari klan besar hingga lingkup paling kecil. Diriku. Masih menunaikan ritual ‘Perang.’ Oh sejarah yang lampau.

“Bisakah perang dihentikan?” batinmu ragu mengungkapkan. Sebab dari data pribadi, ketemu rumus semacam ini (Ini rumusmu) dikala kau menang atas dirimu, rasanya pihak keluarga menjadi ‘semacam’ perlawanan yang ketat padamu, keluarga dalam lingkaran orang-tua dan saudara kandung. Di saat mereka menyepakatimu, kemudian bertambah pihak keluarga dari sisi ayah dan ibu: keluarga dari kakek-nenekmu. Dikala mereka telah rukun, mulailah dengan para tentanggamu: ketika kampungmu beres dan damai, lanjutlah ke ruang yang lebih besar, lebih lebar lagi, lebih luas lagi, jauh lebih luas, negara, internasional, seluruh bumi: hah!

“Begitukah alur peperangan?” Kata hatimu semakin ragu.

Kau menelan ludah, payah. Membaringkan tubuhmu. Menatap langit kamarmu. Baiknya, kau penting medamaikan dirimu, tidak muluk-muluk mendamaikan ini-itu. Dirimu dan dirimu: itu yang lebih penting. Apakah ini egois? Kukira ini perang sekali kali antara aku dengan diriku.

ditulis 2014 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Perang "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel