Bumimu



Kau menjadikan dirimu di kerumuni mangsa, tidak mengenal cuaca, tidak juga mengenal sebuah instruksi. Sekedar menjalani target demi target yang ada dalam benakmu. Kau tumbuh berbunga mengamati jelita yang mekar mewangi dalam hempasan udara yang bermacam-macam. Kau menargetkan dirimu menjadi super-star buat hatimu.

Hidupmu beku, sempit, karena keluasaan ada bersama dirimu. Luas bersama dirimu begitu mengakar dan menusuk jauh ke dasar tanah. Jika digambar-gambarkan maka bumi adalah menjelma akar dalam satu pohon. Pohon itulah dirimu.

Umpama yang akbar. Tapi itulah sempit hidupmu. Melulu menggali dirimu lebih dan lebih.

“Aku tak mengerti mengapa diriku seperti ini,” katanya dikala kau merasa sepi dan diambang lelah dengan apa yang terpikirkan. Otakmu yang lebat laksana pohon yang memiliki ranting yang banyak, rupanya tak seluas akarmu. Rantingmu tak mampu lebih lebat dibanding bumi sebagai penyangganya. Bumi adalah tempat, laksana pot sebuah bunga. Manalah mungkin sebuah pohon bisa melampui potnya.

Kau berkeras hati meninggikan pohon. Menadah air hujan merapi-rapikan ranting-rantingmu.

“Aku ingin menjulang, tinggi,” katamu, penuh kebanggaan, karena dirimu lelah serasa tidak menjulang-julang, yang ada sekedar menaburkan daun demi daun ke seluruh penjuru bumi. Daun-daun yang rontok karena masa, keberadaan matahari yang menyorotnya, yang kemudian mengering dan hilang menjadi debu atau asap.

Maklum, kau pemuda, yang dalam dada juga akalmu masih bersih keras mencari jati dirinya.

“Kelak dia akan berubah kalau dia telah menikah, mempunyai istri dan anak,” kata Pak Tua yang santai mendengar eluhannya. Pak Tua itu membagikan cerita kepada Isterinya. Dibalasnya dengan sebuah tanya, “Tapi mengapa dia bisa menggebu seperti itu? Laksana ingin menjadi pahlawan sendiri?”

Pak Tua tersenyum, seraya terngiang masa mudanya, masa dimana ia sedang diambang bingung akan keadaan.

“Sesungguhnya,” kata Pak Tua santai. “Ia tidak bingung dengan keadaan, namun dikala ia menampakan kebingungan adalah bagaimana ia mencari kawan untuk menyokong menjulang bersama. Ia tipikal meninggi bersama, berkedudukan sama.”

“Bukannya ia telah menyadari bahwasanya sebenarnya ia sedang meninggikan dirinya?”

“Ayah rasa,” ungkap Pak Tua kepada Isterinya, “Ia menyadari hal itu. Sayangnya memang jiwanya seperti itu, maka tidak ada yang bisa mengubahnya. Dia telah ditentukan seperti itu, ditinggikan kedudukannya.”

Si isteri itu tersenyum. Melihat gerakanmu yang sedang becanda dengan puteri-puteri kecilnya. Ia melihatmu asyik bermain dengan anak-anak tingkat sekolah dasar, padahal kau mahasiswa, tapi gelegatmu tidak menujukan sama sekali gelegat mahasiswa, yang berdandan rapi dan berwibawa.

“Ia malah seperti anak-anakku,” batin si isteri penuh ceria.



Kau mengoret-oret kertas, terlihat gambaran gunung. Menabur-taburkan warna, membuat gunung juga sawah.

Sementara di lembar yang lain, kau membuat lingkaran, bentuk dunia. Kau membetuk sketsa kasar peta dunia. Tidak begitu persis, setidaknya menyerupai, itu benua asia, itu benua eropa, lalu terlihat ia menabur-taburi akar-akar di dalam lingkaran lalu memunculkan pohon. Dan kau begitu ceria dalam menggambar bersama anak-anak.

“Ia malah seperti anak-anak ya, Yah...”

“Ia memang anak-anak,” balas sang ayah santai, seraya tangannya membaca koran minggu pagi, di teman secangkir teh dan sorotan mentari yang hangat. “Memangnya sampai kapan ia lepas dari anak-anak, Bu...” tambah Ayah dengan nada sumringah juga mengingatkan dirinya, tentang kenangannya menjadi anak, yang persis kiranya bahwa manusia tidak bisa melepaskan status anak dari orang tuanya. Terlihat sejenak Ayah tersenyum. Mungkin dalam batinnya terpikirkan, Nabi adam berstatus anak-anak enggak ya? Atau dikala ada, mak-glezeg telah dewasa? Ah sudahlah.

“Aku melihat-lihat tingkahnya memang benar-benar persis anak-anak lho Yah?” tambah si Isteri kemudian, semakin mengamati pemuda itu, dari jendela. Tersenyum sendiri. Karena begitu renyahnya dengan puteri-puterinya. Tertawa lepas laksana begitu akrab, padahal baru dua hari ia menginap, serasa telah kenal sekian lama.

Si Isteri tambah terkagum dengan pemuda itu, yang kedatangannya karena kerinduan kepada suaminya. Sekedar itu. Suaminya telah menceritakan banyak tentang pemuda itu, sekedar wujud dan potongan-potongan belaka yang kerap menjadi buah bibir di antara keduanya. Tapi kali ini Si Isteri tidak menyangka bakal melihat pemuda yang kerap dibicarakan itu menginap di rumahnya, bakal tertawa-lepas bersama puteri-puterinya.

Pikirnya, pemuda yang diceritakan adalah orang yang hebat dan bermartabat tinggi, berwibawa dan terlihat kecerdasannya. Rupanya, dikala dekat dengnnya maka lenyaplah tentang semua yang disangkanya. Yang disangkanya seakan-akan hilang.

Ketika aku mengamatinya lebih jauh, walau selama dua malam, aku bisa mengecap dia pemuda yang biasa-biasa saja, memang sedikit suka membaca, kukira standarlah seperti mahasiswa yang lainnya, batin Si Istri melihatnya.

Dan suaminya itu masih tenang membaca koran minggu pagi, tersenyum saja mendengar apa yang dikatakan isterinya. Si isteri malah semakin terheran-heran dengan pemuda itu. Sesekali teringat surat-surat yang diberikan pemuda kepada suaminya. Pikirnya, kukira orang ini sangatlah spesial. Sangat spesial.

“Bukannya dia biasa saja Yah?”

“Agaknya memang biasa saja,”

“Sebenarnya apa yang membuatnya spesial?” kata Si Isteri seraya tersenyum. Dan berjalan menuju dapur, melihat isi kurungan, mempersiapkan makan siangnya. Si isteri pun masih mempertimbangkan ungkapan yang keluar dari lidahnya, sebenarnya apa yang membuatnya spesial? Ah rupanya aku sendiri yang membuatnya spesial, karena dari tadi membicarakannya. Padahal ia sekedar menjalani waktunya bermain dan begadang semalam.

Semalam, pemuda itu sibuk memonitori layar laptopnya, berkeras hati menyalakan gairahnya, menulis cerita yang telah telah dijadwalkan. Sayangnya, berulang-ulang kau gagal menuliskan.

“Sial. Ada apa denganku? Mengapa di tempat yang sejuk semacam ini, jari-jariku mendadak beku untuk merantaikan kata-kata? Sesungguhnya dalam kepalaku banyak gagasan untuk dituangkan. Tapi mengapa tidak ada kehendak untuk meruangkan! Arggg....” batinmu geram. Lalu menghapus lagi deretan kata yang telah dituangkan.

Sekali lagi, terus. Berkali-kali sudah dijalankan, sampai berjam-jam, sampai dini hari.

Tidak satu pun cerita yang jadi. Tidak satu pun selesai untuk dikatakan sebuah cerita.

Setiapkali membuat alur, serasa tidak pas, tidak pas, tidak pas lagi.

Di sumutlah batang rokoknya. Diterbangkan. Keluarlah ia dari kamar tidurnya. Menanggalkan laptopnya. Masih menyala. Dibiarkan menyala. Biar, kelak tidur sendiri. dan bergantilah pemandangannya. Menatapi bintang gemintang. Pohon yang hitam. Suara malam yang saling bersahutan.

Suara yang tidak jelas. Agaknya beratus-ratus macamnya: jangkrik, Kodok, nyamuk, gemercik air, desau angin dan lain sebagainya.

Aku tidak hapal suara apa saja yang ada pada malam hari yang sunyi. Tidak mengerti bunyi denging apa itu. tapi aku selalu mengerti dan yakin, itu adalah suara. Persis seperti aku tidak mampu menilai seluruh nama yang ada di bumi ini, tapi aku yakin bahwa dari sepersikian perbedaan nama adalah satu, yakni nama. Dan aku pun tidak mampu membedakan bintang demi bintang, yang pasti aku yakin bahwa itu juga hanya satu: bintang.

Kau asyik mengamati langit yang berbintang. Terhampar juga bukit yang menjelma hitam. Terlihat juga kerlip-kerlip lampu di tanah bagian bawah sana, laksana bintang. Sekarang, bagimu, langit dan bumi persis melekat menjadi satu—tanah menjadi langitnya dan lampu menjadi bintangnya.

Kau membuang napas lagi. Terbang juga asap rokokmu. Tak terasa semakin memendek batang rokokmu. Menambah lagilah rokokmu. Agak ditariklah jaketmu. Lebih direkatkan. Lebih merapat. Menghangatkan diri. Lalailah akan tulisannya. Lalailah akan ceritanya. Terlintas sejenak, “Mengapa kamu harus menulis cerita?”

Aku perlu menyelematkan diriku. Perlunya kesejahteraan diriku.

“Bukannya benar apa kata saudara-saudaramu, bahwa kamu perlu bekerja secara real (nyata) tidak harus menulis cerita? Mengapa kamu memaksakan diri untuk menulis cerita?”

Aku tidak memaksakan diriku menulis cerita, hanya saja, dikala kutimbang-timbang rupanya kebiasaanku adalah menulis, maka aku gunakan cara itu untuk mensejahterakan diriku.

“Haruskah dengan menulis (keras kepala)? Sesungguhnya tujuan utamamu dengannya apa?”

Sudah kukatakan mensejahterakan diri.

“Itukah secara pendapatan, secara ekonomi?”

Bisa jadi.

“Kok bisa jadi? Tidak seyakin atau seteguh batu?”

Itu pun faktor dari penujung kesejahteran diri, tapi yang paling utama adalah kesejahteraan diriku. Ketahuilah, kesejahteraan diriku bukan hanya terletak pada materi, tapi immateri (diluar materi). Pendek kata, hati.

“Oh jadi, kau menulis untuk hati?”

Iya.

Kau tersenyum lagi. Angin menabrak wajahmu. Terlihat wajahmu segar bugar. Cerah. Pemuda malam. Penjaga malam, yang merenungi bumi dan seluruhnya. Tentang keuprekan manusia, termasuk tentang dirimu. Awalnya sibuk mementingkan tentang bagaimana alur kemanusiaan, lamat-lamat kau sibuk mengurai-urai tentang dirimu.

Ternyata, dirimu menjelma pohon yang mengakar ke seluruh bumi, tanpa batas kota bahkan negara, seluruh negara dijajahi oleh akarmu, sementara pohonmu terbatas oleh lingkup lingkup negara, sesekali menyempit menjadi propinsi, kemudian menyempit sampai lingkup desa, dan endingnya menyempit pada dirimu.

Kau berdiri di padepokan Gurumu. Dari alas kakimu, seolah bayang-bayang imaji jadilah akar demi akar, yang menyusuri rumah demi rumah, kota demi kota, bahkan negera demi negara. Bibirmu mesam-mesem. Mengenang sejarah demi sejarah, peperangan, kekuasaan, hasrat kemanusiaan, pemikiran: semua sibuk di atas bumi.

Kau sangat merasa, telah termangsa oleh keinginan. Dengan penuh keikhlasan dibuanglah kerumunan mangsa itu. Dibiarkan seperti angin yang berlalu.

“Aku memang tidak harus tertekan terhadap semua itu, tidak! Aku sekarang bebas. Pasrah,” batinnya mensuprot dirinya. “Target atau yang lainnya adalah penghibur atas kemanusiaanku. Katakanlah, oh diriku, terimalah bumi. Terimalah,” tambahnya lalu membiarkan dirinya melangkah ke kamarnya. Menilik kembali laptopnya.

Ditulis 2014-12-10 diedit 2017

Belum ada Komentar untuk "Bumimu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel