NGAJI MABADI FIKIH: SUJUD, PUNCAK PENYERAHAN ‘DIRI’




Apa yang dibaca dalam sujud?

Yang dibaca tatkala sujud, yang artinya, Maha Suci Allah yang Maha Tinggi (Luhur). Tiga kali, kemudian sujud duduk sebentar, lalu sujud lagi.


Telah kita ketahui, sujud itu menyungkurkan wajah ke lantai atau sajadah, yang harus menempelkan keningnya pada lantai atau sajadah. Dan sebenarnya kita telah mengetahui itu. kita telah paham dengan hal ini, kita telah mengerti sungguh tentang hal ini. Lagi-lagi, saya menekankan, bahwa yang kita kaji ini adalah tentang mengingatkan apa-apa yang telah ‘akrab’ bagi kita, karena sangking akrabnya, kadangkala kita lalai bahwa kita sangat akrab, harusnya, dengan bertambahnya zaman, bertambahnya informasi, bertambahnya model-model untuk mendapatkan ilmu, menambahkan kita lebih ‘dekat’, lebih ‘rekat’ dalam menunaikan ibadah kepada-Nya, dan lebih gencar untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Namun ternyata, fakta, semakin banyak informasi, bertaburan informasi dan kesibukan, yang bermacam-macam sibuk, menjadikan kita ‘lalai’ bahwa sebenarnya yang kita lakukan adalah tetang hal-hal dasar. Ketahuilah, sejak saya kuliah filsafat, sibuk dengan teks-teks yang terkesan laksana pemikir, dan sibuk tentang keduniaan, perkembangan dunia, dan kegalauan saya ada pada agama, akhirnya saya temukan—atau tepatnya, saya membaca kitab lama yang berada di rumah; kitab yang bagiku, terkesan lama, karena sejak kecil telah mengkaji itu, jangankan saya, malah orang-orang desa awalnya adalah mengkaji kitab itu—dan batinku berkata, lha ternyata, jawabannya ada pada kitab ini. Namun, pembacaanku berbeda, karena ‘tambahan’ pengetahuan yang berbeda, namun tetap saja, titik pangkalnya adalah dari kitab yang dasar.

Kitab dasar membuat mengingatkan kita tentang hal-hal yang sederhana, dan sebenarnya mudah; yang menjadikan sulit adalah karena kita terlanjur menyukai garapan yang mendalam, lebih mendalam, namun pada lubang kecil yang diluar.

Dalam kitab dasaran, atau kitab mabadi fikih, ditawarkan hal-hal komplek tentang fikih, yang bersifat dasar, yang kemudian, lamat-lamat menjadi lebih lebih dalam, dan secara keseluruhan kitab ini adalah kitab yang praktis di gunakan, karena kepraktisan tersebut—di zaman yang telah ‘melek’ pengetahuan, pengetahuan telah mbalarah, maka praktis tersebut menjadi semacam sesuatu yang kurang pengaji, kurang ‘dihayati’ karena terkesan mudah. Dan kita, yang menyepelekan itu, rupanya terjerumus dalam hal-hal yang sepele dan seakan mau melanjutkan kepada kajian yang kelasnya adalah tinggi. Kajian yang kelasnya adalah super. Padahal, kelas super pun, bagi penilian saya, akan kembali pada hal-hal dasar-ulang..

Dan kembali ke kitab.

Sujud, kalau kita kenang di zaman kerajaan, maka posisi sujud adalah puncak dari penghormatan kepada raja, sebab dengan sujud, itulah seluruh ‘kemanusiaan’—penyujud—begitu sangat rendah, merendahkan diri dari ‘peninggian-peninggian’ sebelum pertemuan. Merendahkan serendah-rendahnya. Sebab ‘kening’ alat vital untuk berpikir manusia di letakkan di bawah. Wajah, sebagi ajang ‘pamer’ ketampanan atau kecantikan di hadapkan pada lantai atau sajadah.

Kita harus menempatkan Allah Yang Maha Mengawasi, mengetahui seluk-beluk dosa-dosa kita, mengetahui ‘pelanggaran-pelanggaran kita, dan secara matematis, maka kita timbangan kita condong kepada neraka, maka harus memohon dengan sungguh-sungguh: ya! Kalau allah mengampuni, kalau Allah tidak mengampuni sementara kita masih berbuat sesuatu yang dikatakan dosa, maka tempat yang layak adalah neraka. Dan apakah mau menghelak tentang keberadaan Neraka? Dan kalau kita menghelak tentang keberadaan neraka, maka kita mengingkari tentang iman kepada Al-Quran, sebab dalam al-quran telah dijelaskan tentang tanda-tanda neraka, banyak, dan kita mengetahui tanda-tanda itu.

Posisi sujud, mampu menjadikan ‘sesuatu’ paling puncak dalam ibadah, sebab, dengan menyungkur itu, kita bisa menyurahkan seluruh apa yang ada di dalam pikiran kita, terhadap kenangan-kenangan ‘nakal’ kita, yang lalai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Perintah yang seperti apa? Sungguh, di zaman serba informasi, di zaman ‘pengetahuan’ menjadi sesuatu yang tidak asing: kita tahu apa yang kita larang, dan kita paham apa yang kita langgar.

Ihdina syiratalmustaqim. Sirotol lazdina an’amta ‘alaihim groiril magdu bi alaihim walladolin. Amin.

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: SUJUD, PUNCAK PENYERAHAN ‘DIRI’ "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel