NGAJI MABADI FIKIH: SUJUD, PUNCAK PENYERAHAN ‘DIRI’
Rabu, 08 Februari 2017
Tambah Komentar
Yang dibaca tatkala sujud, yang artinya, Maha Suci Allah yang Maha Tinggi (Luhur). Tiga kali, kemudian sujud duduk sebentar, lalu sujud lagi.
Namun ternyata, fakta, semakin banyak informasi, bertaburan informasi dan kesibukan, yang bermacam-macam sibuk, menjadikan kita ‘lalai’ bahwa sebenarnya yang kita lakukan adalah tetang hal-hal dasar. Ketahuilah, sejak saya kuliah filsafat, sibuk dengan teks-teks yang terkesan laksana pemikir, dan sibuk tentang keduniaan, perkembangan dunia, dan kegalauan saya ada pada agama, akhirnya saya temukan—atau tepatnya, saya membaca kitab lama yang berada di rumah; kitab yang bagiku, terkesan lama, karena sejak kecil telah mengkaji itu, jangankan saya, malah orang-orang desa awalnya adalah mengkaji kitab itu—dan batinku berkata, lha ternyata, jawabannya ada pada kitab ini. Namun, pembacaanku berbeda, karena ‘tambahan’ pengetahuan yang berbeda, namun tetap saja, titik pangkalnya adalah dari kitab yang dasar.
Kitab dasar membuat mengingatkan kita tentang hal-hal yang sederhana, dan sebenarnya mudah; yang menjadikan sulit adalah karena kita terlanjur menyukai garapan yang mendalam, lebih mendalam, namun pada lubang kecil yang diluar.
Dan kembali ke kitab.
Sujud, kalau kita kenang di zaman kerajaan, maka posisi sujud adalah puncak dari penghormatan kepada raja, sebab dengan sujud, itulah seluruh ‘kemanusiaan’—penyujud—begitu sangat rendah, merendahkan diri dari ‘peninggian-peninggian’ sebelum pertemuan. Merendahkan serendah-rendahnya. Sebab ‘kening’ alat vital untuk berpikir manusia di letakkan di bawah. Wajah, sebagi ajang ‘pamer’ ketampanan atau kecantikan di hadapkan pada lantai atau sajadah.
Kita harus menempatkan Allah Yang Maha Mengawasi, mengetahui seluk-beluk dosa-dosa kita, mengetahui ‘pelanggaran-pelanggaran kita, dan secara matematis, maka kita timbangan kita condong kepada neraka, maka harus memohon dengan sungguh-sungguh: ya! Kalau allah mengampuni, kalau Allah tidak mengampuni sementara kita masih berbuat sesuatu yang dikatakan dosa, maka tempat yang layak adalah neraka. Dan apakah mau menghelak tentang keberadaan Neraka? Dan kalau kita menghelak tentang keberadaan neraka, maka kita mengingkari tentang iman kepada Al-Quran, sebab dalam al-quran telah dijelaskan tentang tanda-tanda neraka, banyak, dan kita mengetahui tanda-tanda itu.
Posisi sujud, mampu menjadikan ‘sesuatu’ paling puncak dalam ibadah, sebab, dengan menyungkur itu, kita bisa menyurahkan seluruh apa yang ada di dalam pikiran kita, terhadap kenangan-kenangan ‘nakal’ kita, yang lalai dengan apa yang telah diperintahkan-Nya. Perintah yang seperti apa? Sungguh, di zaman serba informasi, di zaman ‘pengetahuan’ menjadi sesuatu yang tidak asing: kita tahu apa yang kita larang, dan kita paham apa yang kita langgar.
Ihdina syiratalmustaqim. Sirotol lazdina an’amta ‘alaihim groiril magdu bi alaihim walladolin. Amin.
Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: SUJUD, PUNCAK PENYERAHAN ‘DIRI’ "
Posting Komentar